Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Spirit Catenaccio dalam Darah Orang-orang Italia
14 Juni 2017 13:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
"Catenaccio tidak ditemukan oleh Gianni Brera, seperti halnya daerah-daerah kumuh di Roma tidak ditemukan oleh mereka yang terlibat di film-film neo-realis. Hal itu sudah ada di dalam karakteristik orang-orang Italia dan tidak bisa ditemukan." - Pier Paolo Pasolini
ADVERTISEMENT
Di setiap kematian, kata orang, ada satu kelahiran. 25 Mei 1967, catenaccio mati dan epos Singa-singa Lisboa itu lahir.
Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Jock Stein dan para anak buahnya ketika mereka harus menghadapi Internazionale di Estadio Nacional, Lisboa. Padahal, mereka mafhum betul bahwa lawan yang mereka hadapi itu adalah juara Eropa dua kali. Tak cuma itu, La Beneamata juga merupakan sebuah tim yang sulit sekali dibobol.
Bukan apa-apa, karena memang begitulah Inter ketika itu bermain. Di bawah asuhan Sang Penyihir dari Argentina, Helenio Herrera, Inter disulap menjadi kekuatan yang mengerikan baik itu di level domestik maupun kontinental. Rahasianya? Catenaccio.
ADVERTISEMENT
Sang kapten, Armando Picchi, menjadi pemain paling krusial dalam sistem permainan ala Herrera tersebut. Di sana, dia menjadi libero yang berjaga di belakang Aristide Guarneri. Di sebelah kanan, ada Tarcisio Burgnich yang bertugas untuk menghalau serangan dari pinggir, sementara di sebelah kiri, Giacinto Facchetti menjadi purwarupa wing-back modern yang ofensif.
Empat pemain bertahan itu menjadi fondasi tim. Dengan sokongan mereka, plus Gianfranco Bedin yang berperan sebagai jangkar, para pemain kreatif Inter seperti Jair, Luis Suarez, Mario Corso, dan Sandro Mazzola bisa dengan leluasa melakukan penyerangan. Di bawah Herrera, Inter menjelma menjadi Grande Inter yang disegani dan ditakuti. Namun, pada 25 Mei 1967, semua itu berakhir.
Namun, seperti kata sutradara Pier Paolo Pasolini, catenaccio pada dasarnya memang sudah ada di dalam diri orang-orang Italia. Sehingga, ia tak bisa ditemukan, apalagi dimatikan. Itulah mengapa, ketika menjadi juara dunia pada 1982, Tim Nasional Italia asuhan Enzo Bearzot pun sebenarnya menggunakan sistem catenaccio yang dimodifikasi sesuai kebutuhan zaman hingga menjadi zona mista. Bahkan, sampai pada Euro 2016 lalu, spirit catenaccio masih terasa betul di Azzurri.
ADVERTISEMENT
---
Jika seseorang menyebut catenaccio sebagai sepak bola bertahan, dia tidak salah, karena pada dasarnya tujuan diterapkannya sistem bermain ini adalah untuk mencegah lawan mencetak gol. Namun, Helenio Herrera yang memopulerkan sistem ini selalu menolak jika catenaccio disebut sebagai sistem yang defensif. Menurut Herrera, catenaccio menjadi sepak bola defensif ketika sebuah tim tidak benar-benar tahu cara menerapkannya.
Catenaccio sendiri merupakan istilah dalam bahasa Italia untuk menyebut gerendel. Namun, meski Italia memiliki istilah sendiri, sistem permainan ini tidaklah lahir dari negeri semenanjung itu, melainkan dari tetangga mereka, Swiss, sekitar tiga dekade sebelum Herrera menaklukkan dunia dengannya.
Nama orang itu Karl Rappan. Usianya hanya lebih tua lima tahun dari Herrera. Ketika dia pertama kali menjadi pelatih pada awal dekade 1930-an, formasi W-M (3-2-2-3) sedang menjadi formasi terpopuler dan Rappan ketika itu berusaha untuk mencari negasi dari formasi ini.
ADVERTISEMENT
Jadilah kemudian dia menggunakan formasi 1-3-4-2. Satu pemain paling belakang itulah yang kemudian menjadi gerendel alias verrou dalam bahasa Prancis. Di sistem ini, teknik individual pemain diminimalisasi sehingga pemain-pemain yang kurang berbakat pun menjadi punya kans menang lebih besar. Puncak penggunaan sistem ini oleh Rappan adalah ketika dia menangani Timnas Swiss di Piala 1938. Ketika itu, mereka berhasil melaju sampai ke perempat final setelah menyingkirkan Nazi Jerman.
[Baca Juga: Libero dalam Arus Masa ]
Namun, tak seperti Herrera yang membela catenaccio sampai ke liang lahat, Rappan seperti tidak mau mengakui kalau dialah penemu sebenarnya sistem permainan ini. Sampai akhir hayatnya tahun 1996 silam, pria kelahiran Austria ini hampir tidak pernah menyebut-nyebut sistem verrou-nya itu. Bagi Rappan, sistem itu bukan identitas yang dia ingin miliki, melainkan hanya sebuah alat untuk mencapai tujuan saat itu.
ADVERTISEMENT
Delapan tahun setelah Rappan membungkam para Nazi dengan gerendelnya, seorang pelatih sepak bola dari Italia selatan menemukan sistem ini kembali. Nama pelatih itu adalah Giuseppe Viani.
Konon, ide ini muncul di benak Viani ketika dia sedang galau dan berjalan-jalan di tepi pantai. Kegalauan pria yang akrab disapa Gipo ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh kekalahan terus-menerus tim asuhannya, Salernitana. Ketika sedang berjalan itu, dia melihat seorang nelayan dengan jalanya.
Dari sana, dia berpikir. Jala ikan itu terdiri dari beberapa lapis. Jika si ikan lolos dari lapis pertama, masih ada lapis kedua, dan seterusnya. Itulah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Viani. Peraih scudetto musim 1929/30 sebagai pemain ini kemudian memodifikasi formasi W-M yang masih populer kala itu menjadi persis dengan 1-3-4-2 milik Rappan.
ADVERTISEMENT
Konsep utama verrou milik Rappan dan catenaccio milik Viani pun sama. Intinya, bagaimana caranya bermain sekohesif mungkin dan menghindari pertarungan satu-lawan-satu entah bagaimana caranya.
Dengan sistem ini, Salernitana dibawanya menjadi juara Serie B musim 1947/48 dengan catatan defensif terbaik dan promosi ke Serie A. Sayang, Salernitana ambruk di Serie A dan keberuntungan Viani di kompetisi level tertinggi itu baru datang sepuluh tahun kemudian bersama Milan.
Ada Viani, ada pula Nereo Rocco dan Alfredo Foni. Viani memang merupakan pelopor catenaccio di Italia, akan tetapi, sosok yang kemudian membuatnya menjadi besar adalah Rocco dan Foni.
Rocco sendiri merupakan suksesor Viani di Milan pada tahun 1961 setelah sang pendahulu menderita serangan jantung. Akan tetapi, bukan di situlah dia pertama kali menggunakan catenaccio, melainkan di Triestina. Kurun waktunya pun sama persis dengan ketika Viani menggunakan catenaccio di Salernitana. Bedanya, Rocco menggunakan itu ketika Triestina sedang berada di Serie A. Dengan catenaccio-nya, Rocco membawa klub dari Trieste itu menjadi runner-up Serie A di bawah Grande Torino pada 1947.
ADVERTISEMENT
Oleh Rocco, sistem permainan itu direplikasinya baik itu di Padova, Milan, Torino, maupun Fiorentina. Catenaccio pun menjadi sinonim dengan Nereo Rocco.
Kemudian, ada pula Alberto Foni yang mengenalkan catenaccio kepada Inter sepuluh tahun sebelum Herrera menggunakannya di Grande Inter. Foni, pria kelahiran Udine yang pernah menjadi langganan Timnas Italia itu, membesut Inter pada musim 1953/54. Sebagai catatan, Herrera pertama kali ditunjuk menjadi pelatih Inter pada musim 1960/61, tetapi baru benar-benar menggunakan catenaccio pada musim 1963/64.
Jika Herrera memiliki Armando Picchi, maka Foni mempunyai Ivano Blason. Sebagai catatan, Blason sama sekali tidak seperti Picchi yang sudah menjadi purwarupa libero modern. Sebaliknya, Blason adalah seorang tukang jagal.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan, setiap jelang pertandingan, Blason bakal menggambar sebuah garis di daerah pertahanannya dan memperingatkan para pemain depan lawan untuk tidak melewatinya. Kalau sampai nekat, mereka bakal dihajar oleh Blason. Libero macam Blason inilah yang kemudian membuat anekdot "bola boleh lewat, tapi orang jangan sampai, atau sebaliknya" muncul. Di bawah Foni, Inter meraih scudetto dan pada 1954, Foni direkrut untuk menangani timnas.
Di saat yang hampir bersamaan dengan masa keemasan Armando Picchi di Inter, Milan punya sosok yang sama dalam diri Cesare Maldini. Yang menarik, Maldini bersama Rocco sama-sama lahir di Trieste. Ayah Paolo Maldini ini pun sempat dilatih Rocco selama setahun di Triestina. Jadilah ketika itu catenaccio sebagai sistem permainan yang lahir di Selatan tetapi besar di Utara.
ADVERTISEMENT
---
Masa keemasan catenaccio ini kemudian diteruskan oleh Herrera, entah itu Helenio maupun Heriberto yang merupakan pelatih Juventus. Setelah 25 Mei 1967, tim-tim Italia sebenarnya sudah menanggalkan catenaccio, tetapi mereka masih setia dengan satu konsep utama dari sistem tersebut, yakni penjagaan orang-per-orang alias man-to-man marking.
Pada tahun 1972 dan 1973, Italia mengirimkan dua wakil ke final European Cup, yakni Inter dan Juventus. Ketika itu, Inter yang dilatih Giovanni Invernizzi menggunakan formasi 4-2-3-1 sementara Juventus-nya Cestmir Vycpalek (paman dari Zdenek Zeman) menggunakan formasi 4-4-2. Keduanya masih sama-sama menggunakan man-to-man marking dan berhasil dikalahkan oleh Ajax-nya Rinus Michels dan Stefan Kovacs yang memainkan totaal voetbal.
Terinspirasi dari sini, pada paruh kedua dasawarsa 1970-an, lahirlah zona mista. Dipimpin oleh Luigi Radice yang ketika itu melatih Torino dan Giovanni Trapattoni yang saat itu membesut Juventus, lahirlah sistem permainan ala catenaccio tetapi menggunakan sistem penjagaan daerah (zonal marking).
ADVERTISEMENT
Zona mista inilah yang kemudian disebut sebagai Giocco all'Italiana alias Gaya Bermain Italia. Dengan sistem permainan hibrida ini, Italia dengan Blocco-Juve-nya berhasil membawa pulang Piala Dunia 1982 dan Juventus sendiri mampu memenangi European Cup 1985.
Meski begitu, zona mista tak selamanya bergantung pada zonal marking. Pada pertandingan antara Italia dan Argentina di Piala Dunia 1982, Enzo Bearzot memerintahkan jagal andalannya, Claudio Gentile, untuk menempel Diego Maradona tanpa boleh lepas sekali pun.
[Baca Juga: Sang Libero Terakhir, Salvatore Fresi ]
Catenaccio dan zona mista sendiri pada akhirnya memang tak hanya populer di Italia. Penggunaan libero, misalnya, tak eksklusif menjadi milik Italia saja karena Jerman pun kemudian juga mampu menghasilkan libero-libero legendaris mulai dari Franz Beckenbauer, Klaus Augenthaler, sampai Matthias Sammer.
ADVERTISEMENT
Namun, catenaccio dan zona mista ini memang sudah kadung lekat dengan identitas orang Italia dan meski sempat ditinggalkan pada awal 2000-an karena maraknya penggunaan penyerang tunggal, spiritnya kembali dihidupkan oleh Antonio Conte bersama Juventus pada awal dekade 2010-an. Ketika Conte menangani Timnas Italia pada Euro 2016 lalu, dia pun menggunakan spirit catenaccio dan zona mista untuk mengalahkan lawan-lawan yang lebih kuat seperti Spanyol dan Belgia.
Kini, Conte membawa spirit itu ke tanah Britania bersama Chelsea. Berkompetisi di liga terpopuler di dunia, Conte punya kans besar untuk menjadikan spirit catenaccio ini kembali mendunia seperti sebelumnya. Pertanyaannya, sampai sejauh mana catenaccio ultra-modern ini bakal bisa bertahan?