Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
'The English Game': Kisah Bagaimana Sepak Bola Menjadi Sepak Bola
21 Maret 2020 21:02 WIB
Diperbarui 3 April 2020 13:16 WIB
Pandemi virus corona membuat sepak bola lumpuh. Semua kompetisi akbar sudah dihentikan dan sampai sekarang belum bisa dipastikan kapan bakal digelar kembali. Di Indonesia, penundaan kompetisi pun sudah dilakukan.
Di tengah absennya kompetisi sepak bola itu, Netflix hadir sebagai penyelamat. Sabtu (21/3/2020), sebuah miniseri bertema sepak bola sudah bisa dinikmati di layanan streaming tersebut.
Miniseri itu berjudul 'The English Game '. Ditulis oleh kreator 'Downton Abbey', Julian Fellowes, miniseri tersebut berisikan enam episode yang menceritakan soal bagaimana sepak bola benar-benar menjadi modern.
Protagonis utama dalam miniseri itu adalah Fergus Suter, pria Skotlandia yang tercatat dalam sejarah sebagai pesepak bola profesional pertama. Di 'The English Game', Suter diperankan oleh Kevin Guthrie.
Latar waktu 'The English Game' adalah 1878 ketika sepak bola masih dikuasai kaum aristokrat. Ketika itu belum ada nama Manchester United, Liverpool, atau Arsenal, melainkan Wanderers, Old Etonians, dan Royal Engineers.
Wanderers dan Old Etonians menjadi kekuatan dominan sepak bola Inggris saat itu, di mana perebutan supremasi dilakukan lewat Piala FA .
Sejak Piala FA mulai dihelat pada 1871 sampai ketika cerita di 'The English Game' dimulai, Wanderers telah tampil dalam enam final Piala FA dan memenangi lima di antaranya. Old Etonians, sementara itu, tampil lima kali dan jadi juara sekali.
Arthur Kinnaird, yang pernah memperkuat Wanderers dan Old Etonians, total tampil sembilan kali di final Piala FA dan sampai sekarang belum ada orang yang bisa menyamai prestasi itu.
Kinnaird adalah seorang bangsawan lulusan Eton College dan di kemudian hari bakal menjadi Ketua FA. Dalam karier bermainnya, dia pernah bermain di semua posisi, dari kiper sampai striker.
Dalam 'The English Game', Kinnaird menjadi antagonisnya. Diperankan Edward Holcroft, Kinnaird ditunjukkan sebagai seorang yang gagah, tampan, dihormati banyak orang, dan sedikit arogan.
Selama dikuasai kaum aristokrat, sepak bola masih amat bertumpu pada kemampuan individual. Para bangsawan itu lebih suka menggiring bola sendiri daripada bekerja sama dengan rekan-rekannya.
Selain itu, sepak bola juga masih sangat keras. Fellowes berujar bahwa pada masa itu sepak bola hampir tak ada bedanya dengan rugbi dan 'The English Game' ini menceritakan bagaimana distingsi itu akhirnya muncul.
Distingsi yang dimaksud tentu saja adalah soal cara bermain. Sedari awal, orang-orang Skotlandia yang bertubuh lebih kecil dibanding orang Inggris memang sudah memainkan sepak bola berbasis umpan-mengumpan.
Dalam pertandingan internasional pertama dalam sejarah yang dihelat pada 1872, distingsi itu sudah tampak. Inggris bermain dengan pakem 1-2-7, sementara Skotlandia tampil dengan formasi 2-2-6.
Menurut Jonathan Wilson dalam 'Inverting the Pyramid', perbedaan antara gaya Inggris yang individualis dan Skotlandia yang kolektif mulai tampak di pertandingan yang berakhir imbang 0-0 tersebut.
Pemain-pemain Skotlandia sendiri akhirnya menjadi amat populer di persepakbolaan Inggris. Bukti paling mencolok bisa disaksikan di skuat Preston North End 1888-89.
Preston saat itu berhasil menjadi tim pertama yang menjuarai kompetisi liga dan Piala FA di tahun yang sama. Tujuh dari sebelas pemain tim utama Preston berasal dari Skotlandia.
Namun, sebelum itu terjadi, tentu ada satu sosok yang mengawalinya dan sang pionir itu adalah Suter. Dalam 'The English Game', dikisahkan Suter, bersama rekannya Jimmy Love, bergabung dari Partick, sebuah klub dari Glasgow, ke Darwen.
Darwen sendiri merupakan klub kelas pekerja yang berisikan para buruh pabrik tekstil di Blackburn. Nantinya, di ajang Piala FA, mereka akan bertemu dengan Old Etonians yang diperkuat oleh Kinnaird.
Dengan kata lain, 'The English Game' ini juga akan menceritakan bagaimana sepak bola bisa berpindah tangan, dari yang mulanya milik kaum aristokrat menjadi—meminjam istilah Dmitri Shostakovich—ballet of the masses.
Belum akan ada pertandingan sepak bola sungguhan dalam waktu dekat ini dan, oleh karena itu, kami dari kumparanBOLA merekomendasikan miniseri 'The English Game' ini untuk menjadi tontonan pengisi kekosongan.
Satu episode di miniseri ini memiliki durasi 43 menit, sementara yang paling panjang 55 menit. Jadi, menonton satu season miniseri ini kurang lebih sama rasanya dengan menyaksikan tiga pertandingan sepak bola secara beruntun.
Kuy!
Catatan editorial:
Di masa social distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama.
Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.