Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
"Alih-alih mendengarkan kata hati, ini adalah waktunya untuk menggunakan akal sehat."
ADVERTISEMENT
Sergio Cragnotti marah besar hari itu. Saking marahnya, dia sampai mengancam bakal menjual separuh dari sahamnya di Lazio. Beruntung, ada Dino Zoff di sana yang menenangkannya.
13 Juni 1995, sepak bola Italia masih berada di masa jayanya. Bagi mereka, semua terlihat mudah kala itu. Para pesepak bola terbaik ada di Serie A dan klub-klub Italia begitu ditakuti di kancah antarklub Eropa. Tak mengherankan, memang, mengingat secara finansial, klub-klub Italia memang nyaris tak ada duanya.
Sampai detik itu, rekor pembelian pemain termahal masih ada di tangan Milan. Tiga tahun sebelumnya, mereka membeli Gianluigi Lentini dari Torino dengan harga 13 juta poundsterling. Pembelian itu merupakan penutup dari adu kekuatan finansial yang ditunjukkan Milan dan Juventus pada musim panas 1992.
ADVERTISEMENT
Sebelum Lentini diangkut Milan, Juventus sudah lebih dulu merekrut Gianluca Vialli dari Sampdoria dengan banderol 12 juta pounds. Padahal, tak seberapa lama sebelum itu, Milan telah memecahkan rekor transfer via pembelian Jean-Pierre Papin dari Marseille yang bermahar 10 juta pounds. Transfer Papin itu memecahkan rekor transfer Roberto Baggio senilai 8 juta pounds kala Juventus menariknya dari Fiorentina pada 1990. Seperti itu terus.
Pada 1995 itu, Cragnotti berkesempatan untuk menerima uang transfer termahal ketiga di dunia. Parma yang sedang membangun kekuatan dengan sokongan dana keluarga Tanzi berupaya untuk menawar penyerang hebat milik I Biancocelesti yang telah menjadi topskorer Serie A selama dua musim berturut-turut dengan mahar 11 juta pounds.
Si penyerang itu, saat tawaran tersebut datang, telah berusia 27 tahun dan menurut Cragnotti, tak banyak lagi yang bisa dia tawarkan bagi Lazio. Maka dari itu, uang 11 juta pounds itu sudah siap diterimanya untuk membiayai peremajaan tim.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hal tak terduga kemudian terjadi. Kabar penjualan sang capocannoniere itu sampai di kuping para tifosi. Dengan dipimpin kelompok ultras, Irriducibilli, sebuah demonstrasi besar-besaran digelar di depan markas Cirio, pabrik makanan milik Cragnotti.
Dalam demonstrasi itu, ada ratusan orang yang terlibat. Menurut laporan La Gazzetta dello Sport, mereka berbuat onar dengan melempari markas Cirio dengan pelbagai misil yang bisa mereka temukan, mulai dari batu sampai tomat busuk. Tujuan mereka cuma satu: agar Cragnotti mengurungkan niatnya menjual sang bomber.
Pada akhirnya, meski diiringi rasa kesal dan ancaman, Cragnotti luluh juga. Sang penyerang andalan tak jadi dijual dan Parma pun kemudian mengalihkan bidikan kepada Faustino Asprilla. Sang penyerang hebat itu kemudian bertahan sampai satu setengah tahun lagi dan pergi dengan meninggalkan catatan emas yang sulit disamai oleh siapa pun.
ADVERTISEMENT
Nama penyerang itu adalah Giuseppe Signori.
***
Awalnya tak mudah bagi Signori. Dia lahir dan besar di Alzano Lombardo pada 17 Februari 1968. Sebagaimana pesepak bola asal Lombardia pada umumnya, hanya ada tiga opsi baginya saat masih bocah dulu, yakni bergabung dengan akademi Atalanta, Milan, atau Internazionale. Signori memilih opsi ketiga.
Pada usia 13 tahun, Signori sudah tercatat sebagai anggota akademi Inter. Di sana, dia menghabiskan waktu selama tiga tahun sebelum akhirnya dilepas karena dianggap terlalu kecil.
Sebagai catatan, Inter memang seringkali melakukan hal ini pada masa lampau. Sebelumnya, mereka pernah membuang seorang bek sentral bertubuh kecil yang di kemudian hari bakal menjadi legenda terbesar rival sekota mereka. Dia adalah Franco Baresi.
Setelah dilepas Inter, Signori harus memulai segalanya dari bawah. Untuk itu, bergabunglah dia bersama klub Serie D, Leffe, pada tahun 1984. Semusim di Serie D, Leffe kemudian mencapai promosi ke Serie C2 pada musim berikutnya.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan promosinya Leffe, Signori pun berhasil menembus tim utama Leffe. Hanya saja, kala itu dia belum dimainkan sebagai penyerang tengah. Dengan postur kecil yang ditunjang dengan kecepatan dan kemampuan dribel mumpuni, Signori pun dialihfungsikan menjadi seorang pemain sayap.
Sebagai pemain sayap, keran gol Signori pun belum terbuka dengan optimal. Walau begitu, akurasi tendangan ini kemudian terwujud dalam kualitas umpan-umpan silang yang dia produksi. Akhirnya, bakat Signori pun tercium oleh Piacenza yang kala itu berlaga di Serie C1. Pada 1986, Signori berganti seragam menjadi merah-putih.
Di Piacenza inilah masa-masa tersulit karier Signori terjadi. Setelah gagal bersaing memperebutkan slot di tim utama, ketika Piacenza promosi ke Serie B pada 1987, Signori pun dipinjamkan kembali ke klub Serie C1, Trento. Signori kemudian kembali ke Piacenza pada musim 1988/89 tetapi klub berjuluk Biancorossi itu justru harus terdegradasi kembali ke Serie C1.
ADVERTISEMENT
Total, selama bermain untuk Leffe, Piacenza, dan Trento selama lima musim, hanya ada 17 gol yang mampu diciptakan Signori. Padahal, dalam kurun waktu itu dia bermain sebanyak 115 kali. Dengan kata lain, peran sebagai sayap kiri itu benar-benar menghambat karier Signori. Di situ, tidak tampak tanda-tanda bahwa dia akan menjadi penyerang hebat.
Namun, keberuntungan kemudian berpihak kepada Signori. Piacenza boleh jadi terdegradasi, tetapi performa apik sang pemain tidak luput dari pengamatan. Adalah Zdenek Zeman yang kala itu melihat potensi sesungguhnya dari Signori. Ketika itu, Zeman pun belum diakui sebagai salah satu pelatih top di Italia karena memang dirinya belum pernah sampai ke Serie A.
Zeman kala itu masih menangani Foggia di Serie B dan di situ, dia memutuskan untuk mengamankan jasa Giuseppe Signori. Pelatih asal Republik Ceko itu memutuskan untuk membangun tim di sekeliling Signori. Setelah dua musim berjuang di Serie B, Foggia akhirnya berhasil promosi ke Serie A.
ADVERTISEMENT
Di bawah asuhan Zeman, Foggia menjelma menjadi kekuatan yang barangkali belum pernah dilihat sebelumnya di Italia. Dengan mengandalkan sepak bola ultraofensif, Zeman menggegerkan 'Tanah Catenaccio'. Gaya bermain inilah yang belakangan diberi nama Zemanlandia.
Pada musim 1991/92 itu, Zeman merekrut empat pemain berbakat lain untuk menjadi penyokong Signori. Tiga pemain yang dimaksud adalah Francesco Baiano, Roberto Rimbaudi, Igor Kolyvanov, dan Igor Shalimov. Jika Baiano, Rimbaudi, dan Kolyvanov adalah pemain depan, Shalimov adalah seorang kreator di lini tengah.
Di musim itulah Signori akhirnya berhasil menunjukkan betul kemampuannya. Torehan golnya memang kalah dibanding Baiano yang sukses mengemas 18 gol. Akan tetapi, 11 gol dari Signori itu sudah cukup untuk memikat Lazio yang sedang berupaya membangun kejayaan.
ADVERTISEMENT
***
Kepindahan Signori ke Lazio sebenarnya tidak menghebohkan. Kalau boleh dibilang, prosesnya begitu natural. Lazio adalah klub kaya, Foggia adalah Foggia. Ketika Lazio menyodorkan uang 3 juta poundsterling kepada Foggia, mau tak mau Foggia pun menerimanya.
Selain karena sifat transfer yang demikian, kepindahan Signori ke Lazio pun tertutupi dengan adanya transfer spektakuler yang melibatkan Biancocelesti dengan klub asal London, Tottenham Hotspur. Subjeknya kala itu adalah Paul Gascoigne yang sempat membikin heboh di Piala Dunia 1990.
Harga Gascoigne pun lebih mahal dibanding Signori. Maka dari itu, esksposur yang didapatkan Beppe Signori pun tidaklah sebesar yang diterima Gazza.
Akan tetapi, Signori memang tidak butuh sorot lampu yang terlampau terang. Sejak belia, dia sudah terbiasa bergerak di bawah bayang-bayang dan itu pulalah yang dirinya lakukan di Olimpico. Hanya butuh dua laga bagi Signori untuk mencetak gol perdananya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, gol mengalir deras ke rekening milik Signori. Dari tujuh laga perdana bersama Lazio, Signori sukses mencetak sembilan gol. Di musim itu, dia pun sukses mencetak gol trademark-nya ke gawang Inter. Dengan solo run dari tengah lapangan, dia mengelabui tiga bek Nerazzurri sebelum melepaskan tembakan keras dengan kaki kiri yang bersarang telak di gawang Walter Zenga.
Pada akhir musim, Signori dinobatkan menjadi capocannoniere. Jika pada musim sebelumnya Marco van Basten mampu mencetak 25 gol untuk menjadi topskorer, pada musim 1992/93 itu Signori mencetak satu gol lebih banyak. Dia berhasil mengungguli nama-nama besar lain macam Roberto Baggio, Abel Balbo, maupun Gabriel Batistuta.
Sejak itu, laju Signori tak terhenti. Pada musim 1993/94, Cragnotti menambah daya dobrak Lazio dengan mendatangkan Alen Boksic dan Pierluigi Casiraghi. Namun, kedua pemain itu pun ternyata tidak mampu menandingi produktivitas Signori. Pada akhir musim, 23 gol dari Signori sudah cukup untuk menggondol trofi capocannoniere untuk kali kedua. Tak pelak, satu tempat di Piala Dunia 1994 pun jadi miliknya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pada Piala Dunia tersebut Signori tak berhasil mengubah cara berpikir Arrigo Sacchi. Di Amerika Serikat, Sacchi lebih memilih untuk menduetkan Roberto Baggio dengan Daniele Massaro di lini depan. Sedangkan, Signori dikembalikan ke 'posisi asli'-nya, sayap kiri.
Kalau boleh jujur, Signori sejatinya tak tampil buruk di situ. Dua assist, masing-masin untuk Dino dan Roberto Baggio, berhasil dicatatkannya. Akan tetapi, Signori yang merasa tak puas dengan keputusan Sacchi itu kemudian melancarkan protes. Pada partai puncak menghadapi Brasil, Signori pun ditepikan dan digantikan oleh Roberto Donadoni.
Usai Piala Dunia yang menyakitkan itu, Signori bereuni dengan Zeman di Lazio. Musim 1994/95 itulah yang kemudian menjadi musim terbaik Signori jika prestasi klub jadi ukuran. Meski 'hanya' mampu mencetak 17 gol dan gagal jadi topskorer, Signori mampu membawa Gli Aquilotti menduduki posisi kedua klasemen akhir.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Signori menjadi topskorer itulah yang kemudian menjadi salah satu latar belakang keputusan Cragnotti untuk melegonya. Namun, setelah kericuhan itu usai, Signori ternyata mampu kembali menunjukkan tajinya. Pada musim 1995/96, Signori kembali berhasil menjadi topskorer. Walau begitu, dia harus bersanding dengan penyerang Bari, Igor Protti, di puncak. Di musim selanjutnya, Protti pun benar-benar disandingkan dengan Signori di lini depan Lazio.
Sayangnya, musim 1996/97 itu tak berjalan mulus bagi Signori (maupun Protti). Kedatangan Sven-Goeran Eriksson dan Roberto Mancini membuat peran Signori jadi terkebiri. Kala itu, dia hanya mampu mencetak 15 gol seraya merelakan gelar pencetak gol terbanyak jatuh ke tangan Filippo Inzaghi.
Kebersamaan Signori dengan Lazio pun berakhir pada pertengahan musim 1997/98. Makin dominannya peran Mancini membuat Signori makin tersisih dan akhirnya, dia pun dipinjamkan ke Sampdoria sampai akhir musim.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, Signori kemudian mampu bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya belum habis. Pada musim panas 1998/99, dia memutuskan untuk menerima pinangan Bologna yang tengah mencari suksesor Roberto Baggio. Baggio sendiri kala itu kembali ke Milan untuk memperkuat Inter.
Bersama Bologna, Signori menjadi raja. Dia didapuk menjadi eksekutor utama bola-bola mati. Berduet dengan Kennet Andersson dan disokong oleh Carlo Nervo, Signori mampu mengangkat Bologna sampai akhirnya lolos ke Piala UEFA 1999/2000. Hal itu mereka raih usai menjuarai Piala Intertoto yang merupakan ajang alternatif untuk mencapai Piala UEFA.
Di ajang Piala UEFA, Bologna tampil menawan. Mereka kemudian berhasil mencapai babak semifinal sebelum kalah dari Marseille lewat aturan gol tandang.
Total, Signori menghabiskan waktu enam musim bersama Rossoblu sebelum memutuskan untuk bertualang di Yunani. Dalam kurun waktu itu, Signori bermain sebanyak 142 kali dan mencetak 78 gol. Akhirnya, pada musim 2004/05, dia memutuskan untuk hijrah ke Iraklis sebelum gantung sepatu semusim berikutnya kala berseragam Sopron.
ADVERTISEMENT
***
Harus diakui bahwa Giuseppe Signori memang merupakan sosok spesial di jagat Calcio. Selama 13 tahun berkiprah di Serie A, dia mampu menyarangkan 188 gol dan itu membuat dirinya jadi pencetak gol terbanyak kesembilan sepanjang masa. Untuk urusan itu, Signori berdiri sama tinggi dengan legenda Juventus, Alessandro Del Piero.
Setelah pensiun, Signori sempat bekerja sebagai analis di RAI Radio1 sebelum beralih ke dunia manajemen sebagai direktur olahraga di Ternana. Signori pun kala itu sempat menjalani kursus kepelatihan di Coverciano.
Akan tetapi, setelah lama tak terdengar lagi, namanya mendadak muncul dalam skandal Calcioscommesse yang menggegerkan sepak bola Italia pada 2011 silam. Pada 1 Juni 2011, Signori ditahan polisi atas keterlibatannya dalam skandal pengaturan skor berbasis judi tersebut. Belakangan, dia diputus bersalah dan dijatuhi hukuman larangan berkecimpung di sepak bola selama lima tahun.
ADVERTISEMENT
Dalam skandal tersebut, Signori merupakan salah satu sosok penting dalam sindikat Bologna. Bahkan, dia sampai punya julukan khusus di kalangan orang-orang yang terlibat. Julukan yang dimaksud adalah 'Tuan 200 Gol'.
Sebenarnya tak cuma Signori mantan pemain yang terlibat. Di sana, turut hadir pula nama-nama macam Stefano Bettarini, Mauro Bressan, sampai Cristiano Doni. Namun, tak ada dari mereka yang punya nama maupun impak sebesar Signori di jagat persepakbolaan Italia. Dengan demikian, nama Signori-lah yang kemudian paling kerap disebut saat itu.
Terlepas dari itu semua, Signori tetap merupakan seorang legenda dan status itu tidak bisa diganggu gugat. Untuk menjadi topskorer Serie A sebanyak tiga kali di saat liga tersebut sedang berada di puncak jelas bukan perkara gampang. Bagi para tifosi Lazio dan Bologna, dia adalah sosok legenda. Artinya, warisan Signori tidak serta merta hilang begitu saja karena keterlibatannya dalam kasus kriminal itu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, ada tiga sosok Giuseppe Signori yang tercatat dalam sejarah. Signori sebagai bocah yang dipandang sebelah mata, Signori sebagai legenda sepak bola, dan Signori yang gelap mata. Mana yang akan Anda ingat, itu semua kami serahkan kepada Anda sendiri.
=====
*) kumparanBOLA berkolaborasi dengan Super Soccer TV menghadirkan tayangan-tayangan Serie A di kumparan. Nantikan tanggal mainnya!