Timnas Amerika di Piala Dunia Wanita: Antara Trump dan Final Kepagian

28 Juni 2019 17:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Megan Rapinoe dan Alex Morgan di laga vs Spanyol. Foto: AFP/Franck Fife
zoom-in-whitePerbesar
Megan Rapinoe dan Alex Morgan di laga vs Spanyol. Foto: AFP/Franck Fife
ADVERTISEMENT
Megan Rapinoe terdiam. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apa pun. Matanya dengan tajam menyorot ke depan, bibirnya terkatup rapat.
ADVERTISEMENT
Di sekelilingnya, teriakan bergemuruh. Sepuluh orang di sisinya, dan ribuan lagi di tribune Stade Auguste-Delaune, Reims, dengan lantang mengumandangkan The Star Spangled Banner untuk membakar semangat.
Timnas Putri Amerika Serikat punya hajat siang itu. Mereka datang untuk meladeni Timnas Spanyol pada pertandingan babak perdelapan final Piala Dunia Wanita 2019. Ini adalah ujian sesungguhnya bagi mereka di turnamen kali ini; ujian pertama dalam usaha mempertahankan gelar juara.
Meski terdiam, semangat Rapinoe tetap menggelegak. Hanya, dia enggan menampakkannya, apalagi ketika lagu kebangsaan tengah berkumandang. Baginya, menyanyikan The Star Spangled Banner adalah wujud pembenaran dari segala yang ada di negaranya.
Jangan salah. Rapinoe bukannya tidak mencintai negaranya. Justru, ketidakpuasan wanita 33 tahun itu hadir karena rasa cinta yang teramat dalam. Maka dari itu, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dengan menolak menyanyikan lagu kebangsaan, Rapinoe ingin mengingatkan orang-orang bahwa Amerika sedang tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Megan Rapinoe jelang laga vs Spanyol. Foto: AFP/Franck Fife
Apa yang dilakukan Rapinoe ini masih sejalan dengan aksi protes Colin Kaepernick beberapa tahun lalu. Bahkan, Rapinoe adalah atlet kulit putih pertama yang mengikuti jejak Kaepernick untuk berlutut tatkala The Star Spangled Banner dikumandangkan. Dia pertama kali melakukannya pada 2016 dalam sebuah pertandingan menghadapi Thailand.
Protes Kaepernick itu berpangkal dari ketidakadilan struktural di Amerika yang utamanya menyasar kaum minoritas, terutama orang kulit hitam. Rapinoe mengakui bahwa dia belum pernah menjadi korban ketidakadilan bermotif rasial. Akan tetapi, selama ketidakadilan itu merajalela, dia tidak akan diam saja.
Bagi Kaepernick sendiri, aksi protesnya itu berbuntut panjang. Dia memang akhirnya mendapat kontrak eksklusif dengan Nike tetapi kariernya di NFL kemudian hancur. Hujatan pun datang dari kanan-kiri.
ADVERTISEMENT
Rapinoe tidak pernah mengalami apa yang dialami Kaepernick. Kariernya sampai sekarang baik-baik saja dan tidak pernah ada kecaman berarti yang dialamatkan kepadanya akibat aksi berlutut tersebut. Namun, di Piala Dunia 2019 ini dia tak lagi bisa berlutut.
Ada aturan dari federasi sepak bola Amerika bahwa setiap lagu kebangsaan dikumandangkan semua pemain harus berdiri. Maka, Rapinoe pun tidak punya pilihan. Dia harus berdiri sama tinggi dengan rekan-rekannya. Meski demikian, lantaran tak ada kewajiban untuk bernyanyi, dia pun tetap bungkam.
Megan Rapinoe merayakan gol ke gawang Spanyol. Foto: AFP/Lionel Bonaventure
Hanya selang satu hari setelah kejadian tersebut, muncul sebuah video lawas yang direkam sebelum Piala Dunia berlangsung. Dalam video yang berasal dari arsip balik layar sesi pemotretan 8 by 8 Magazine itu, Rapinoe ditanya apakah dia bersedia datang ke Gedung Putih jika diundang.
ADVERTISEMENT
Dengan tegas, dia menjawab, "Pfft, aku tak sudi datang ke Gedung Putih."
Dua hal inilah yang kemudian memicu respons dari Presiden Amerika, Donald Trump. Lewat akun Twitter-nya, Trump mewanti-wanti Rapinoe agar tidak melecehkan Amerika.
"Pemain sepak bola putri, Megan Rapinoe, baru saja berkata bahwa dia tidak sudi datang ke Gedung Putih jika kita jadi juara. Selain dari NBA, para pemilik, liga, dan pemain lain selalu merasa senang datang ke Gedung Putih. Aku adalah penggemar berat Timnas Amerika dan sepak bola wanita, tetapi Megan harus menang dulu sebelum bicara!" tulis Trump.
"Rampungkanlah dulu pekerjaanmu. Kami memang belum mengundang Megan dan timnya, tetapi lewat sini aku mengundang mereka semua, mau menang ataupun kalah. Megan tidak boleh sekali pun melecehkan negara, Gedung Putih, serta bendera kita, terutama karena sudah banyak hal yang didapatkan dirinya dan tim. Banggalah dengan bendera yang kau kenakan. Amerika hebat!" tambah pria 73 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Presiden Donald Trump adakan buka puasa bersama di Gedung Putih, Washington, Senin, (13/5/2019). Foto: REUTERS/Leah Millis
Masalah tidak selesai sampai di sini. Sebab, apa yang diutarakan Trump itu mendapat balasan lagi dari Rapinoe. Winger yang bermain untuk Reigns FC di NWSL itu kemudian mengingatkan rekan-rekannya agar tidak mengasosiasikan diri dengan Trump. Menurutnya, Trump adalah representasi dari segala hal yang sedang dilawan oleh Timnas Putri Amerika.
"Aku tetap bersikukuh dengan pernyataan yang kubuat beberapa waktu lalu soal penolakan berkunjung ke Gedung Putih. Yang kusesalkan hanyalah kata-kata kotor di sana. Ibuku pasti akan marah mendengarnya," ucap Rapinoe.
"Kami memiliki platform untuk mengubah dunia jadi lebih baik dan karena itulah aku tetap tidak bersedia berkunjung. Aku juga mengingatkan rekan-rekanku agar tidak meminjamkan platform itu kepada pemerintah yang kebijakannya tidak sejalan dengan perjuangan kita," tambah alumnus University of Portland tersebut.
ADVERTISEMENT
Rapinoe pun kemudian mendapat dukungan dari berbagai pihak, salah satunya pelatih Timnas Amerika sendiri, Jill Ellis. Wanita kelahiran Inggris itu berkata, "Kami semua mendukung Megan, dia tahu itu. Kami saling mendukung satu sama lain di dalam tim. Tim kami punya hanya satu fokus dan segala yang terjadi di luar tidak pernah kami hiraukan."
***
Persoalan dengan Trump itulah yang kini mengiringi langkah Timnas Amerika Serikat jelang laga perempat final Piala Dunia menghadapi Prancis. Ellis boleh saja berkata bahwa fokus tim tidak akan terganggu tetapi tentunya ini membuat situasi jadi kurang ideal. Apalagi, Prancis adalah tuan rumah dan salah satu kandidat juara.
Saat ini, Amerika dan Prancis memang merupakan kutub terbesar sepak bola putri dunia. Amerika adalah kekuatan lama yang masih bertahan sampai sekarang. Sementara, Prancis saat ini perlahan-lahan mampu menancapkan dominasi di Eropa.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, Prancis memang belum pernah mendapat gelar apa pun di level internasional. Akan tetapi, kesempatan mereka terbuka begitu lebar dalam edisi 2019 ini. Penyebabnya, tak lain, adalah prestasi hebat tim-tim Prancis di level klub.
Olympique Lyonnais Feminin berhasil menjadi juara Liga Champions Putri musim 2018/19 lalu. Itu merupakan gelar Lyon yang keempat secara berturut-turut dan keenam secara total. Pada babak final lalu, Lyon sukses mengandaskan perlawanan Barcelona.
Dari tim putri Lyon itulah Prancis membangun fondasi skuat. Di semua lini, yang menjadi andalan tim adalah para penggawa Lyon, mulai dari Sarah Bouhaddi (kiper), Wendie Renard (belakang), Amandine Henry (tengah), sampai Eugenie Le Sommer (depan).
Kapten Prancis, Amandine Henry, merayakan gol ke gawang Brasil. Foto: AFP/Franck Fife
Lyon sendiri tidak menjadi juara hanya karena pemain-pemain Prancis tersebut. Mereka menjadi yang terbaik di Eropa karena pada dasarnya mereka adalah tim All-Star. Bintang-bintang negara lain macam Shanice van de Sanden (Belanda), Dzsenifer Marozsan (Jerman), Lucy Bronze (Inggris), serta pemain terbaik dunia Ada Hegerberg (Norwegia) bermain untuk klub itu.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, usia tim putri Lyon sebenarnya belum panjang. Tim itu baru didirikan oleh Jean-Michel Aulas pada 2004. Akan tetapi, sejak saat itu Aulas sudah punya tekad untuk membangun skuat bertabur bintang seperti sekarang. Keinginan itu terwujud ketika sudah memasuki dekade 2010-an dan sampai sekarang Aulas masih konsisten.
Selain Lyon, Prancis juga memiliki Paris Saint-Germain. Dari segi prestasi, PSG masih kalah jauh. Namun, mereka pun memiliki banyak pemain berkualitas yang membawa mereka bersaing dengan Lyon. Henry pernah bermain di sana. Selain itu, ada Gaetane Thiney yang masih setia. Untuk musim depan, bintang Jerman, Sara Daebritz, sudah direkrut dari Bayern Muenchen.
Di Eropa, keseriusan PSG itu terwujud dalam keberhasilan menembus final Liga Champions sebanyak dua kali. Pada akhirnya, prestasi apik klub-klub ini berimbas pada penampilan Timnas Prancis. Pelatih Corinne Diacre saat ini membangun tim bermodalkan pemain-pemain dari dua klub tersebut dan hasilnya pun sudah terlihat.
ADVERTISEMENT
Prancis, di Piala Dunia 2019, memainkan sepak bola oktan tinggi yang diprediksi bakal merepotkan Amerika di pertandingan perempat final nanti. Mereka tak cuma punya teknik tinggi, tetapi juga determinasi, stamina, dan kekuatan. Ditambah dengan dukungan para suporter, Prancis memang benar-benar layak difavoritkan.
Timnas Putri Prancis merayakan kemenangan atas Brasil. Foto: AFP/Franck Fife
Nah, tim seperti itulah yang akan dihadapi Amerika Serikat. Maka, distraksi sekecil apa pun, termasuk isu dengan Trump tadi, tetap punya potensi untuk mengganggu persiapan tim. Apalagi, di perempat final lalu Amerika benar-benar dibuat kerepotan oleh Spanyol yang bermain dengan intensitas dan kecerdasan tinggi.
Walau demikian, Prancis sendiri tidak bisa juga kelewat percaya diri. Pasalnya, pada perempat final lalu mereka butuh 120 menit untuk menyingkirkan Brasil. Dari sini saja, Amerika dipastikan bakal lebih unggul dari segi kebugaran. Terlebih, kedalaman skuat pasukan Ellis tetap lebih baik dibanding Prancis.
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, semua pemain non-kiper Amerika sudah turun berlaga di Piala Dunia kali ini. Artinya, Amerika memang punya kualitas merata.
Dengan situasi seperti ini, sah rasanya menyebut pertemuan Amerika Serikat dan Prancis di Parc des Princes, Sabtu (29/6/2019) dini hari WIB nanti, sebagai final kepagian. Di laga itu dua kutub besar sepak bola akan bentrok. Siapa pun yang menjadi pemenang, dialah yang bakal benar-benar pantas disebut calon juara.
=====
*) Pertandingan perempat final Piala Dunia Wanita antara Amerika Serikat dan Prancis akan dilangsungkan di Parc des Princes, Paris, pada Sabtu (29/6/2019) pukul 02:00 dini hari WIB. Bisa disaksikan di beIN Sports.