Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Vittorio Orlando tidak menyangka kalau janji-janji yang dia terima sebelumnya bakal dilupakan begitu saja. Perang Dunia I resmi berakhir 28 Juni 1919 di Ruang Cermin Istana Versailles. Di situ semestinya Orlando, sebagai Perdana Menteri Kerajaan Italia, menerima porsi besar atas kontribusi negaranya selama perang. Namun, Inggris dan Prancis berkhianat.
ADVERTISEMENT
Empat tahun sebelum perjanjian itu Italia secara resmi memasuki gelanggang perang. Pada 1914, ketika Perang Dunia I meletus, mereka sebenarnya memilih untuk bersikap netral. Padahal, ketika itu Italia masih berstatus sebagai anggota Triple Alliance yang juga melibatkan Jerman dan Austria-Hongaria.
Triple Alliance dan Triple Entente adalah dua blok kekuatan besar Eropa pada masa itu. Keduanya dibentuk pada akhir abad ke-19. Jika Triple Alliance beranggotakan Italia, Jerman, dan Austria-Hongaria, Triple Entente berisikan Inggris, Prancis, dan Kekaisaran Rusia.
Gavrilo Princip jadi pemicu perang tersebut. Dia adalah penarik pelatuk pistol yang pelurunya menembus dada putra mahkota Kekaisaran Austria-Hongaria, Adipati Franz Ferdinand. Pembunuhan itu mendorong Austria-Hongaria untuk menyatakan perang terhadap Serbia yang pada kenyataannya merupakan negara boneka Rusia.
ADVERTISEMENT
Perang pun berkecamuk. Triple Entente bersatu padu menggempur Austria-Hongaria yang dalam prosesnya mendapat bantuan dari Jerman dan Kekaisaran Turki Usmani. Sampai pada titik itu, Italia masih bersikap netral. Mereka mencoba untuk mengambil langkah pragmatis yang bakal memberi keuntungan optima di ujung peperangan.
Pada 1915, lewat bujuk rayu Inggris, Italia akhirnya mengkhianati aliansinya dengan Jerman dan Austria-Hongaria. Diiming-imingi kekuasaan atas Laut Adriatik dan sejumlah wilayah di sekitarnya, Italia bersedia menandatangani Traktat London yang secara efektif membawa mereka ke medan perang.
Italia bergabung dengan Pasukan Sekutu. Di akhir cerita merekalah yang jadi pemenang perang. Pada Perjanjian Versailles 1919 para pemenang perang ini membagi-bagi wilayah kekuasaan barunya. Namun, Italia tidak mendapatkan apa yang sebelumnya sudah dijanjikan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mendapatkan kekuasaan atas Laut Adriatik, Italia cuma diberi mandat atas dua daerah kecil di Eropa daratan, Istria dan Tirol Selatan. Padahal, pengorbanan Italia tidak kecil. Lebih dari 460 ribu serdadu Italia gugur di medan perang. Hal ini membuat Italia marah besar. Gejolak pun tidak terelakkan lagi. Ini yang kemudian membuat fasisme bangkit di bawah komando Benito Mussolini.
***
Pada 1921, atau dua tahun setelah Perjanjian Versailles, perebutan pengaruh politik di Italia sedang panas-panasnya. Mereka yang menentang dan mendukung fasisme turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan aspirasi. Tak jarang, penyuaraan aspirasi tadi berakhir dengan kerusuhan.
Situasi panas itu tidak cuma terjadi di ranah politik. Di sepak bola pun situasinya demikian. Bahkan, dalam sepak bola, perpecahan sampai terjadi walaupun hanya sebentar.
ADVERTISEMENT
Pangkal dari pertentangan tadi adalah ketidakpuasan dari klub-klub kaya dan kuat dari utara. Mereka merasa kompetisi regional yang diselenggarakan FIGC sejak 1898 tidak lagi ideal karena itu membuat liga level teratas sekalipun jadi terlalu gemuk. Di sisi lain, klub-klub yang lebih kecil merasa bahwa konsep yang ada sudah ideal.
Pozzo dibawa untuk jadi penengah dan akhirnya dia menghadirkan sebuah solusi. Jumlah peserta dipangkas menjadi 24 dan mereka bakal bertanding dalam dua grup, Utara dan Selatan. Klub-klub dari utara tadi menyetujui usulan Pozzo. Dengan ditandatanganinya Pakta Milan, sebuah kompetisi anyar pun terbentuk.
ADVERTISEMENT
Namun, klub-klub kecil tadi tidak terima. Mereka merasa bahwa kompetisi seperti itu hanya akan menguntungkan klub-klub mapan. Dipimpin Novese yang baru terbentuk pada 1919, mereka menentang pembentukan kompetisi baru tersebut. Klub-klub itu pun menandatangani pakta tandingan yang bernama Pakta Novi.
Novese sendiri sebetulnya tidak sepenuhnya menentang usulan Pozzo tersebut. Mereka hanya ingin agar pembentukan kompetisi dengan struktur baru itu ditunda setahun. Pada 1921 itu mereka baru saja promosi ke level tertinggi. Novese ingin diberi waktu setahun agar bisa menjadi salah satu klub mapan di Italia.
21 Juli 1921, sebuah pertemuan dilangsungkan antara klub-klub penentang kompetisi baru dan FIGC. Lewat pertemuan itu, usulan Pozzo ditolak mentah-mentah. Dari 178 klub, yang menyatakan dukungan hanya 65. Akhirnya, 24 klub yang mendukung Pozzo tadi mendeklarasikan berdirinya federasi serta liga tandingan.
ADVERTISEMENT
Federasi tandingan itu diberi nama Confederazione Calcistica Italiana (CCI). Dengan berdirinya CCI, Italia pun memiliki dua kompetisi sepak bola berbeda. Dalam liga milik CCI, Pro Vercelli berhasil menjadi juara untuk merengkuh gelar ketujuhnya yang sekaligus merupakan gelar terakhirnya sampai sekarang. Sementara, pada kompetisi FIGC, Novese keluar sebagai kampiun.
Usia CCI tidak lama; tidak sampai satu tahun. Belum juga kompetisi musim 1921/22 pertemuan kembali digelar. Klub-klub pembentuk CCI ingin perseteruan rampung karena federasi milik mereka tidak diakui oleh FIFA. Sebaliknya, FIGC ingin masalah selesai supaya klub-klub besar kembali ke pangkuan mereka.
Berkat andil Emilio Colombo, kompromi tercapai. Secara aklamasi, idenya untuk membentuk kompetisi berisi 36 klub yang dibagi dalam tiga grup disetujui. Dengan kompromi ini, CCI dibubarkan dan klub-klub yang sebelumnya membangkang bergabung kembali dengan FIGC. Uniknya, baik Pro Vercelli maupun Novese sama-sama diakui sebagai juara Italia musim 1921/22.
ADVERTISEMENT
***
Dualisme kompetisi itu adalah puncak dari berbagai perubahan format yang sudah dari awal sudah akrab denngan kompetisi sepak bola di Italia. Semua itu baru berakhir ketika FIGC membentuk Serie A pada 1929.
FIGC sendiri bukanlah induk organisasi sepak bola tertua di Italia. Pada 1869, sebuah organisasi olahraga bernama FNGI (Federazione Nazionale Ginnastica Italiana) sudah terbentuk. Meskipun ada kata 'ginnastica', atau senam, di namanya, FNGI sesungguhnya merupakan induk bagi semua olahraga yang ada di Italia.
Pada 1896 FNGI membentuk sebuah kompetisi sepak bola bernama Concorsi Federali di Calcio. Kompetisi ini digelar dalam bentuk turnamen dan tiap tiga tahun sekali ia masuk ke dalam agenda Concorsi Nazionali FGNI alias pekan olahraga Italia.
ADVERTISEMENT
Dua tahun setelah Concorsi Federali di Calcio dimulai FIGC dibentuk oleh empat klub, Genoa, FBC Torinese, Ginnastica Torino, dan Internazionale Torino, dengan nama Federation Italienne du Football. Pada tahun yang sama pula kompetisi pertama di bawah FIGC digelar. Dikepung tiga klub Turin, Genoa sukses keluar sebagai juara.
Pada masa itu bukan hal tabu bagi klub-klub Italia untuk bermain di kompetisi milik FNGI maupun FIGC. Biasanya, kompetisi FNGI dilangsungkan pada musim panas, sementara kompetisi FIGC digelar di musim dingin. Kompetisi milik FNGI sendiri akhirnya berakhir pada 1913 sebagai imbas dari terus membesarnya FIGC sebagai induk organisasi sepak bola.
Meski demikian, dalam catatan sejarah sepak bola Italia, mereka yang keluar sebagai juara di kompetisi milik FNGI seperti Società Udinese di Ginnastica e Scherma yang merupakan cikal bakal Udinese Calcio tidak pernah diakui. Juara-juara yang sah hanya mereka yang berasal dari kompetisi FIGC dan CCI.
ADVERTISEMENT
Pada kompetisi pertama tahun 1898 tadi hanya ada empat tim yang ikut berlaga. Kompetisi pun cuma digelar selama satu hari dalam format turnamen. Berikutnya, menyusul perkembangan pesat FIGC, kompetisi pun digelar dalam bentuk liga regional, di mana juara akan ditentukan lewat turnamen berskala nasiional.
FIGC melakukan perubahan pertamanya pada 1907 ketika mereka memutuskan untuk menggelar dua kompetisi sekaligus yaitu Kompetisi Italia dan Kompetisi Federal. Dari dua kompetisi itu yang prestisenya lebih besar adalah Kompetisi Italia.
Keputusan FIGC itu didasarkan oleh niat untuk mendorong perkembangan pemain-pemain lokal. Pada masa awal persepakbolaan Italia jumlah pemain asing, utamanya dari Inggris, memang sangat banyak karena merekalah yang pada dasarnya memperkenalkan sepak bola di sana.
ADVERTISEMENT
FIGC ingin agar hal itu berubah. Maka, klub-klub yang menggunakan pemain Italia diberi keistimewaan lewat Kompetisi Italia tadi. Inilah yang kemudian memicu kebangkitan Pro Vercelli. Tanpa adangan dari klub-klub seperti Milan, Genoa, serta Torino yang menolak ambil bagian, mereka berhasil jadi penguasa Italia.
Sistem itu tidak bertahan lama karena klub-klub peserta kemudian mengakali situasi dengan hanya mengikuti Kompetisi Federal. Dengan demikian, kualitas dan prestise Kompetisi Italia pun terkikis. FIGC akhirnya mengalah dan menghapuskan sistem dua kompetisi tersebut.
Sejak 1910 kompetisi regional menjadi format yang digunakan FIGC sampai akhirnya itu semua berubah pada 1929. Menyusul krisis internal dan tekanan dari rezim fasis Mussolini, sebuah kompetisi berskala nasional dibentuk dengan format round-robin. Kompetisi itu diberi nama Serie A dan ini bertahan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
***
Dalam perkembangannya Serie A berhasil jadi salah satu kompetisi sepak bola terbaik dunia, terutama pada dekade 1980-an dan 1990-an. Di sini gelar juara disebut Scudetto (tameng kecil) karena peraih gelar bakal mengenakan emblem berbentuk tameng kecil bergambar bendera Italia pada musim berikutnya. Sampai saat ini Juventus adalah pengoleksi Scudetti terbanyak, sementara Internazionale jadi satu-satunya tim yang belum pernah tedegradasi.
Ada beberapa perubahan yang sempat mewarnai perjalanan sejarah Serie A. Perubahan jumlah peserta, misalnya. Ketika pertama kali digelar Serie A diikuti oleh 18 peserta tetapi pada kemudian jumlahnya berkurang menjadi 16. Pada 1967 jumlah peserta ditambah lagi menjadi 18 dan ini bertahan sampai 1998.
Kini, Serie A diikuti 20 peserta dan kebijakan itu dimulai pada 2004. Ketika diikuti 18 peserta, setiap musimnya ada empat tim yang harus terdegradasi. Sedangkan, untuk saat ini, hanya tiga tim yang terdemosi ke Serie B tiap musimnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di Serie A juga pernah ada larangan penggunaan pemain asing. Menyusul kekalahan dari Korea Utara di Piala Dunia 1966, klub-klub Italia tidak diperkenankan lagi membeli pemain asing. Kebijakan ini bertahan sampai 1980 ketika setiap klub diperbolehkan merekrut satu pemain asing.
Di Serie A, perubahan bukan satu-satunya hal menarik dalam sejarah. Tragedi dan skandal juga mewarnai perjalanan liga ini. Pada 1949, Tragedi Superga membunuh semua pemain serta pelatih Torino yang kala itu menjadi penguasa Italia. Tragedi itu pula yang kemudian berimbas pada menurunnya prestasi tim nasional.
Soal skandal, Calciopoli tahun 2006 jadi yang paling terkemuka. Calciopoli adalah skandal pengaturan skor yang membuat Juventus harus didegradasi ke Serie B dan tim-tim seperti Milan dan Lazio mendapat pengurangan poin signifikan. Sebelum itu, Milan juga pernah didegradasi akibat skandal Totonero tahun 1980.
ADVERTISEMENT
Skandal Totonero itu sendiri tidak terjadi satu kali saja karena pada 1986 ia kembali muncul. Baik Totonero maupun Calciopoli sama-sama merupakan skandal pengaturan skor, tetapi perbedaannya ada di motif. Totonero terjadi karena judi, sementara Calciopoli terjadi murni karena alasan olahraga. Skandal serupa Totonero kembali terjadi pada 2011 dengan nama Calcioscommesse.
***
Serie A musim 2019/20 akan mulai digelar pada Sabtu (24/8/2019) malam dengan pertandingan antara tuan rumah Parma dan juara bertahan Juventus. Ini adalah musim ke-90 Serie A digelar dengan formatnya yang sekarang. Di edisi spesial ini, Serie A sama sekali belum lepas dari masalah.
Persoalan stadion jadi salah satu yang terdepan. Banyak stadion Italia yang sudah kelewat uzur dan sebenarnya sudah tidak layak lagi menggelar pertandingan level tertinggi semisal Stadio San Paolo di Naples. Lalu, rasialisme juga masih jadi momok menyebalkan. Kontroversi keputusan wasit pun belum sepenuhnya bisa dienyahkan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, bukan berarti Serie A adalah rumah dari segala yang buruk-buruk saja. Keberhasilan Juventus mereformasi diri adalah salah satu wujud sisi positif Serie A. Selain itu, klub-klub seperti Inter dan Napoli juga semakin kuat sehingga musim ini mereka punya peluang yang nyata untuk menggoyang dominasi Juventus.
Belum lagi jika kita bicara soal tim-tim seperti Atalanta yang mampu meraih hasil bagus dengan anggaran terbatas. Kemudian, ada pula tim seperti Fiorentina yang tengah berupaya membangun kembali kejayaannya di bawah Rocco Commisso. Terakhir, jangan lupakan Milan yang mulai menemukan cara cerdas untuk bangkit dari keterpurukan.
Pada pokoknya, Serie A tak berbeda dengan kompetisi-kompetisi sepak bola lain. Masalah tentu saja sudah secara natural menjadi bagian darinya. Akan tetapi, alangkah tidak adilnya menilai Serie A hanya dari situ. Diam-diam, mereka sedang menapaki jalan untuk meraih kembali apa yang pernah mereka miliki dua hingga tiga dekade silam.
ADVERTISEMENT