Bolanita-Persija Jakarta vs PS Tira

Liga 1 Putri Tak Kunjung Kembali, Sesulit Apa sih Bikin Liga Wanita?

1 Oktober 2023 15:27 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mati suri. Itu adalah frasa yang paling tepat untuk menggambarkan kompetisi profesional sepak bola wanita di Indonesia saat ini. Janji-janji kerap terdengar, tapi mempercayainya luar biasa sukar.
ADVERTISEMENT
Nihilnya kompetisi membuat gerak sepak bola wanita tak ke mana-mana, langkahnya terkesan jalan di tempat. Para pelaku industrinya pun sama, tak bisa sepenuhnya menggantungkan hidup dari sepak bola wanita.
Kompetisi, yang di mana-mana menjadi jantung sepak bola, tak sudah empat tahun tak berdetak. Liga 1 Putri 2019 adalah satu-satunya kompetisi profesional sepak bola wanita yang terselenggara di Tanah Air. Lain itu, hanyalah turnamen amatir semata.
Hingga saat ini, tak ada yang bisa memberi jaminan kapan Liga 1 Putri akan diputar kembali. Sebenarnya, apa yang jadi hambatan? Sesulit apa menggulirkan kembali kompetisi liga bagi sepak bola putri?
Pemain Timnas Wanita Indonesia saat kualifikasi Olimpiade Paris. Foto: PSSI
Tim nasional adalah wajah sepak bola sebuah negara—semua orang tahu itu. Dan wajah sepak bola wanita Indonesia? Coreng moreng. Timnas Wanita Indonesia berkali-kali jadi lumbung gol saat bertanding di kompetisi internasional.
ADVERTISEMENT
Yang paling memalukan tentu saja Piala Asia Wanita 2022. Dari tiga laga yang dilakoni di Grup B, Garuda Pertiwi tak mencatatkan satu gol atau satu poin pun. Pasukan Rudy Eka Priyambada harus puas mengakhiri turnamen sebagai juru kunci dan kebobolan 28 kali. 18 di antaranya diderita Indonesia dari Australia: Garuda Pertiwi kalah 0-18 dari Sam Kerr dkk.
Kekalahan tersebut menimbulkan efek domino. Para pemain dihujat, dicibir, diserang habis-habisan melalui sosial media. Umpatan seperti “Timnas Fun Football”, “Pemain Modal Selebgram” menghujani kolom komentar para penggawa Garuda Pertiwi.
Rudy Eka Priyambada, nakhoda Garuda Pertiwi, mengakui bahwa Australia levelnya jauh di atas Indonesia. Menurut Rudy, timpangnya kualitas tersebut disebabkan oleh satu faktor: kompetisi.
ADVERTISEMENT
"Saya melihat memang ada jarak antara kita dan Australia seperti kualitas pemain. Kita tahu banyak pemain Australia yang bermain di Eropa dan kita baru memulai liga (putri), lalu pandemi," ucap Rudy Eka dalam konferensi pers pasca laga kontra Australia.
"Setelah itu kita tidak ada liga lagi. Untuk itu saya harap pembinaan sepak bola wanita di Indonesia bisa lebih baik di masa depan," lanjutnya.
Mirisnya, suara Rudy Eka tak pernah digubris. Berulang kali dirinya meminta agar kompetisi diputar, namun hasilnya nihil. Bahkan, sampai kontraknya berakhir dengan timnas wanita, liga putri tak kunjung dihelat.
Desakan untuk kembali menggulirkan kompetisi sepak bola wanita tak hanya datang dari pelatih. Pemain, ofisial, hingga para pegiat sepak bola wanita pun ingin hal yang sama. Tak sedikit para pelaku industri yang menggantungkan hidupnya dari geliat kompetisi wanita.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya, bukan karena (artis) TikTok atau segala macem (Indonesia kalah), cuma karena levelnya lebih rendah aja dari mereka (Australia). Kita bersaing (kompetisi) di Indonesia aja nggak ada, apalagi kita mau bersaing di luar. Kita pasti bakal kalah terus,” tutur Carla Bio Pattinasarany, penyerang Timnas Wanita Indonesia, dalam wawancara khusus dengan kumparanBOLANITA.
Persija Jakarta melawan PS Tira di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, pada Minggu (17/11/2019). Foto: PSSI

Wacana Demi Wacana Liga 1 Putri

Empat hari lalu, Rabu (27/9), Ketum PSSI, Erick Thohir berbicara soal wacana menggulirkan kembali kompetisi untuk sepak bola wanita Indonesia. Di hadapan pemain Garuda Pertiwi, ia berjanji akan menggelar liga untuk pemain wanita. Tapi, Erick tak menyebut kapan waktunya, ia hanya menekankan satu hal: sabar.
“Saya tidak membedakan (pemain) putra dan putri. Kalian punya prestasi, tetapi memang sudah lama tidak ada musim kompetisi yang baik. Percaya sama saya? Ya, sabar,” tutur Erick di Hotel JW Marriot usai acara Partner Summit PSSI.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Waketum I PSSI, Zainudin Amali, mengungkap alasan mengapa PSSI baru berencana menggulirkan Liga 1 Putri akhir-akhir ini. Menurutnya, ada sejumlah hal yang menghambat, salah satunya persoalan kultural. Di kalangan grassroot masih banyak orang tua yang menganggap sepak bola buat perempuan sesuatu yang tabu dan akhirnya tidak mengizinkan anaknya bermain sepak bola.
Namun, perlahan ada titik terang, katanya. Kini, ia mengeklaim pihaknya bersama Executive Committee (Exco) tengah mendorong bergulirnya kompetisi sepak bola wanita. Namun, lagi-lagi tak ada satu pun yang bisa menjamin kapan kepastian bergulirnya.
“Dengan begitu (menggulirkan Liga 1 Putri), kita bisa membuat masyarakat kita bahwa ternyata pesepak bola putri punya masa depan. Itu yang sedang persiapkan dan tentu kita membuat terobosan terhadap hambatan-hambatan yang kita hadapi,” ucap Amali saat menghadiri talkshow kumparanBOLANITA x hangout di kantor kumparan, Jakarta, Selasa (15/8).
ADVERTISEMENT
PS Tira di Liga 1 Putri 2019. Foto: PSSI

ASBWI Targetkan Liga 1 Putri Kick-Off 2024

Berbeda dengan organisasi induknya, ASBWI justru lebih berani membicarakan soal target bergulirnya Liga 1 Putri. Organisasi yang mewadahi sepak bola wanita di Indonesia itu mencanangkan Liga 1 Putri sudah bisa kick off pada Maret 2024.
Sekjen ASBWI, Souraiya Farina, juga lebih mau terang-terangan soal “tantangan” yang mereka hadapi. Menurutnya, ada sejumlah aspek yang bisa mempengaruhi jadwal kompetisi, salah satunya yakni soal format kompetisi yang akan dipakai.
"Jadwal juga dipengaruhi oleh format kompetisinya, jumlah pesertanya. Apakah itu centralized, apakah sama seperti Liga 1 Putra, mau home and away, full kompetisi dan lain sebagainya," tutur Farina kepada kumparanBOLANITA di Kantor ASBWI, Senin (23/9).
Souraiya Farina yang telah lama berkecimpung di sepak bola putri paham betul jika kompetisi adalah nyawa bagi sepak bola wanita. Akan tetapi, Sekjen ASBWI itu tak mau Liga 1 Putri asal bergulir. Format kompetisi harus jelas, klub harus memenuhi licensing, kontrak profesional pemain harus jelas, dan semua stakeholder harus mendukung. Deretan hal tersebut harus terpenuhi agar jalannya kompetisi berjalan dengan ideal menurut Farina.
ADVERTISEMENT
"Memang sudah ada pembicaraan mengenai formatnya, berapa klub yang sebaiknya ikut serta. Tapi, boleh dibilang ini adalah fase di mana kita coba untuk menyamakan persepsi, sebelum kemudian kick off-nya benar-benar terjadi," ujar Farina.
Farina dan ASBWI memang begitu concern soal kompetisi sepak bola putri. Namun demikian, segala keputusan ada di induk organisasi, yakni PSSI. ASBWI tentu senang jika dipercaya untuk memegang kendali bergulirnya kompetisi, tapi hingga saat ini kewenangan belum jatuh ke tangan mereka.
"Tentu haknya PSSI untuk menjawab siapa operator yang dipercaya untuk menjalankan (Liga 1 Putri) ini. Kalau ASBWI sendiri, kita mau, tapi bukan hanya soal itu. Tapi, mengenai format kompetisinya, hak yang akan diterima oleh pemain, ofisial. Itu yang menjadi concern utama kita," sambung Farina.
ADVERTISEMENT
Hak yang diterima pemain ini pantas mendapat perhatian lebih. Kita tahu usai Liga 1 Putri 2019 selesai digelar, banyak pemain yang tak mendapatkan gaji yang berhak mereka terima. Tak semua punya kontrak profesional—beberapa berstatus tarkam, yang digaji per sekali main usai pertandingan.
Itu pun ternyata tak semua selesai sampai sekarang, empat tahun setelah Liga 1 Putri selesai digelar.
“Dianggapnya selesai semua. Sebenarnya kita tidak bisa bilang bahwa itu (masalah gaji belum dibayar) benar-benar sudah habis, tapi sampai hari ini kita bisa anggap itu selesai semuanya,” aku Farina.

Kompetisi Wanita Tak Harus Berbentuk Liga

Kehadiran kompetisi bagi sepak bola wanita memang sangat penting, tapi PSSI, menurut waketumnya, Ratu Tisha, tak mau asal membuat liga. Baginya, ada hal yang lebih krusial, yaitu sustainability. Tisha menekankan Liga 1 Putri harus memiliki tujuan yang jelas, tak hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja.
ADVERTISEMENT
Tisha dan PSSI punya kekhawatiran setelah Liga 1 Putri kick off keberlanjutannya tak terjaga. Tim peserta tak serempak menjaga komitmennya.
"Jadi, sustainability-nya kayak apa. Harus komit pada saat sulit maupun senang gitu. Nggak boleh senang ikutan, sulit ditinggal," terang Tisha di Jakarta pada 27 Juli lalu.
Ratu Tisha enggan terburu-buru menggulirkan kompetisi tanpa jaminan keberlanjutan yang jelas. Menurutnya, kompetisi wanita tak harus berbentuk liga yang menggunakan format kompetisi penuh. Kompetisi sepak bola wanita juga bisa berbentuk cup, yang penting para pemain mendapat menit bermain yang cukup.
"Sisi sustainability bener-bener harus kita lihat, apakah kita mulai dengan bentuk yang seperti cup ataukah kita mulai langsung posisinya putaran kompetisi," ucap Ratu Tisha saat menghadiri peresmian Supersoccer Arena di Kudus, Jawa Tengah, Minggu (3/9) lalu.
ADVERTISEMENT
"Yang penting jumlah pertandingannya harus memenuhi syarat bahwa mereka ada menit bermain yang cukup sampai dengan di level atas," sambungnya.
Ketum PSSI Erick Thohir (kanan) didampingi Waketum Ratu Tisha (kiri) saat menyampaikan keterangan pers di Jakarta, Selasa (25/7/2023). Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Pemain Ingin Liga 1 Putri Kembali, tapi Capek di-PHP

Jika ada pihak yang sangat menantikan kehadiran Liga 1 Putri, sudah jelas itu adalah para pemain. Ya, empat tahun mereka menunggu, empat tahun pula mereka selalu dikecewakan. "Saya alumni di prank terus dari (tahun) kemarin," ucap Helsya, gelandang Persis Women, soal desas-desus Liga 1 Putri yang akan bergulir.
Setelah gelaran Liga 1 Putri 2019, belum ada lagi kompetisi profesional bagi pemain wanita. Imbasnya, karier para pesepak bola wanita terganggu. Tak semua lanjut bermain bola. Ada yang beralih ke futsal hingga banting setir jadi pemain tarkam (antar kampung).
ADVERTISEMENT
Situasi itu tentu memilukan. Seharusnya mereka terus bermain dan menjadi bintang lapangan hijau. Namun, kenyataan berakhir sebaliknya tak sesuai rencana.
Saat ini, pesepak bola wanita hanya menuntut satu hal saja: gulirkan kompetisi. Tentu dengan catatan harus lebih baik dari edisi sebelumnya. Format kompetisi harus lebih terstruktur dan kontrak bagi pemain lebih jelas.
"Menurutku waktu itu (Liga 1 Putri 2019) sangat singkat, liganya hanya berjalan empat bulan kita harus menyelesaikan liga sampai juara. Sangat singkat, jadi kita enggak sempet buat persiapan juga," keluh Shafira Ika, pemain Persis Women, Senin (23/9).
"Kita penginnya Liga 1 Putri sama dengan yang putra, jadi semua bertemu. Nanti hasilnya siapa yang juara sesuai poin," harap Helsya saat diwawancara kumparanBOLANITA, Senin (23/9).
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, setidaknya hingga tulisan ini dimuat, belum ada satu pun pihak yang bisa menjamin kapan Liga 1 Putri akan kembali diselenggarakan. Liga 1 Putri masih seperti bola liar di depan gawang yang tak tahu akan berbuah gol atau tidak.
PSSI belum serius memberikan perhatian penuh kepada sepak bola wanita. Di lain sisi, ASBWI yang terus ingin mengadakan kompetisi, tak kunjung diberi kewenangan paripurna.
Publik akhirnya dipaksa menerima pernyataan Erick Thohir: sabar. Pecinta sepak bola wanita Indonesia memang rutin dengan sabar: sabar melihat negeri tetangga, Vietnam dan Thailand, berlaga di Piala Dunia Wanita; sabar melihat timnas wanita terus-terusan dibantai; sabar tak punya pelatih timnas wanita; sabar main tarkam buat menyambung karier sebagai pesepak bola wanita.
ADVERTISEMENT
Lantas, jika terus sabar, kapan timnas wanita kita bisa berbicara banyak di tingkat dunia?
Pokoknya S A B A R.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten