Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Tanpa Liga, Tanpa Klub: Bagaimana Pemain Wanita Indonesia Hadapi Cedera ACL?
9 Februari 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Tak mudah menjadi pesepak bola wanita di Indonesia. Sudah enam tahun mereka bermain tanpa liga, yang berarti tanpa kontrak profesional klub.
ADVERTISEMENT
Mereka harus bermain tarkam—bisa dengan SSB, bisa dengan klub cabutan yang hendak mengikuti kompetisi lokal yang hadir secara sporadis—demi tetap memiliki penghasilan untuk melanjutkan hidup.
Kompetisi sepak bola wanita senior yang konsisten, terstruktur, dan bisa menjadi penghidupan hanyalah angan-angan. Setidaknya sampai tahun depan, 2026, saat janji PSSI menggelar lagi Liga 1 Putri harus kita tagih kembali.
Namun, yang jadi perkara tambahan buat para pesepak bola wanita di Indonesia tidak cuma soal pemasukan dan kesempatan bermain-berkarier, tapi juga soal bagaimana mereka menghadapi risiko cedera.
Cedera, kita tahu, adalah musuh besar para atlet. Apalagi kalau cedera yang kita maksud adalah cedera anterior cruciate ligament (ACL), yang memerlukan operasi dan rehabilitasi 9-12 bulan untuk benar-benar pulih. Tak jarang, cedera ini kambuh lagi dalam 2 tahun sejak terjadinya cedera pertama. Makanya, buat pesepak bola wanita, ACL adalah momok yang bisa jadi mengancam karier mereka.
ADVERTISEMENT
Nahasnya lagi, pesepak bola wanita punya risiko cedera ACL 6-8 kali lebih tinggi daripada pesepak bola pria.
Nah, bagaimana jadinya kalau pesepak bola wanita di Indonesia mengalami cedera ini? Dengan tidak punya klub, siapa yang menanggung beban pembiayaan penanganan cedera mereka? Simak liputan khusus kumparanBOLANITA soal melawan ACL di sepak bola wanita di Indonesia pada video di atas.