Emilie Restaurant dan Akhir Era Keemasan Fine Dining di Jakarta

26 Juli 2019 18:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chilean Seabass with Spring Vegetables & Beurre Blanc  Tartare of Yellowfin Tuna with Celery & Smoked Potato Mousseline. Foto: Dok. Emilie
zoom-in-whitePerbesar
Chilean Seabass with Spring Vegetables & Beurre Blanc Tartare of Yellowfin Tuna with Celery & Smoked Potato Mousseline. Foto: Dok. Emilie
ADVERTISEMENT
Makanan Prancis melegenda karena rasa, tampilan, serta segala teknik masaknya. Tidak heran kalau setiap penyajiannya terasa begitu mengintimidasi, pun dengan harganya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal kesan elegan, menikmati makanan Prancis adalah sebuah paket pengalaman penuh seni. Konsep ini juga yang disampaikan Wahjudi "Yen" Rahardja lewat Emilie French Restaurant.
Untuk bisnis pertamanya tersebut, laki-laki yang akrab dipanggil Yen itu mencurahkan seluruh dedikasinya. Tak pelak, Yen menggandeng Jaya Ibrahim, arsitek dengan portfolio berbagai luxury hotel. Saat itu Jaya baru saja merampungkan The Dharmawangsa Jakarta.
Ketika masuk, lantai marmer menyambut. Menuju malam, lampu kecokelatan pun berpendar menemani makan malam. Menunya pun tak main-main. Awalnya Emilie menyajikan karya Chef Antoine Audran, setelah itu Yen bekerjasama dengan dua chef dengan spesialisasi makanan Prancis lainnya. Baru di lima tahun belakangan, ia yang mengerjakan menunya.
kumparan menemui laki-laki kelahiran 1972 itu di sebuah kedai kopi di Pacific Place. Ya, restoran yang pernah memenangi Awards of Excellence dari Wine Spectator dan masuk dalam 500 restoran teratas di Asia versi Miele Guide ini terakhir kali melayani pelanggan pada 14 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
Empat belas tahun untuk bisnis pertama adalah pencapaian. Terlebih karena saat Emilie pertama buka pada 2005, belum banyak restoran Prancis yang berdiri sendiri. Saat itu, makanan Prancis lebih sering ditemui di hotel bintang lima. Emilie French Restaurant hadir dengan konsep makanan Prancis autentik; membawa konsep fine dining jadi bisa dinikmati siapa saja.
Kepada kami, ia berkisah dari awal hingga hari terakhir Emilie; mulai dari dapur, bisnis, hingga market fine dining di Indonesia. Ternyata tak mudah untuk mempertahankan restoran berkonsep fine dining dengan French cuisine autentik, di Indonesia.
"Kamu sudah lihat World's 50 Best Restaurant? Makin ke sini list tempat makannya lebih kasual, sudah jarang yang benar-benar fine dining," katanya kepada kami.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah percakapan kami dengan Chef Patron dari Emilie French Restaurant tersebut:
Kenapa saat itu mantap dengan menu makanan Prancis?
Saya memang selalu minat untuk buka restoran, dari lulus kuliah. Awalnya sudah setengah jadi, noodle bar. Tahun 1997-1998 ada financial crisis. Proyeksi bisnisnya jadi tidak masuk, chef Hong Kong kita bayar pakai dolar Amerika. Sudah tidak visible.
Kemudian kerja di Singapura beberapa tahun. Awal 2000, keluarga punya tanah di Senopati dan sudah tidak kondusif jadi rumah.
Lalu saya hire chef Antoine sebagai konsultan. Awalnya mau buka kafe atau bistro, ada western dan asian. Kalau kita jual Asian food, kejar volumenya. Tapi kalau French food bisa kasih harga lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Chef Antoine juga tanya kenapa enggak spesial di satu masakan? Dari pertimbangan itu kami develop Emilie. Tahun 2003 kita bangun Emily dan 2005 selesai.
Design restonya pakai Jaya Ibrahim. Agak sulit kerjasama dengannya. If it’s not his style, he doesn’t want to continue.
Saat itu, memang kebanyakan French restaurant adanya di hotel. Saya pernah lihat menu di Hotel Indonesia jaman dulu, menunya Prancis. Menggunakan barang bagus.
Masih ingat ketika buka Emilie pertama kali? Bagaimana hari pertama Emilie?
Saat itu, kami confident, tapi ini first project. Kami awalnya tidak menjual Emilie sebagai fine dining restaurant. Ini French restaurant.
Saya tahu, untuk fine dining itu sangat sulit, and we are beginner. Enggak berani, memposisikan diri sebagai restoran yang menyajikan makanan Prancis yang sangat rustic.
ADVERTISEMENT
Emilie waktu pertama buka banyak yang nyela, Prancis kampung katanya. Tapi kembali lagi, makanan tak perlu mahal untuk enak. French food if you’re doing it well, it’s nice.
Onglet de Boeuf. Foto: Dok. Emilie
Apakah dengan konsep yang dibangun saat itu, Emilie diterima?
Bagi sebagian orang, fine dining harus mewah. Kenyataannya stigma orang Indonesia soal makanan Prancis itu sudah mewah. Mintanya barang mahal; seperti beef tenderloin, lobster tenderloin.
Fokus utama saya adalah makanan. Metodenya benar, bahannya bagus. Bahan bagus bukan berarti mahal. Lokal pun sekarang banyak yang bagus.
Beda dengan dulu, lebih mudah impor. Saat kami sedang jaya, bawang merah saja diimpor. Shallot banana onion yang kami pakai beda dengan bawang merah. Menunya juga dibuat musiman, jadi harus dapat bahan terbaik di musimnya. Mungkin itu juga yang bikin Emilie jadi berkesan.
ADVERTISEMENT
Saya kan restoran Prancis. Yang salah adalah kalau punya restoran Indonesia tapi barangnya impor. Sekarang impor agak susah. Jadi musti cari yang terbaik di lokal.
Mana yang Anda pilih, masakan Prancis autentik atau mengadaptasi lidah lokal?
Tidak (mengadaptasi lidah lokal). Bukannya sombong, namanya saya buka restoran Prancis. Kalau saya ingin yang nyaman di lidah orang Indonesia, ya saya buka restoran Indonesia. Justru saya bingung, restoran Prancis, dekor juga Prancis, makanannya nasi goreng gila.
Saat itu kami berpikir, kalau French resto ya harus autentik. Pasta saja jarang, itu juga karena pressure dari consumer. Mungkin itu juga our downfall. Kami masak apa yang saya pikir baik.
Kenyataannya, French food adalah hal yang baru. Mereka belum tahu apa ini, apa itu. Kenapa makanannya kecil, harganya mahal.
ADVERTISEMENT
Padahal, kalau berbicara soal pengalaman makan di French resto, fine dining pula, kamu tidak bisa pesan hanya satu makanan. Mulai dari appetizer, main course, dessert. Itu sudah yang paling sederhana. Kalau yang benar harus dengan cold dish, cold starter, atau warm starter, kemudian sup, fish course, meat course. Sebelum dessert juga ditawari cheese.
Carpaccio de Saint-Jacques” (Hokkaido) with Cucumber Remoulade & Russian Caviar. Foto: Dok. Emilie
Makanannya banyak, tapi di sini sulit jual begitu. Makannya butuh waktu juga, enggak bisa cepat, bisa lima sampai tujuh serving. Kalau kita bicara soal fine dining, kamu harus sit and relax, nikmati makanannya. Tak bisa buru-buru. Masih banyak orang Indonesia yang tidak tahu.
Apakah Anda juga ikut riset?
Saya sering ke Prancis, coba di sana. Baca buku, riset sendiri. Setelah Chef Antoine, ada tiga chef Prancis yang bantu saya. Dari dulu saya juga di dapur. Lima tahun lalu, saya baru mulai berdiri sendiri, tanpa French chef.
ADVERTISEMENT
Apakah punya culinary background?
Tidak ada, hanya otodidak. Memang dari dulu suka makan dan masak. Di Amerika, saya belajar untuk menentukan sendiri apa yang ingin saya makan. Itu waktu terbaik untuk belajar.
Bisnis atau di dapur?
Saya lebih suka di dapur. Justru itu juga yang jadi problem, yang aktif hanya saya. Dulu saya merasa restoran hanya soal makananya. Sekarang saya pun masih berpikir demikian, namun kenyataannya enggak.
Harus ada service yang baik, good ambiance, dan good marketing. Sekarang yang tahu Emilie banyak, tapi marketing itu harus berjalan. Saya tidak punya orang untuk mengerjakannya. Mungkin, this is one of my downfall juga
Kalau nanya orang pasti tahu. Do they come back? Ya, mungkin untuk perayaan seperti ulang tahun atau Valentine. Lamaran atau kencan sering banget. Itu yang sebenarnya saya tidak inginkan. Occasionally saja, kalau lunch hari biasa, sepi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana prosesnya hingga memutuskan untuk tutup?
Beberapa tahun belakangan bisnisnya sudah melambat, tidak visible. Tahun ini adalah final. Ada banyak faktor juga; pemilu dan lainnya. Bahkan lebaran saja bukan season saya. Orang buka puasa kan, enggak mungkin makanan Prancis. Jaranglah (ke kita), mereka pasti buffet atau yang bikin kenyang.
Rencana tutupnya sudah dipikirkan selama satu bulan. Masa mau kerja keras, hasil tidak banyak? Memang ini passion saya, cuma asal uangnya berputar ya tidak apa. Takutnya kalau ditunda, tidak bisa bayar pesangon atau supplier.
Hari terakhir rasanya sudah release dan bebannya sudah tidak ada. Tentu saja sedih, that’s my baby. Waktu tutup juga sempat ragu mau announce apa tidak. Dari awal, kami tak ada grand opening. Emilie bisa berdiri karena word of mouth.
ADVERTISEMENT
Lagipula kalau mau info, takutnya feedback-nya tidak baik: “Wah, pasti mau tutup pasti sudah tidak lengkap”. Saya cuma bisa kasih semangat, sampai di hari terakhir, kita harus sajikan makanan sebaik di hari pertama.
Senangnya, ketika announce, minggu terakhir justru ramai. It was a good week, saya senang sekali.
Berarti hari itu sekalian farewell dengan staff?
Ya. Jadi ada sous chef saya yang awalnya kerja sebagai office boy. Saya jelaskan, tidak bisa menaikkan gaji kalau kamu kerja lama bersama saya, bila tetap jadi office boy.
Saya cuma bisa kasih kesempatan kamu di dapur. Minta, dan tentu kalau tanggung jawab di dapur jadi bertambah, gaji otomatis naik. Saya berikan mereka wadah untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Turn over kita juga sedikit. Ada dua staff yang sudah bekerja dari tahun kedua Emilie, sisanya bisa lima sampai enam tahun.
Yen (tengah) dan seluruh staff di hari terakhir Emilie French Restaurant. Foto: Dok. Emilie
Jadi, apa bisa dibilang market Indonesia belum siap untuk fine dining?
Agak sulit bikin French restaurant apalagi fine dining di Indonesia, stigmanya terlalu kuat. Mereka suka idenya, tapi tidak benar-benar tahu apa artinya. Ada yang ngerti tapi tidak banyak. Kita punya regular customer tapi tidak banyak.
Saya tidak pernah labeling Emilie sebagai fine dining. I know, that word will killing me. Tapi yang ngecap kan bukan saya. Bahkan, saya benci kata eksklusif, saya ingin semua orang bisa datang dan makan di Emilie.
Asal kamu lapar, ingin tahu soal French cuisine, silakan datang. Saya dulu bikin tiga makanan, Rp 300 ribu++. Kamu makan di kafe pun kira-kira segitu, kan? Saya pastikan kualitas, bahan, serta metode masaknya baik. Namun, kalau orang belum liat diferensiasi ini, agak sulit dijual.
ADVERTISEMENT
Pasarnya pun cenderung makan apa yang mereka rasa familier. Padahal, berani coba yang benar-benar autentik itu adalah sebuah pengalaman baru.
Orang Indonesia juga sering malas baca menu. Saya sudah tulis sesederhana mungkin, namun mereka seperti tidak peduli. Kadang kaget sendiri dengan menu yang keluar.
Tapi, Emilie jadi andalan expatriate. Bukannya itu juga jadi pencapaian menarik?
Sama kayak restoran Jepang, kalau tidak ada orang Jepang yang datang, ya something is wrong. Banyak orang Prancis datang, tapi mereka bukan citizen, ke sini untuk bekerja. Let’s say dua tahun, dia balik. Sekarang pun expatriate lebih banyak di luar Jakarta.
Apa yang Anda pelajari dari Emilie?
Saya selalu belajar, dari hari pertama. Gini, banyak chef yang instan, padahal sebenarnya stepnya panjang. Bahkan saya tidak pernah menyebut diri saya chef apalagi expert. Kita harus terus belajar.
ADVERTISEMENT
Memasak bahan yang sudah enak itu biasa. Misalnya truffle, omi beef, itu dimakan begitu saja sudah enak. Namun, masak sup atau roti yang benar-benar enak itu tidak mudah. Sampai sekarang saja saya masih belajar.
Sementara dari bisnis, proses belajar lewat Emilie itu panjang banget. Manage pegawai juga sulit, banyak yang mau kerja tapi yang knowledgeable itu masih kurang. Harus diajari lagi.
Kemudian, mungkin ini kesalahan juga: saya masak untuk diri saya sendiri. Kalau enggak ada yang spesial, saya keluarkan dari menu. Jadi, tidak ada menu ganjalan, asal ada.
Saya pikir, customer harus coba hal baru. Jadi, tidak ada menu yang menonjol, semuanya rata. Justru kalau ada yang peminatnya sedikit, ya itu pertanyaannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian tadi, soal marketing. Penting sekali.
Apa pesan Anda untuk pebisnis F&B atau chef di Indonesia?
Begini, I put my passion there. Saya masak, mengepel lantai. Semua saya lakukan, setiap hari saya atur meja. Kalau kamu tidak mencintai bisnis ini, jangan lakukan. Itu melelahkan sekali. Pekerjaannya itu-itu saja, belum lagi bila dikritik customer.
Masak itu harus excellent; cepat dan bagus. Cepat dan berantakan mending jangan dikeluarkan. Bagus tapi lama, sama saja diomelin. Di satu sisi kita yang di dapur, yang paling dilupakan. Panas-panasan, jarang ketemu keluarga, dan dikritik. Kita sajikan yang terbaik untuk customer, kita di dapur makan berdiri.
ADVERTISEMENT
You work when everybody is having fun. Kita menyediakan mereka makan untuk berkumpul bersama keluarga, atau pacar.
Sudah banyak yang bicara soal sulitnya kerja di dapur. Sudah panas-panasan, makan asal-asalan, dikritik, kadang juga underpaid. Mau naikin bayaran untuk staff, harus naikin harga makanan. Sedikit mahal customer komplain. Padahal, tiga tahun belakangan harga kami masih sama.
You know, barang sudah lebih mahal. Ini sudah mentok, mahalin lagi, ya tambah sepi. Pasarnya sulit, belum mau mengeluarkan biaya untuk pengalaman makan mereka.
Hari terakhir di Emilie Restaurant. Foto: Dok. Emilie
Ada restoran yang dibuat karena owner-nya mengapresiasi makanan dan passionate about cooking. Itu yang benar, menurut saya. Fokusnya di good quality food.
Mungkin saya juga naif atau stupid. Saya masih percaya kualitas makanan yang diutamakan. Kalau bikin untuk make money, bisa bikin rusak juga. Ngakalin ingredients, yang mahal dibikin murah.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ikan dori itu murah sebenarnya. John dory yang mahal. Sampai sekarang ada saja yang bikin menu dori jadi mahal; nulis di menu jadinya john dory. Padahal itu hanya dori biasa.
Apakah Anda percaya market bisa berubah?
Saya berharap demikian.
Sekarang sudah banyak resto yang bikin tiga meal, harga berapa? Mereka banting harga, up to you, saya tidak akan lawan itu.
Dengan kualitas dan ambiance kayak gini, sulit bikin harga lebih murah. Porcelain saya pakai dari Prancis, saya yang pertama pakai Bernado untuk restoran di Indonesia. Saya mengutamakan kualitas, tapi kalau belum dihargai, mungkin belum paham.
ADVERTISEMENT
Kami juga yakin market akan berubah, tapi ya gitu. Bahkan Antoine waktu saya closing, dia bilang bahwa market is not getting better. They getting worse actually.
Saya harapkan semua orang menghargai makanannya dulu. Kadang restoran kalau enggak terlalu laku, mengakali dengan live music, drinks, dan lainnya. Coba kalau hanya fokus di restorannya saja, apa laku? Sudah mati juga semuanya. Ramainya malah barnya.
Setelah ini, apa masih ingin di F&B?
Untuk sekarang istirahat dulu, tapi karena sudah terjun di sini jadi masih ada minat di sini. Barangkali saya ingin mengajar di cooking studio, atau ada yang menawari saya untuk bikin private fine dining, masih okay.
Saya butuh istirahat. Kalau selanjutnya buka restoran pun, saya bikin yang lebih simple, semua orang bisa terima. Mungkin di sana saya bisa bikin chef table di beberapa hari saja, menyajikan makanan yang saya suka. Mungkin untuk teman saya saja, mungkin itu lebih bisa.
ADVERTISEMENT
Kalau fine dining untuk setiap hari, rasanya agak sulit.