Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pewarna karmin sebenarnya telah digunakan sejak lama, jauh sebelum ditemukannya pewarna sintetis. Karmin juga sering dimanfaatkan untuk berbagai produk, mulai dari makanan, minuman, kosmetik, hingga keperluan penelitian.
Dikutip dari Britannica, cochineal pewarna merah alami ini dibuat dari tubuh kering serangga betina dactylopius coccus yang hidup di kaktus. Serangga ini telah digunakan oleh masyarakat asli Meksiko jauh sebelum kedatangan orang Spanyol.
Serangga ini termasuk kelas Insecta, genus Dactylopius, ordo Hemiptera, dan hidup di tanaman kaktus yang bersih, sehingga tidak mengonsumsi bahan yang kotor.
Dalam proses pembuatan karmin, dilakukan dengan cara mengeringkan serangga cochineal, kemudian menghancurkannya hingga menjadi bubuk merah tua cerah. Untuk menghasilkan warna tertentu, serbuk ini dicampur dengan larutan alkohol asam.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana hukumnya menggunakan kurmin untuk pewarna makanan?
Ya, penggunaan karmin sebagai pewarna makanan memang sempat memicu perdebatan di masyarakat. Polemik ini muncul setelah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur menyatakan bahwa pewarna dari serangga cochineal dianggap najis dan menjijikkan.
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan pandangan berbeda melalui Fatwa No. 33 Tahun 2011. Fatwa ini menegaskan bahwa pewarna dari cochineal halal digunakan, selama bermanfaat dan tidak membahayakan.
“Pada hakekatnya, MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqiah,” jelas Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam dikutip dari laman LPPOM MUI, Senin (2/12).
Menurut Niam, perbedaan penetapan hukum ini disebabkan oleh tashawwur masalah atau perbedaan pemahaman terhadap objek yang dibahas. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detil jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sedangkan LBM NU menyebutkan hukum serangga secara umum.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, mengatakan bahwa mereka juga telah melakukan pemeriksaan halal untuk memastikan produk telah dibuat dengan bahan halal, dan difasilitasi sesuai kriteria dengan menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), termasuk untuk bahan pewarna alami karmin.
Hal inilah yang mendasari Komisi Fatwa MUI memberikan fatwa halal dan BPJPH mengeluarkan sertifikat halal. Tak hanya itu, produk yang menggunakan pewarna ini juga telah memiliki izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), sehingga aman dikonsumsi masyarakat.
Dari sisi keamanan pangan, pewarna alami seperti karmin dianggap lebih aman dibandingkan pewarna sintetis. Guru Besar Teknologi Pangan IPB University, Sedarnawati Yasni, mengatakan bahwa pewarna alami berasal dari bahan seperti tumbuhan atau hewan dan tidak melibatkan banyak bahan kimia dalam proses pembuatannya.
Sedangkan, pewarna sintetis adalah pewarna yang diperoleh secara sintesis kimiawi. Jika pewarna sintetis dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus dalam jangka panjang akan berdampak buruk bagi kesehatan.
ADVERTISEMENT
Namun, Sedarnawati mengingatkan bahwa pewarna alami juga memiliki titik kritis terkait kehalalan karena pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan, maka untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya, dan kondisi lingkungan.
“Adapun bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan. Gelatin tersebut harus dipastikan berasal dari hewan yang halal dan diproses sesuai kaidah Syariah,” ujar dia.