Selain Jangkrik, Kini Lalat Jadi Kandidat Sumber Protein buat Manusia dan Hewan

10 September 2021 15:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lalat tentara hitam. Foto: Caroline Chia/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lalat tentara hitam. Foto: Caroline Chia/Reuters
ADVERTISEMENT
Usai heboh makanan serba berbahan protein jangkrik, kini giliran lalat juga dinilai mampu menambah kekayaan deretan serangga yang layak konsumsi. Tepatnya di Afrika Selatan, para petani sekaligus peneliti sedang mengkaji dan mengolah lalat menjadi sajian makanan.
ADVERTISEMENT
Sejak 2018 silam, mereka mulai membangun penangkaran khusus lalat yang berada di kawasan Maltento. Mengutip BBC, setiap bulannya, lalat yang dihasilkan oleh penangkaran tersebut bisa mencapai 10 ton. Lalat diolah menjadi bahan sumber protein berkualitas tinggi. Tidak sedikit pula hasil pakan dikirim sebagai bahan ekspor.
Meski terdengar aneh, nyatanya ada alasan khusus dibalik pengolahan lalat ini. Menurut Dean Smorenberg, salah satu pendiri penangkaran Maltento, lalat cukup efektif dijadikan bahan pangan dalam mengatasi permasalahan kelaparan belakangan ini.
“Orang-orang banyak yang mengalami kekurangan sumber pangan. Mereka banyak yang kelaparan, kini permasalahan food-waste pun semakin meningkat. Oleh karenanya, lalat adalah inspirasi kami dalam menyeimbangkan dan menyelesaikan masalah tersebut,” terang Smorenberg.
Ilustrasi lalat tentara hitam Foto: dok.shutterstock
Jauh sebelum dirinya mendirikan penangkaran lalat dengan skala cukup besar, tahun 2016 lalu, Smorenberg pernah menjadi konsultan manajemen dalam membudidayakan lalat tentara hitam. Ia membudidaya semua lalat itu di area kamar mandinya.
ADVERTISEMENT
Baginya, lalat adalah serangga yang menarik. Tidak hanya berpotensi sebagai pakan protein, tetapi hasil larva lalat mampu diubah menjadi pupuk. Selain itu, proses produksi larvanya pun cukup ramah lingkungan; dalam arti lain sedikit karbon yang terbuang.
Walau saat ini banyak juga bahan hewani lain yang menyediakan protein berkualitas --seperti kedelai dan tepung ikan-- namun, pihak penangkaran Maltento ingin menawarkan sumber protein yang berbeda. Yaitu, berasal dari serangga, dan akan menjadi ciri khas bagi perusahaan mereka.
Smorenberg menambahkan, lalat sebenarnya lebih dari sumber protein. Di samping keunggulan jenis nutrisi itu komposisi peptida antimikroba pada larva lalat, membantu meningkatkan kualitas dan kesehatan usus.
Semua proses produksi lalat di penangkaran Maltento benar-benar dilakukan secara maksimal. Mereka memiliki ruang dengan suhu dan kelembapan khusus, supaya lalat dapat berkembang secara baik. Kemudian telurnya atau neonatus lalat, didistribusikan ke wadah plastik berisi pakan khusus. Lalu, disimpan dalam ruang yang dikontrol suhu khusus.
Ilustrasi serangga goreng Foto: dok.shutterstock
“Kami memasukkan anak lalat atau telur ini ke dalam wadah dan suhu khusus yang sudah dipersiapkan. Setelah enam hari, mereka akan tumbuh secara perlahan, bobotnya pun bisa mencapai 4 kilogram. Mereka juga menjadi pengumpan yang rakus,” lanjut Smorenberg.
ADVERTISEMENT
Beberapa lalat yang sudah diproses jadi makanan, umumnya akan didistribusikan ke pasar makanan hewan. Sisanya dijadikan pupuk, dan sebagian lagi berpotensi menjadi asupan yang bisa dikonsumsi manusia.
“Lalat sebenarnya sangat serbaguna. Ada banyak potensi dan fungsinya yang belum diketahui oleh sebagian besar orang,” ungkap Dr. Leah Bessa, seorang ilmuwan makanan. Ia berpikir lalat mampu dijadikan sebagai pengganti daging yang cocok untuk asupan manusia.
Selain itu, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB melansir khasiat mengonsumsi serangga sejenis lalat, bukan sekadar mendorong fungsi kesehatan. Kendati, dapat pula mengatasi masalah kekurangan pangan di sejumlah negara.
Reporter: Balqis Tsabita Azkiya