Studi: Volume Musik Bisa Memicu Kita Makan Lebih Sehat

15 Januari 2020 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi porsi makanan sehat. Foto: Fauzan Anangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi porsi makanan sehat. Foto: Fauzan Anangga/kumparan
ADVERTISEMENT
Saat bersantap di restoran, biasanya selain disuguhkan berbagai hidangan, kita juga akan dihibur dengan alunan musik. Entah itu musik yang dimainkan langsung, atau lagu-lagu dari gawai dan radio.
ADVERTISEMENT
Ternyata, alunan musik itu tak cuma berguna untuk hiburan atau meningkatkan suasana saja. Selain jenis musiknya, volume musik yang dimainkan juga bisa memengaruhi perilaku makan kita, khususnya jenis hidangan yang hendak dipilih.
Sebuah studi di tahun 2018 yang dilakukan oleh Dipayan Biswas, PhD, dosen marketing di University of South Florida's Muma College of Business menemukan, volume musik berperan dalam menentukan preferensi pengunjung untuk memilih menu makanan sehat atau tidak.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of the Academy of Marketing Sciences itu menyebutkan, volume musik terbukti bisa memengaruhi detak jantung dan gairah.
Ilustrasi Restoran. Foto: Shutter Stock
Secara natural, jenis musik yang lebih kencang akan menciptakan rasa senang, stimulasi, dan tekanan. Sebaliknya, musik yang lebih lembut punya efek menenangkan.
ADVERTISEMENT
Nah, ternyata, pengunjung restoran yang mendengar musik bervolume kencang akan cenderung memesan makanan yang kalorinya lebih tinggi. Sementara, mereka yang diperdengarkan musik pelan lebih memilih untuk memesan makanan sehat.
"Musik punya efek dalam sistem fisiologis tubuh. Kita cenderung punya keinginan untuk berdansa saat mendengar musik kencang. Tingginya tingkat kesenangan ini akan membuat kita cenderung memilih makanan yang tak sehat," jelas Biswas seperti dikutip dari TODAY Food.
Tim peneliti menguji penelitian tersebut di sebuah kafe yang berlokasi di Stockholm, Swedia, selama beberapa hari. Menu-menu yang dipilih oleh responden telah dikategorikan menjadi tiga jenis; sehat, tak sehat, dan netral.
Mencoba makanan organik di New Zealand. Foto: Tourism New Zealand
Kemudian, tim peneliti memainkan playlist musik yang terdiri dari beberapa genre; contemporary rock, pop, dan musik klasik. Playlist tersebut diputar berulang kali, selama beberapa jam.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa hari, para peneliti mengalunkan musik pada volume 55 desibel, dan di beberapa hari lainnya, volume musik ditingkatkan jadi 70 desibel.
Saat Biswas dan timnya memeriksa hasil penjualan kafe, mereka menemukan kalau 20 persen konsumen memesan makanan tinggi kalori saat volume musik sedang kencang --terlepas dari genre musik yang dimainkan.
Kenapa bisa begitu?
Biswas mengaitkan fenomena ini dengan kebutuhan manusia untuk mencari kenyamanan, saat mendapat terlalu banyak stimulasi dan merasa tertekan. Apalagi, makanan yang berlemak dan bercita rasa manis dipercaya dapat menurunkan rasa gembira yang berlebihan, serta tingkat stres.
Keterkaitan ini juga bisa digunakan oleh restoran dan supermarket untuk memanipulasi perilaku pembelian konsumen.
Ilustrasi makan enak di restoran Foto: dok.shutterstock
Untuk membuktikan teori tersebut, Biswas dan tim melakukan uji penelitian yang sama di sebuah swalayan yang juga berada di Swedia. Hasilnya, para pembeli membeli lebih banyak kue, keripik kentang, dan daging merah saat musik dimainkan dengan volume sebesar 70 desibel.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, saat musik diputar dengan bervolume 50 desibel, mereka justru membeli lebih banyak produk buah-buahan dan sayuran.
Hmm, sebuah temuan yang bisa dicoba saat kita sedang menjalani diet, ya!