news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

William Wongso dan Caranya Berdiplomasi Lewat Rendang

17 Agustus 2019 9:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Diplomasi, apa sebenarnya arti kata yang terdengar serius ini? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diplomasi artinya urusan atau penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dan negara yang lain. Lantas apa hubungannya dengan sesosok William Wongso?
ADVERTISEMENT
Pakar kuliner kelahiran Malang, 12 April 1947 punya cara sendiri untuk berdiplomasi. Memulai karirnya pada tahun 1977 di Eropa, William Wongso sudah gencar berdiplomasi kuliner sejak 20 tahun belakangan.
Bermula dari sebuah bakery, disela-sela waktunya, William Wongso suka plesiran untuk icip-icip makanan khas di Benua Biru itu. Sambil icip-icip, ia juga mempelajari soal kulinernya.
"Sering dulu itu, hampir tiap tahun aku beberapa bulan di Eropa terus akhirnya, mungkin ya sekitar 25 tahun yang lalu, aku mulai sadar, kok Indonesia ini adem-ayem saja gitu soal kuliner, sementara negara lain sudah heboh. Prancis heboh karena diserang McDonald's misalnya. Mereka sampai melakukan proteksi," kisahnya saat ditemui kumparan di kantornya yang berada di Jalan Prapanca pada Rabu (14/8).
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Dalam mempelajari ilmu kuliner, laki-laki bernama lengkap William Wiraatmadja Wongso itu mengaku tak pernah merasa bosan.
ADVERTISEMENT
"Kuliner itu enggak ada habisnya. Yang klasik aja enggak habis dicoba, ditambah lagi yang katanya modern atau fusion yang enggak karu-karuan itu," tuturnya.
Benar, saking tidak pernah merasa bosan dalam mempelajari kuliner, satu per satu makanan khas Nusantara ia ulik dengan telaten. Blusukan ke daerah hingga ke pelosok-pelosok menjadi hobinya, demi memperkaya wawasan soal kuliner Indonesia tercinta.
"Di daerah itu masih banyak yang belum aku tahu. Ke mana saja aku mau. Ada kesempatan ke daerah aku pergi. Sumatera (misalnya) aku masih belum semua. Sebenarnya, secara random aku ke seluruh Indonesia sudah coba semua. Tapi, di dalam itu pelosok-pelosok masih ada lagi. Bahkan menurutku, hidup sepuluh kali saja belum tentu komplit," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Meski sudah separuh baya, jiwanya masih merasa muda kalau hendak mempelajari kuliner. Penyuka soto ambengan itu, tak segan mengupas tuntas suatu masakan hingga ke daerah asalnya. Rendang misalnya.
Sosok William Wongso memang lekat dengan sajian khas Sumatera Barat tersebut. Di tangannya rendang jadi pemersatu lidah antar masyarakat banyak negara.
Laki-laki berusia 72 tahun itu membalut rasa lokal setiap negara dengan cita rasa khas Indonesia. Lewat rendang, ia memperkenalkan cita rasa unik asli Tanah Air; meski dengan bahan atau daging lokal negara manapun.
Inilah caranya berdiplomasi; lewat sepiring sajian rendang.
Berikut adalah percakapan lengkap kami, bersama laki-laki yang akrab disapa Om Will tersebut:
Kenapa sosok William Wongso begitu lekat dengan rendang?
ADVERTISEMENT
Gini ya, karena tuh aku pelajari kuliner dari mana-mana. Setelah itu, aku ambil conclusion, kalau kita mau memperkenalkan Indonesia itu begitu luas, kita harus cari sesuatu yang jadi daya tarik. Dari legendarisnya, yang sudah dikenal di Indonesia, kesulitannya, sampai authenticity; aku pilih rendang.
Karena kalau kita tunjukan rendang, kita memperagakan proses membuat rendang, orang barat terutama, akan terkesima. Bahwa, oh ada ya proses suatu makanan itu bisa begitu kompleks. Kok, kelihatannya sebagian proses seperti memasak ala barat, tapi kok juga enggak. Rasa dan aroma gosongnya santan itu, enggak pernah mereka rasakan di masakan lain.
Makanya saya selalu, kalau presentasi di luar negeri, rendang itu saya tulis tagline-nya 'from white to black.' Jadi, white itu santan sampai nanti santannya itu gosong (menghitam).
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Apa pengertian rendang menurut William Wongso?
ADVERTISEMENT
Kalau bahasa Inggrisnya 'caramelized beef curry', gulai yang digosongin. Kuncinya itu. Secara mudah bilangnya 'gulai gosong.' Gosongnya karena kandungan gula dalam santan.
Kedua dan yang sering salah itu, kematangan santan atau kelapa. Harus kelapa yang matang banget, enggak bisa asal kelapa setengah matang terus dibikin santan, enggak jadi.
Kalau di Padang itu pasti pakai kelapa tua, perasan pertama tanpa air atau disebut coconut cream. Satu kelapa kira-kira jadi 200 cc santan, baru nanti dikasih air diperas lagi buat coconut milk. Kalau rendang harus pakai coconut cream, sudah enggak bisa ditawar tuh.
ADVERTISEMENT
Saat ke luar negeri, apa yang dilakukan untuk mempromosikan rendang?
Selalu kita kasih dulu story telling-nya, lalu aku sajikan. Kita kasih tunjuk proses (memasaknya). Rendang itu satu proses, tapi terbagi jadi tiga pola masak, jadi tiga jenis makanan.
Pertama kalau dagingnya udah empuk aku kasih air jadi gulai daging, terus aku masak sampai cokelat jadi kalio, terus sampai hitam jadi rendang. Bumbu sisa, aku masak sama nasi jadi nasi goreng, atau diaron sama nasi tambah kaldu kambing dan berapa rempah jadi nasi kebuli.
Adakah standar rasa untuk rendang yang akan dipresentasikan ke luar negeri?
Standar (rasa) kita, tapi dibikin yang enggak pedas saja. Pedasnya, pedas lada masih bisa diterima. Standar rasa rendang buatan kita itu harus caramelized, kalau tanpa itu bukan rendang; itu kalio.
ADVERTISEMENT
Ada versinya yang kering, tapi di luar negeri enggak suka yang kering. Musti creamy jadi santannya kita pakai yang banyak.
Orang Jerman kalau makan satu piring kecil (rendang) menggunung gitu, mereka gado enggak pakai nasi. Enggak tahu kenapa, mereka begitu mencium bau wangi rendang bisa langsung tergila-gila.
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Kalau saat presentasi apa ada pakem tersendiri?
Enggak penting buat aku, yang penting dipresentasikan apa adanya. Soal nanti mau dimasukan plating lebih ke fine dining, urusan nanti, tapi kita harus tahu yang aslinya gimana.
Aku tetap plating, tapi elemennya disesuaikan supaya orang berkesan. Contoh, tumpeng itu harus segitiga gimana pun caranya, nasi itu signature. Kita biasa bawa cetakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Adakah rendang unik yang pernah dicicipi atau dimasak?
Unik karena bahan. Misalnya ada rendang dari aneka dedaunan di hutan. Bukan sayur, tapi daun-daunan di hutan dirandang sampai kering dengan anak belut. Itu (adanya) di Sumatera Barat. Di sana itu semua direndang. Belutnya juga harus tahu, belut sawah atau belut peliharaan.
Waktu ke Korea bikin sajian untuk Jokowi, aku pakai the best beef dari Korea. Ke Afrika daging-dagingnya aku minta binatang liar semua. Jadi orang kenal rasa Indonesia-nya.
Misalnya di Afrika saya buat rendang pakai daging oryx itu kan binatang sana. Saya bikin sate. Daging binatang merah itu empuk enggak keras, lebih cepat diolah, binatang liar seperti antelop sampai wildebeest aku pesan langsung dagingnya empuk.
ADVERTISEMENT
Apa yang paling penting dalam cita rasa rendang?
Banyak sih, gini satu kalau saya pakai bahan yang sama yang bedain itu cabai-cabainya sama santan. Santan di Padang itu beda kualitas kelapanya. Rendang itu yang penting kelapa sama cabai.
Adakah makanan lain yang masuk dalam daftar diplomasi kuliner Anda?
Banyak sih. Sebenarnya gini, ada salah pengertian, saya kan diplomasi kuliner itu sudah lama, sudah 20 tahun. Kebanyakan orang berdiplomasi kuliner itu hanya sebatas menunjukkan keragaman food culture Indonesia. Karena setiap kali kita bikin, orang suka dan tertarik, dan mereka tanya 'where is Indonesia restaurant?' jawabannya enggak ada.
Tapi awarness itu kita bikin.Sekarang itu orang bersosial media, sekarang itu hegemoni cita rasa barat sudah mulai tergerus. Dulu kita tahunya makanan Prancis, sekarang itu mulai tergerus.
ADVERTISEMENT
Jadi barat itu mulai cari-cari rasa dari mana lagi yang mereka bisa perkenalkan. Amerika latin, ASEAN, dan Indonesia ini bakal jadi incaran. Jadi, kalau nanti koki-koki kita ini enggak sadar, orang barat bisa masak makanan kita ini lebih baik. Karena mereka mau datang dan punya biaya.
Apa tantangannya untuk mengenalkan cita rasa Indonesia ke dunia?
Koki Indonesia, mereka cuma masak, dia enggak pernah keliling belajar masak karena biayanya mahal.
Mau belajar masak makanan otentik di 34 provinsi, kamu musti pilih satu konsentrasi. Mau khusus masakan Aceh, Padang, Batak, kan musti spend time di situ. Enggak bisa cuma setengah-setengah.
Pakar kuliner Indonesia, William Wongso. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Untuk taste makanan otentik itu harus terus belajar. Terus menggunakan bahan-bahan dengan kearifan lokal. Lah juru-juru masak sekarang yang muda itu harus tahu, jangan asal jeplak dari Google.
ADVERTISEMENT
Resep kita di Google banyak, tapi selalu aku katakan, Google kan enggak bisa mengeluarkan rasa. Kamu enggak bisa ngerasain dari Google, bagaimana kamu bisa memasak sesuatu kalau enggak tahu rasa aslinya.
Kalau makanan Jepang dan Prancis kan banyak orang kenal, tapi kalau makanan Indonesia kan komplek, yang mana. Bali versi sendiri. di Jawa Timur saja beda, antara Banyuwangi sama Surabaya saja beda. Dari Aceh terbang satu jam ke Medan, 100 persen beda, terbang ke Padang 100 persen beda.
Itu keunikan Indonesia tapi kita enggak sadar. Ini yang nanti dicari. Sudah beberapa penulis buku dari Belanda dan Inggris datang khusus untuk keliling Indonesia.
Lewat diplomasi kuliner, apa harapan Anda?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kan mengharapkan supaya Indonesia dikenal, tapi kenyataanya kan enggak gitu. Ini sulit. Indonesia diperbandingkan dengan Vietnam. Vietnam baru merdeka kok sudah mendunia, Indonesia sudah 78 tahun merdeka kok masih gini.
Saya beri analogi, Indonesia ini negara aman sentosa, tidak ada orang Indonesia yang jadi pengungsi. Yang ada 100-200 tahun yang lalu orang Indonesia dijadikan budak. Tapi di zaman modern ini Indonesia punya enggak kampung Indonesia di Eropa, di Jepang, di Amerika? Vietnam ada enggak? Buanyak.
Jadinya apa? Di perkampungan itu orangnya banyak dan mereka tetap mau makan makanan Vietnam. Dari sekian banyak pasti kan ada yang buka restoran untuk kepentingan mereka. Jadi, kalau kepentingan orang sebangsa itu autentik. Ditambah, kejelian negaranya ikut ekspor bahan baku dari Vietnam kemana-mana.
ADVERTISEMENT
Indonesia enggak. Indonesia itu kalau imigrasi bukan yang orang susah, migrasinya sendiri-sendiri. Enggak berkelompok. Meski banyak restoran Indonesia di luar tapi enggak bertahan lama, karena market orang Indonesianya enggak solid.
Ini sulit. Tapi kita zaman sekarang bisa dompleng lewat sosial media dan dompleng dari keingitahuan orang luar terhadap makanan bangsa lain yang autentik. Caranya gimana? Kita perkenalkan bumbu untuk diaplikasikan ke makanan mereka.
Afrika misalnya, mereka suka bbq, bumbu bbq di sana yang aku lihat simple banget pakai bumbu bubuk. Aku kasih bumbu panggang Indonesia; seperti bumbu rendang, rujak, kuning tak marinasi tambahin kecap sedikit, bikin sate, bikin bbq mereka bilang enak banget bisa beli dimana? Enggak ada di sana, orang aku yang bawa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana soal pendidikan kuliner di Indonesia, Om?
Di luar itu, kita juga enggak punya platform pendidikan kuliner Indonesia yang solid. Duta-duta besar yang ditempatkan suka bingung nyari koki yang benar ngerti masakan Indonesia. Kedutaan itu kan jadi frontline kalau ada jamuan makan.
Korea lain, Korea itu sudah menempatkan kuliner di ranking dua sebagai diplomasi internasional. Jadi mereka memberikan standar khusus, bahkan koki-kokinya dikirim dari jebolan sekolah kuliner mereka.
Kita di sini, jebolan sekolah kuliner faktor Indonesia sedikit, malah belajar yang lain. Jadinya kalau mewakili Indonesia enggak paham.
ADVERTISEMENT
Menyajikan makanan untuk siapa yang paling berkesan?
Waktu Jokowi ke Washington yang bikin dinner-nya aku. Jokowi ke Korea aku yang nyiapin makannya di kamar. Dinner formal di kedubes. November aku akan ke Korea lagi.
Biasanya prosedur dari istana minta list menunya apa saja. Kita harus tahu, untuk menyiapkan makanan untuk VVIP atau presiden, jangan lebay atau ego mau menunjukan kehebatan. Lebih banyak elemen dimasukan, kesempatan dicek lebih banyak. Jadi untuk VVIP itu simple, bagus, quality, dan fresh.
Aku pernah serve Jokowi di Washington, buat 270 orang hanya dikasih waktu 45 menit; sudah termasuk entertainment. Jadi jumlahnya (makanan) aku potong jadi tiga macem; appetizer, main course, dan dessert.
ADVERTISEMENT
Aku juga pernah masak 120 kg rendang buat ratusan tamu dari seluruh dunia. Ini memang menyebar (kuliner Indonesia), tapi caranya instan, perlu di-follow up.
Banyak masak dan mencoba makanan, apa sih comfort food Om Will?
Soto ayam. Aku dari Jawa Timur, jadi sukanya soto ayam lamongan, soto madura, sate ayam, pecel-pecelan, gado-gado, dan rawon. Aku enggak rewel kalau untuk makan sehari-hari, simple.
Aku juga jaga makan. Aku enggak makan karbo. Aku makannya nyicil supaya kadar gulaku enggak melonjak. Aku kalau makan di restoran di luar negeri, juga pasti ajak teman untuk bantuin makan. Kalau orang Muslim kan bilang 'berhenti makan sebelum kenyang,' aku berhentinya satu step-nya sebelumnya lagi.
ADVERTISEMENT
Buat rendang, aku sudah eksperimen masak rendang dengan aneka daging terutama daging merah. Sudah tak coba semua. Pribadi, favorit aku rendang paniki (kelelawar), warnanya juga hitam gitu. Dagingnya lembut.
Pakai bahannya dari daging kalong tapi harus yang laki, kalau yang betina sering bunting (hamil). Terus yang betina buang airnya rembes ke badan jadi bau.
Bumbunya juga aku bawa sendiri. Aku juga pernah masakin ini untuk Pak Bondan. Dia sampai kaget, aku masakin rendang paniki yang belum pernah dia coba.