Ada 7 Adegan 'Jakarta Undercover' yang Kena Sensor

14 Februari 2017 13:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Fajar Nugros. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
"Untuk film 'Jakarta Undercover', aku nggak pernah datengin tempat-tempat yang disebut di dalam bukunya. Ngeliat juga nggak. Aku melakukannya dengan cara dan treatment lain."
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Fajar menjelaskan bahwa ia tidak bisa membuat film jika tidak mengalaminya langsung. Namun, untuk 'Jakarta Undercover', Fajar tidak terjun langsung untuk mengalami sisi gelap kehidupan Jakarta meski sedikit. Tapi ia percaya diri mengarahkan film yang diangkat dari buku Moamar Emka tersebut.
"Karena kita cari angle lain. Kita cari point of view yang dekat dengan kita. Dari situ, kita berpijak cara bertuturnya seperti apa," jawab Fajar singkat.
Sambil menarik napas, Fajar mengungkap bahwa seluruh kemampuannya ia kerahkan untuk membesut 'Jakarta Undercover' meski ia mengaku masih tetap belajar untuk membuat sebuah film yang baik.
Fajar menatap kosong ke tanah. Kembali menarik napas, ia tiba-tiba bercerita bahwa orang tuanya sempat tidak yakin kalau ia bisa menjadi sutradara.
ADVERTISEMENT
"Di keluarga kita nggak mengalir darah seni. Dulu tuh, bapak ngadu sama adiknya kakekku yang udah almarhum kalau aku pengin jadi sutradara. Toh, nggak ada darah seniman. Bapak pegawai negeri, ibu, ibu rumah tangga biasa. Tapi, buyutku itu dalang. Dari kecil, aku nggak pernah bisa tidur cepat. Pasti tidur pagi, subuh, sampai sekarang. Adiknya kakekku bilang, mungkin karena buyut itu dalang. Akhirnya, bapak dan ibuku menerima aku jadi sutradara," jelasnya.
Fajar tersenyum lebar ketika ditanya apa komentar orang tuanya tentang 'Jakarta Undercover'.
"Aku rasa mereka nggak tahu ceritanya tentang apa. Sebaiknya nggak tahu karena baru di film ini ada adegan merokok, minum alkohol, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan striptease. Padahal ya, bapakku pernah bilang, "Ya kamu baguslah belajar dari mas Hanung. Toh, dia bikin 'Ayat-Ayat Cinta, 'Ahmad Dahlan"," kata Fajar seraya tersenyum memikirkan ironi tersebut.
ADVERTISEMENT
Hanung juga mendukung Fajar untuk film 'Jakarta Undercover'. Ia bilang, Hanung pernah menonton film pertama 'Jakarta Undercover' di Yogyakarta dan memberikan sedikit catatan. Ia merasa senang karena catatan dari Hanung adalah pendapat yang membangun. Ia juga bilang kalau Hanung memuji filmnya.
"Kalau dibandingkan dengan 'Jakarta Undercover' yang pertama, film ini beda. Kita nggak bisa apple to apple. Dari bukunya saja, ini tafsir berikutnya tapi dari sumber yang sama. Bagus atau nggak-nya, dibandingkan sama komentar penonton saja," ucap Fajar dengan santai.
Fajar menengadah menatap pepohonan ketika ditanya mengenai Moamar Emka, sang penulis novel 'Jakarta Undercover'. Ia sempat tak menyangka buku 'Jakarta Undercover' ditulis oleh seorang jebolan pesantren.
"Sebenarnya, mas Emka itu religius. Tapi, kekagumanku itulah membuat aku menaruh karakter Moamar Emka di filmnya dengan sangat kuat. Jadi, kalau nonton filmnya nanti, tahu kalau itu mas Emka. Kalau kamu tahu, dia itu masih ditelepon sama ibunya, mindik-mindik pas terima telepon, dan berbicara dengan sangat sopan. Padahal, kita lagi meeting di café. Hal itu terekam olehku di 'Jakarta Undercover'," terangnya.
ADVERTISEMENT
Sebentar lagi, 'Jakarta Undercover' akan dirilis secara serentak di bioskop-bioskop nasional pada akhir Februari. Menanggapinya, Fajar mengaku deg-degan meski ia sudah menonton film tersebut berulang kali sebelum tayang.
"Bagaimanapun juga, itu momen-momen kayak melahirkan anak. Karya itu kayak anak. Jangan-jangan, kurang, lemah, atau apa. Tapi yang pasti, seorang sutradara pasti sudah tahu titik lemah filmnya di mana," jawabnya.
Sambil menyibak rambutnya, Fajar mengaku merasa cukup puas dengan 'Jakarta Undercover'. Karena memiliki banyak waktu sebelum peluncuran, ia sudah melakukan beberapa editing dan melakukannya dengan santai.
"Aku punya waktu satu tahun untuk editing. Waktu selama itu aku pakai untuk merapikan lagi sebelum rilis. Ada beberapa tambahan footage untuk insert detail tanpa pemain buat mengeluarkan dan menguatkan misi si karakter," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Fajar kelihatannya benar-benar percaya diri akan kehadiran 'Jakarta Undercover' di dunia perfilman Indonesia. Ia tidak peduli dengan tanggapan orang-orang yang menganggap filmnya terlalu sensual.
"Paling bener, nanggepin orang kayak gitu tuh, nyuruh mereka nonton filmnya dulu secara utuh," kata Fajar seraya kembali bersandar ke tembok.
"Kalau cuma nonton dari potongan filmnya aja, orang pasti bilang porno dan esek-esek. Film kan, nggak bisa dinilai secara parsial. Harus dinilai dari opening sampai ending kayak apa, baru ngerti apa yang mau disampaikan sutradaranya," ujarnya tegas.
Fajar paham menghadapi mereka yang belum tentu bisa mengubah pikiran akan adegan sensual yang ia sajikan. Ia memilih untuk mengumpulkan segala kritik dan masukkan agar mengetahui pandangan mereka lebih dalam.
ADVERTISEMENT
"Semua komentar di media sosial, mau yang buruk, memuji, mengkritik, dan menjelek-jelekkan, aku kumpulin. Buat aku, film kan, berbicara kepada penonton melalui media film. Udah ditonton, mau bagus atau jelek, yang penting sudah pada bayar," kata Fajar seraya tersenyum lebar.
Film seperti 'Jakarta Undercover' tentu tidak luput dari sensor. Fajar mengaku, ada 7 adegan yang terkena sensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia.
"Sekarang lagi proses negosiasi. Siapa tahu, mereka nggak tahu alasan dari adegan itu. Semoga habis ngobrol jadi agak lunak," katanya.
Lembaga Sensor Film di setiap negara pasti memiliki klasifikasi tersendiri. Fajar menambahkan, ia banyak menghabiskan waktu untuk menentukan angle kamera agar pas, sehingga lulus sensor.
"Adegan ciuman itu 16 tahun ke atas. Ngeremes dada, 21 tahun ke atas. Kita niatnya kan, mengarahkan film ini ke arah dewasa. Dan lucunya nih ya, kadang trailer-nya lulus sensor. Adegan buka bra di trailer lolos, tapi di film nggak lolos. Kan, aneh. Unik memang."
ADVERTISEMENT
"Film apa yang kamu mau buat setelah 'Jakarta Undercover'?" tanya kumparan pada Fajar. Pria yang kala itu mengenakan baju satpam warna biru tua dengan nama 'Madun' tertera di dada kanannya itu terdiam sejenak.
"Aku bingung mau bikin apa," jawabnya seraya menggeleng pelan.
"Yang jelas, bikin film itu butuh proses. Tahun 2016, misalnya. Aku kan, nggak bikin film karena ngerasa nggak ada yang greget. Aku lebih baik jujur di depan. Kalau memang nggak mampu, aku pasti nge-refer ke sutradara lain."
Fajar tidak takut kehilangan tawaran untuk membesut sebuah film yang bagus, daripada hasilnya tidak memuaskan dan orang-orang malah membencinya.
"Rezeki dari Allah. Nanti juga bakal ada yang cocok. Peluangnya pasti ada," jawabnya bijak.
ADVERTISEMENT
Simak obrolan selanjutnya di sini.