Di Balik Peran Special Effect Makeup Artist dalam Film Horor Indonesia

27 Februari 2019 16:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Special Effect Makeup di Indonesia Foto: Graphic: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Special Effect Makeup di Indonesia Foto: Graphic: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wajah Luna Maya seketika berubah. Ia terlihat begitu mirip dengan mendiang Suzzanna. Sorot matanya terlihat tajam, hidungnya kecil, pipinya lebih tirus dari biasanya. Ia juga memiliki tahi lalat di pipi kanannya.
ADVERTISEMENT
Tampilan itu bisa kita lihat saat Luna Maya berperan dalam film 'Suzzanna: Bernapas dalam Kubur'. Selain karena totalitas akting, sentuhan spesial effect makeup juga menunjang keberhasilan Luna Maya memainkan karakter itu. Terbukti, film tersebut sukses meraih lebih dari 3 juta penonton selama penayangannya.
Perubahan wajah Luna Maya yang mirip dengan Suzzanna membutuhkan proses panjang dan tidak instan. Ia sempat diboyong ke Rusia, wajahnya dicetak dan dibuat topeng prostetik demi mendapatkan karakter yang diinginkan untuk film tersebut.
Luna Maya sebelum dan sesudah berperan jadi hantu Foto: Graphic: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Begitu pula dengan Karina Suwandi ketika bermain dalam film 'Sebelum Iblis Menjemput'. Wajahnya pucat, mata hitam pekat, dan mulut penuh dengan darah. Karina berperan sebagai Laksmi, ibu dari Maya (Pevita Pearce) dan Ruben (Samo Rafael) di film garapan garapan Timo Tjahjanto tersebut. Ia kerasukan iblis di sebuah rumah tua, dan kemudian menjadi liar tak terkendali setelahnya.
ADVERTISEMENT
Teknik riasan yang digunakan Karina Suwandi dalam film-film horor itu disebut Special Effect Makeup (SFX). Teknik tersebut bisa membuat efek yang dimunculkan tubuh karena suatu kejadian, menggunakan metode seni tata rias. Misalnya saja luka lebam, luka tembak, darah menggumpal, kena gas beracun, kerutan di wajah, dan lain sebagainya.
Tata Rias Spesial di Industri Film Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Sementara Luna Maya untuk membuat wajahnya mirip dengan Suzzanna adalah teknik Prosthetic Makeup atau FX Prosthesis. Itu merupakan seni tata rias dengan menggunakan atau menambahkan prosthetic (bagian tubuh palsu), untuk mengubah bagian tubuh itu sendiri.
Contohnya adalah seperti alien yang ada di film 'Star Wars', monster, zombie, atau potongan kepala yang ada dalam film 'Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak'.
Keberadaan Special Effect Makeup dan FX Prosthesis
ADVERTISEMENT
Keberadaan SFX Makeup dan FX Prosthesis saling berhubungan erat di industri perfilman, karena keduanya merupakan satu kesatuan. FX Prosthesis berkaitan dengan Makeup Character. Sebab, Makeup Character terkadang membutuhkan tambahan prosthetic demi menampilkan karakter yang kuat.
Maraknya film-film bergenre action dan horor di Indonesia belakangan ini, membuat SFX Makeup menjadi lebih dikenal dan 'terlihat'. Sederet film dengan SFX Makeup yang apik antara lain adalah 'Pengabdi Setan', 'Sebelum Iblis Menjemput', 'Suzzanna: Bernapas dalam Kubur', hingga 'The Night Comes for Us' yang tayang di Netflix.
Sayangnya, tidak semua film Indonesia berhasil mewujudkan karakter yang kuat dari SFX Makeup tersebut. 'Reuni Z' atau 'The Secret' menjadi segelintir film yang dinilai tak cukup berhasil menimbulkan rasa takut penonton dari hantu-hantu yang didandani dengan riasan efek spesial.
Gary Oldman di film Bram Stoker's Dracula. Foto: Youtube/Movieclips
Penggila film horor yang kini terjun menjadi seorang film programmer, Apatis Vian, mengutarakan pendapatnya terkait keberadaan Special Effect Makeup di Indonesia saat ini. Dia beranggapan bahwa kualitas para SFX Makeup Artist di Tanah Air masih sangat jauh jika dibandingkan mereka yang ada di Hollywood, dengan segala kecanggihan teknologi dan materi-materi yang tersedia di sana.
ADVERTISEMENT
"Enggak usah jauh-jauh ke Hollywood, bahkan sama negara Asia tetangga lain seperti Thailand dan Jepang (juga ketinggalan). Di sini, makeup masih terasa seadanya, enggak meyakinkan, sekadar pelengkap di film. Bukan 'membentuk' karakter seperti yang seharusnya dalam produksi film," jelasnya.
Karakter pendukung di film The Night Comes for Us Foto: Netflix/Screenplay
Vian kemudian menerangkan jika beberapa SFX Makeup di film Indonesia pembuatannya terkesan tidak serius. Hal itu berdampak pada output-nya yang jadi biasa-biasa saja.
"Kurang ada effort lebih untuk membuat makeup, atau efeknya agar lebih meyakinkan," ujar dia.
Meski begitu, ia mengakui jika ada beberapa produksi film sudah memperhatikan spesial effect makeup dalam produksi. Di antaranya film-film seperti 'The Night Comes For Us' atau 'Sebelum Iblis Menjemput' juga 'Dreadout'. Sehingga ia bisa menyimpulkan jika baik atau buruknya hasil dalam film memang dilihat dari skala dan fokus produksinya.
ADVERTISEMENT
"Tapi film Indonesia lain (khususnya horor) in general mah tetep aja busuk," kata dia.
Proses Kreatif yang Terbatas
Soal hasil yang kurang maksimal juga diakui para SFX Makeup Artist sendiri. Sehingga jika kemudian banyak yang menilai hasilnya masih jauh dari apa yang ada di Thailand atau Jepang, apalagi Hollywood, itu karena produksi film di industri perfilman di Indonesia banyak yang belum ideal.
Dalam mengerjakan tugasnya, sering kali para SFX Makeup Artist harus tegas mengikuti arahan sutradara atau produser. Ada beberapa sutradara yang memang melakukan brainstorming bersama kru-kru lain untuk menyatukan suara. Namun, ada juga sutradara yang meminta agar semua dikerjakan sesuai arahannya.
Yonna Kairupan, SFX Makeup Artist yang terlibat dalam film 'Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur', 'Sabrina', dan 'Mata Batin 2', pernah menghadapi situasi demikian. Ibu 4 anak yang biasanya selalu bersikap perfectionist untuk urusan makeup, harus mengubur egonya dan menuruti arahan sang pembuat film. Semua dilakukan semata-mata demi profesionalitas kerja.
ADVERTISEMENT
"Akan ada satu film, orang pasti akan bilang itu tidak seram. Karena memang ya saya mengikuti apa maunya sutradara. Sometimes, apa yang ada di kepala kita sama sutradara beda, tapi mau enggak mau yang megang komando kan sutradara, dan saya harus mampu dong," ungkap Yonna.
Banyak alasan mengapa seorang SFX Makeup Artist harus rela memotong egonya. Salah satu yang paling berperan besar adalah pos budget produksi untuk special effect makeup yang tidak dimaksimalkan. Alhasil, para SFX Makeup Artist harus putar otak untuk menyesuaikan biaya dengan bahan-bahan makeup yang digunakan.
Padahal, materi yang digunakan untuk membuat riasan efek spesial tidaklah murah. Mereka juga harus membelinya dari luar negeri untuk bahan yang berkualitas.
Karina Suwandi Foto: Instagram/@karinka81 , Instagram/@timobros
"Ada satu palet yang enggak ada di Indonesia, cuma kecil doang, 10 warna, itu juga tipis tipis, harganya Rp 2 juta," kata Darwyn Tse, SFX Makeup Artist film 'Pengabdi Setan'.
ADVERTISEMENT
Baby Margaretha, aktris yang pernah terlibat dalam beberapa film horor Indonesia seperti 'Misteri Cipularang', 'Bangkitnya Suster Gepeng', dan 'Psikopat', pernah melihat sendiri bagaimana SFX Makeup Artist memanfaatkan barang-barang yang ada di lokasi syuting karena kondisi yang terdesak.
"Mereka sekarang pakai teknik yang kita enggak bayangin, dulu pakai peralatan sederhana. Kadang di lokasi syuting jauh ke mana-mana. Misal luka-luka di muka, ditempelin latex, tapi sebelumnya juga dipakaikan kertas. Seolah-olah kayak ngeletek, yang ada di lokasi saja dipakai, asal bisa nempel," kenang Baby.
Ibu “Pengabdi Setan”. Foto: @jokoanwar/Twitter
Hal serupa juga dirasakan oleh Ayu Laksmi, pemeran Ibu di film 'Pengabdi Setan' yang juga aktif di dunia teater sejak lama. "Orang Indonesia kreatif, tak ada rotan, akar pun jadi. Ada hal yang semestinya tidak tepat dipakai, terpaksa dipakai dalam sebuah kondisi," ujar Ayu.
ADVERTISEMENT
"Produser atau sutradara menuntut hasil maksimal. Tapi mereka (SFX Makeup Artist) tidak diberi dana yang cukup untuk pengadaan bahan-bahan yang mendekati hasil maksimal," imbuhnya.
Selain budget, ada faktor lain yang membuat kurang maksimalnya SFX Makeup di film-film Indonesia. Salah satunya adalah karena filmmaker yang bergantung pada Computer-Generated Imagery (CGI). Mungkin niatnya supaya lebih keren seperti film-film Hollywood yang banyak menggunakan teknologi tersebut, namun kenyataannya malah menimbulkan kesan yang kurang natural.
Di awal tahun ini misalnya, ada sebuah film horor yang menghadirkan pocong dan hantu perempuan di film. Bukannya menghadirkan rasa takut, efek yang ditimbulkan setelah menyaksikan film tersebut malah pertanyaan seperti, 'kok muka hantunya editan banget, ya?"
Kritikus film Shandy Gasella, menganggap keberadaan CGI di film-film Indonesia tak selalu menimbulkan efek negatif. Namun, dibutuhkan effort yang besar jika ingin mendapatkan hasil maksimal.
ADVERTISEMENT
"Untuk mendapatkan hasil yang baik dan believable, pengerjaan CGI diperlukan biaya dan waktu yang tak sedikit. Nah, kebanyakan filmmaker kita memakai budget seadanya dan waktu yang minim untuk pengerjaan CGI ini. Mestinya kita kembali ke practical effect," terang Shandy.
Practical effect yang dimaksud Shandy adalah efek khusus yang dihadirkan secara fisik, tanpa menggunakan kecanggihan teknologi CGI. Lagi-lagi dengan pemakaian prostetik, darah buatan, yang membutuhkan kerja keras lebih untuk mewujudkannya.
Joko Anwar. Foto: Prima Gerhard S/kumparan
Ketika disinggung apakah keberadaan SFX Makeup Artist dalam satu produksi film sudah mendapat apresiasi yang baik, Shandy tidak bisa memberikan jawaban pasti. Namun ia menilai mungkin saja demikian yang terjadi.
"Sebab profesi penulis naskah saja (tulang punggungnya produksi film) masih kurang diapresiasi dengan baik, tak heran bila departemen lain termasuk special makeup tidak diapresiasi dengan baik. Tentu perlu bagi para pihak di industri film mengapresiasi secara baik pekerjaan para senimannya," kata dia.
ADVERTISEMENT
Sutradara Joko Anwar juga mengamini pernyataan yang menyebutkan bahwa profesi SFX Makeup Artist di Indonesia kurang mendapatkan apresiasi. Sama seperti kru-kru film lain yang bekerja keras di balik layar dan tak pernah 'terlihat'.
"Umumnya memang pekerja film Indonesia, kru-krunya kurang mendapat apresiasi. Misal cinematographer, director of photography, editor, art director, costume designer, semuanya memang belum mendapat apresiasi yang layak. Kalau di luar negeri orang sudah ada brand-nya, kalau di Indonesia orang belum paham pembuatan film seperti apa. Orang di balik layar memang kurang mendapatkan apresiasi, sudah umum sih," tuturnya.
Simak tulisan lainnya dalam topik 'Special Effect Makeup Artist'.