Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di Hari Film Nasional Ke-70, 6 Sutradara Hebat Ceritakan Awal Karier Di Industri
30 Maret 2020 18:40 WIB
ADVERTISEMENT
Bertepatan dengan Hari Film Nasional ke-70, Indonesian Film Directors Club atau IFDC menggelar video conference. Hal itu dilakukan karena pandemi COVID-19 membuat IFDC tidak bisa mengadakan sebuah acara di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Dalam video conference yang digelar, ada enam sutradara yang menjadi pembicara, yakni Garin Nugroho, Nia Dinata, Hanung Bramantyo, Riri Riza, Joko Anwar, dan Upi. Aktor Lukman Sardi ditunjuk sebagai moderator.
Sesekali, video conference yang digelar memang mengalami kendala sinyal. Namun, semua tetap berjalan dengan sangat lancar, seru, dan penuh pembelajaran. Khususnya, bagi anak-anak muda Indonesia yang punya mimpi ingin menjadi sutradara profesional.
Sebagai permulaan, Lukman Sardi menanyakan apa alasan Garin, Nia, Hanung, Riri, Joko, dan Upi berkeinginan untuk berprofesi sebagai sutradara. Sebagai sutradara yang paling senior, Garin pun bercerita terlebih dahulu.
"Saya memang sekolah film. Tapi, perjalanan saya untuk menjadi sutradara seperti sekarang ini cukup panjang, mulai dari film dokumenter, garap iklan, sampai menjadi penulis di Kompas sejak 1985. Tapi, semua pengalaman itu membuat saya jadi punya dasar lain sebelum menjadi sutradara," ungkap Garin.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Garin, Nia Dinata juga sudah sejak remaja bercita-cita menjadi sutradara, hingga berani mengambil kuliah film di Amerika Serikat. Uniknya, inspirasi pertama Nia untuk menjadi sutradara adalah salah satu karya Garin yang rilis pada 1994.
"Aku yakin mau jadi filmmaker juga karena pas pulang dari Amerika, itu liburan, aku nonton film mas Garin, Cinta Dalam Sepotong Roti. Menurutku, film itu keren banget, sih," tuturnya.
Karena di era '90-an industri film Indonesia sempat mati dan bangkrut, Nia pun tidak bisa langsung menjadi sutradara film layar lebar. Ia mengatakan, sempat menjadi jurnalis, sambil terus membuat video klip untuk banyak musisi, seperti Potret dan Dewa 19.
"Setelah reformasi, jalan semakin terbuka, kita jadi lebih berani 'kan untuk membuat bikin film fiksi layar lebar. Ya, sudah, keluar, deh, film pertama aku, Ca-Bau-Kan," kata Nia.
Ternyata, Cinta Dalam Sepotong Roti karya Garin kala itu memang sangat luar biasa dan bisa menginspirasi banyak sutradara film di Indonesia. Buktinya, Riri Riza pun mengaku banyak termotivasi berkat film tersebut.
ADVERTISEMENT
"Saya masuk IKJ dan kenal dengan mas Garin yang saat itu menjadi asisten dosen. Waktu itu, Mas Garin sering banget tuh bikin diskusi. Di situ mulai, tuh, aku melihat film sebagai kemungkinan untuk kayak mencari peluang. Setelah menonton Cinta Dalam Sepotong Roti, aku mulai sering bikin iklan, video clip juga, kemudian ketemu sama mbak Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani dan bikin, deh, Kuldesak," ucapnya seraya tersenyum.
Melihat Garin dan Riri sebagai lulusan IKJ yang sukses menjadi sutradara, Joko Anwar pun tertarik untuk masuk ke kampus yang berlokasi di Cikini, Jakarta Pusat itu. Namun, biaya kuliah di IKJ tidak murah dan orang tua Joko pun tak sanggup untuk membiayai.
Akhirnya, ia masuk ke ITB dengan harapan bisa bergabung ke klub film mahasiswa. Namun, lagi-lagi Joko gagal dan harus cari cara lain untuk mencapai impiannya menjadi sutradara profesional.
ADVERTISEMENT
"Gue lulus tuh, cepet-cepet, dan langsung gue ngelamar ke PH (rumah produksi). Tapi, enggak keterima juga. Akhirnya, langkah gue adalah menjadi wartawan. Hingga suatu hari, gue interview Nia Dinata dan berdiskusi soal skenario. Teh Nia nanya, 'Kok, lo bisa ngomongin skenario, sih?'," kata Joko.
"Akhirnya, gue bilang ke dia kalau gue punya interest di situ dan gue kenalin skenario film Janji Joni. Gua kirim skenario itu jam 17.00 sore, terus teh Nia SMS, 'Joko, gue suka skenario lo. Besok ketemu, ya'," sambungnya.
Dua sutradara terakhir di video conference tersebut, Hanung Bramantyo dan Upi, tergolong punya perjalanan unik sebelum akhirnya sukses menjadi sutradara tersohor. Meski sukses membuat banyak film keren, seperti Brownies dan Ayat-ayat Cinta, ternyata Hanung mulanya sama sekali tidak suka film.
ADVERTISEMENT
"Gue dari awal enggak suka film, gue anak teater, anak sanggar. Film menurut gue terlalu kapitalistik, saat itu. Tapi, gue akhirnya kaget setelah melihat film Cinta Dalam Sepotong Roti, 'Wah, ini ada hal yang beda, ya, ada harapanlah'," ungkap Hanung.
"Gue semakin berbalik saat diajak mas Djaduk main ke set-nya Teguh Karya. Di situ, gua lihat ada kerja kebudayaan seni. Ternyata, untuk bikin satu shot itu kayak ngelukis gitu, diperhatikan kostumnya, blocking," imbuhnya.
Tak seperti Hanung, kedua orang tua Upi membiasakannya untuk menonton film dan membaca buku sejak kecil. Ia pun mengaku gemar menonton berbagai film klasik Indonesia karya Bing Slamet dan Benyamin S.
Namun, saat Upi beranjak dewasa dan hendak masuk kuliah, industri film Indonesia goyah. Orang tuanya pun tidak mengizinkan untuk sekolah film di IKJ, dan ia terpaksa mengambil jurusan Komunikasi di Universitas Moestopo.
ADVERTISEMENT
Karena tidak betah, ia nekat kabur setelah satu tahun kuliah. Ia pun mulai bekerja di sebuah rumah produksi yang dikepalai oleh Rizal Mantovani.
"Awalnya, sih, kerja di belakang meja gitu, copywriter-lah. Tapi, karena pengen ikutan syuting dan passion saya di situ, saya bilang, 'Mau, dong, sekali-sekali ikut pas syuting, saya mau belajar'. Jadi, pengalaman pertama syuting video klip sama mas Rizal itu gue jadi kayak asisten artis," kata Upi.
"Bawain tas, nyiapin makan. Kalau dulu syuting 'kan enggak ada ruangan AC, jadi panas gitu. Ya, sudah, saya di pinggir lapangan bawa tisu gitu. Seinget gue dulu artis yang gue lap keringetnya tuh ada GIGI, Kahitna, gitu," sambungnya seraya tertawa.