Hantu Perempuan dan Ketidakadilan Gender

26 Oktober 2017 16:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kisah horor hantu-hantu perempuan dalam benak masyarakat Indonesia sudah hidup puluhan tahun lamanya. Hingga kini, pengawetan kisah itu masih terus dalam kepopuleran yang tampaknya tak kunjung surut. Melalui tradisi tutur sampai industri film, panjang umur mitos hantu-hantu perempuan bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Dari sekian jumlah mitos hantu perempuan, beberapa di antaranya sangat populer dalam masyarakat. Mereka, hantu-hantu perempuan itu, di antara yang paling populer adalah Kuntilanak, Sundel bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol.
Kendati banyak sosok hantu perempuan lain dihadirkan pada publik melalui industri film--utamanya sejak memasuki abad ke-21, namun kepopuleran tiga mitos hantu tersebut terus lekat dan tidak terkubur dari ingatan dan bayangan masyarakat.
Namun, mitos Kuntilanak, Sundel bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol bukan sekadar menyimpan kengerian sebagai kisah horor seperti umum diketahui. Melainkan juga sebuah persoalan serius yang justru kerap terpinggirkan dan terabaikan secara sadar.
Suzana Gombel (Foto: Youtube/filem klasik)
Mitos
Hantu Kuntilanak sering kali dikisahkan sebagai seorang perempuan yang meninggal ketika sedang melahirkan anak. Arwahnya bergentayangan dan suka mencuri bayi yang baru lahir. Bayi-bayi yang sudah dibawa oleh Kuntilanak tidak akan ditemukan. Pun jika ditemukan, bayi-bayi tersebut sudah dalam keadaan tak bernyawa.
ADVERTISEMENT
Ia dikenal sering berada di atas pohon-pohon besar tertentu seperti pohon waru dan pohon beringin. Waktu kemunculannya dipercaya ketika petang selepas magrib. Ia digambarkan sebagai perempuan dengan paras cantik, rambut hitam panjang, dan mengenakan pakaian putih.
Kuntilanak seringkali menebar ketakutan dengan lengking tawanya. Konon, ketika seseorang mendengar suara keras Kuntilanak, itu berarti Kuntilanak berada di dekatnya. Sebaliknya, ketika suara itu terdengar pelan, artinya Kuntilanak tersebut berada jauh dari orang yang mendengar.
Kemunculan hantu Kuntilanak kerap diasosiasikan dengan munculnya harum bunga kamboja secara tiba-tiba.
Hantu Kuntilanak diceritakan tidak menyukai kaum laki-laki, juga perempuan yang sedang mengandung. Kepada laki-laki, ia menyimpan dendam bahwa merekalah yang menjadi penyebab utama kematiannya, sebab ia harus menanggung rasa sakit dan meninggal saat melahirkan.
ADVERTISEMENT
Ia dikisahkan senang membuntuti dan mengganggu perempuan yang sedang hamil. Maka muncul tradisi perempuan mengandung sering membawa benda-benda tajam seperti jarum, peniti, gunting, atau paku. Benda-benda tersebut, menurut kepercayaan masyarakat, berguna sebagai penangkal agar tidak mendapatkan gangguan dari Kuntilanak.
Begitu pula ada tradisi untuk meletakkan benda-benda tajam tersebut tidak jauh dari tempat tidur bayi yang baru dilahirkan. Dipercaya, hal itu akan mencegah bayi tersebut diganggu dan dicuri Kuntilanak. Menurut mitos yang beredar, Kuntilanak akan pergi setelah kepalanya--atau versi lain menyebut tengkuknya--ditusuk menggunakan benda-benda tajam tersebut.
Mitos tentang Kuntilanak dipercaya bersumber dari daerah Pontianak dan dikenal luas pula di negara Asia Tenggara lain, semisal Malaysia. Dalam kisah asal usul Pontianak, Kuntilanak sering berkeliaran di sekitar sungai.
Adegan dalam film Kuntilanak Kesurupan. (Foto: Dok. filmindonesia.or.id)
Penggambaran Sundel Bolong tidak jauh berbeda dengan Kuntilanak. Ia adalah perempuan berparas cantik, berambut panjang, dan memakai pakaian putih. Maka kedua mitos hantu ini kerap dipertukarkan. Namun yang membedakan keduanya yaitu dari kondisi fisiknya: Sundel Bolong konon memilik lubang menganga di punggungnya.
ADVERTISEMENT
Hantu Sundel Bolong populer dikisahkan sebagai seorang perempuan yang diperkosa hingga hamil. Kehamilan yang tidak diinginkan itu membuatnya depresi dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Di dalam kuburan, ia konon melahirkan anaknya, dan arwahnya bergentayangan mengganggu dan membunuh mereka yang telah menyebabkan nasibnya begitu rupa sebagai tindakan balas dendam.
Ia juga digambarkan sering mengganggu perempuan yang keluar rumah sendirian pada malam hari. Hal itu dilakukan untuk memperingatkan perempuan supaya tidak digoda oleh laki-laki, dan tidak mengalami nasib buruk seperti dirinya.
Sementara Si Manis Jembatan Ancol, berdasarkan tradisi lisan yang beredar, merupakan seorang gadis berusia sekitar 16 tahun dan dicirikan memiliki paras cantik. Mariam--konon nama asli Si Manis Jembatan Ancol--bekerja sebagai pelayan di rumah seorang saudagar kaya. Kecantikannya membuat majikannya ingin menikahinya, namun ia tidak mau dan melarikan diri.
ADVERTISEMENT
Saat melarikan diri, ia berhasil ditangkap oleh orang suruhan si saudagar. Karena berusaha melawan, orang-orang tersebut melakukan kekerasan terhadap Mariam, termasuk kekerasan seksual. Akibat tindakan kekerasan itu, Mariam meninggal dan jasadnya dibuang begitu saja di sawah.
Konon ia meninggal di sekitar Jembatan Ancol. Kematian yang tidak wajar itu membuat arwah Mariam bergentayangan. Ada yang menyebut kisah Si Manis Jembatan Ancol sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, namun baru populer di masyarakat ketika dikisahkan melalui film pada 1993. Tokoh Mariam diperankan oleh Diah Permatasari dan Kiki Fatmala pada musim kedua.
Women's March, aksi pernyetaraan gender. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Ketidakadilan terhadap Perempuan: Hantu Sebenarnya
Dari semua mitos kisah hantu perempuan tersebut, mencuat satu kesamaan yang sebenarnya berangkat dari masalah riil dalam masyarakat, yaitu adanya ketidakadilan terhadap perempuan. Ketidakadilan itu berkutat pada ketimpangan hak dan peran antara perempuan dan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan laki-laki, hak dan peran perempuan sering ditempelkan dengan organ reproduksinya. Menurut Gita Putri Damayana, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ketidakadilan yang dihadapi perempuan berkaitan dengan organ reproduksi perempuan.
“Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer tersebut, yaitu terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan dan pelayanan kesehatan, serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi,” tulis Gita dalam Pengabdi Setan, Menyadarkan Kita Tentang Nasib Perempuan dalam The Conversation.
Nasib perempuan yang direpresentasikan dalam mitos hantu Kuntilanak tak lain terkait minimnya pelayanan kesehatan reproduksi dan risiko kematian yang harus dihadapi seorang ibu yang melahirkan. Mengutip data Kementerian Kesehatan, Gita mengungkapkan, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada 2015 mencapai 305 orang per 100 ribu kelahiran hidup.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, persepsi yang terbentuk di benak publik justru negatif. Perempuan yang meninggal karena melahirkan, diimajinasikan akan menjadi hantu. Persepsi untuk melihat mitos tersebut sebagai representasi dari masalah riil masih kurang melekat dalam masyarakat.
“Padahal kalau misalnya mau mengutip ajaran agama Islam, ibu yang meninggal ketika melahirkan itu levelnya sama dengan jihad ketika meninggal di pertempuran, di medan perang. Tapi ini di publik justru yang diwariskan itu ingatannya bahwa perempuan yang meninggal ketika melahirkan itu menjadi hantu,” ujar Gita kepada kumparan, Selasa (17/10).
Ikon sebagai hantu jahat yang disematkan kepada perempuan yang meninggal saat melahirkan seolah menyimbolkan bahwa perempuan merupakan pihak yang disalahkan atas kegagalan melahirkan seorang anak. Hal ini termasuk ke dalam kekerasan terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Budaya yang dirilis oleh Komnas Perempuan menyebutkan, ketika seorang perempuan mengandung anak, masyarakat cenderung berpikir bahwa keselamatan anak yang dikandung selalu mendahului keselamatan sang ibu. Ketika seorang perempuan mengandung, keberadaannya dalam masyarakat sering kali tenggelam di balik keberadaan janin yang dikandung.
Sementara untuk kasus Sundel Bolong dan Si Manis Jembatan Ancol, kematian keduanya merepresentasikan tingginya risiko kekerasan seksual yang mesti dihadapi perempuan.
Para penggerak Women's March. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Gita menyebutkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.
Kemudian, angka tingkat pemerkosaan di Indonesia selama tahun 2015 mencapai 1.739 kasus. “Menurut saya, kalau misalnya ada konteks sosial si hantu itu, itu jauh lebih ngeri dibanding hantu yang lahir karena dia patah hati dan bunuh diri,” ucap Gita.
ADVERTISEMENT
Dalam kisah hantu Sundel Bolong, digambarkan ia menggentayangi perempuan-perempuan yang keluar pada malam hari. Penggambaran tersebut dapat bekerja sebagai bentuk opresi terhadap perempuan, di mana dalam masyarakat, perempuan dikontrol untuk tidak beraktivitas di luar rumah, terlebih pada malam hari.
Ada stigma negatif terhadap perempuan yang beraktivitas pada malam hari--sebuah stigma yang kurang atau tidak berlaku sama sekali bagi laki-laki.
Hal itu cerminan dari kekerasan terhadap perempuan dalam pembagian peran dalam pekerjaan. Perempuan cenderung diatribusikan dengan peran domestik, sedangkan lelaki memiliki ruang gerak lebih luas untuk berada di luar rumah. Bahkan sering kali ketika seorang laki-laki melakukan pekerjaan domestik, maka si perempuan akan dianggap tidak becus mengurus urusan domestik.
Laporan Komnas Perempuan tersebut menjelaskan, konstruksi budaya dalam pembagian kerja bahwa perempuan sebagai pekerja domestik, dianggap sebagai salah satu alasan perlindungan keluarga terhadap ibu atau istri atau anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
Hal itu karena perempuan tidak perlu ke luar rumah, yang dianggap membahayakan ketubuhannya secara biologis dan seksual, dan bersaing mencari pekerjaan di wilayah publik. Namun, alasan perlindungan ini dilematis dan justru memperlihatkan adanya kekerasan terhadap ruang gerak perempuan dan hak informasi publik.
Kasus Sundel Bolong tak semestinya terjadi andai pelayanan kesehatan organ reproduksi berlaku adil terhadap perempuan, misalnya dengan mengizinkan aborsi bagi kehamilan tidak diinginkan seperti dalam kasus pemerkosaan.
“Dalam kasus Sundel bolong, dia kan mau aborsi tapi enggak bisa, jadinya dia melahirkan. Kalau misalnya dia bisa aborsi, kehamilan yang tidak dikehendaki itu tidak akan terjadi. Di Indonesia ini stigmanya perempuan yang melakukan aborsi seperti apa? Pertama, kalau misalnya perempuan lajang ke dokter kandungan, pasti ditanya (mana) suaminya,” jelas Gita.
ADVERTISEMENT
“Kalau misalnya dia enggak bisa menjawab ada suaminya atau tidak, itu secara sosial penyedia jasa kesehatan sudah memberikan pelayanan yang enggak maksimal. Saya enggak bisa membayangkan perempuan lajang itu diskriminasinya seperti apa ketika dia berkomunikasi dengan suster, dokter, ketika diketahui dia tidak bersuami,” kata Gita.
Gambaran buruk atas keadilan yang menimpa perempuan korban pemerkosaan bahkan belum lama ini diungkapkan secara gamblang oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam wawancara dengan BBC pada Kamis (19/10) lalu, ia mengatakan:
“... dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah Anda merasa baik-baik saja setelah diperkosa? Pertanyaan semacam itu sangat penting. ‘Jika saya diperkosa, bagaimana perasaan saya selama pemerkosaan, apakah nyaman?’ Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan.”
ADVERTISEMENT
Terlepas dari blunder atau tidak pernyataan Tito tersebut, pandangan semacam itu acap jamak ditemukan. Pertanyaan itu mengimplikasikan kedudukan perempuan yang menjadi warga kelas dua dalam masyarakat, sementara laki-laki sebagai pemilik puncak dominasi.
Aksi Women's March dari Sarinah ke Monas. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Hantu Sundel Bolong dan Si Manis Jembatan Ancol yang digambarkan kerap menggoda laki-laki juga dapat diinterpretasikan sebagai bentuk pemberontakan atas dorongan seksualitas perempuan yang ditekan semasa hidup, seperti dijelaskan Umi Halimah dalam Hantu Perempuan Jawa dalam Alaming Lelembut Sebagai Representasi Femme Fatale.
“Seksualitas perempuan yang terbebaskan ketika telah menjadi arwah menunjukkan bahwa semasa perempuan tersebut hidup, mereka selamanya berada dalam budaya yang mengharuskan perempuan untuk menyembunyikan seksualitasnya. Sementara laki-laki menggunakan aturan ini untuk melanggengkan kekuasaan dan kontrol atas perempuan,” tulis Umi.
ADVERTISEMENT
Seandainya masyarakat ingin berpikir lebih kritis, mitos hantu Kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol ini bisa dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap hukum dan lembaga yang tidak memberikan pelayanan publik secara maksimal. Atau secara lebih luas dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap tatanan masyarakat yang patriarkis.
Menurut Gita, untuk melakukan perubahan bagi kesetaraan hak terhadap perempuan, diperlukan upaya untuk membuat tafsir ulang terhadap mitos-mitos hantu perempuan. Suatu tafsir yang tidak menjadikan perempuan sebagai objek yang jahat.
Namun Gita sendiri mengaku sulit mengubah tafsir itu. Sebabnya alam pikir patriarkis sudah sedemikian meresap dalam masyarakat, hingga penderitaan perempuan pun dianggap sudah lumrah dan laku untuk dikomodifikasi.
Pada akhirnya, mitos hantu perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ancaman bagi laki-laki, selaras dengan realita bahwa perempuan masih menjadi objek dominasi.
ADVERTISEMENT
Sampai kapan?