Happy Salma dan Hidupnya sebagai Wanita Bali

12 April 2017 18:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Happy Salma (Foto: Instagram @happysalma)
zoom-in-whitePerbesar
Happy Salma (Foto: Instagram @happysalma)
Hijrahnya Happy Salma ke Bali memang sudah cukup lama. Tepatnya setelah ia menikah dengan Tjokorda Bagus Dwi Santana Max Kerthyasa, pria keturunan keluarga Kerajaan Ubud, Bali, pada Oktober 2010. Sejak itu, ia hijrah ke Bali dan melahirkan putri pertama bernama Tjokorda Sri Kinandari Kerthyasa pada 2 April 2015.
ADVERTISEMENT
Bagi Happy, tinggal selama lebih dari 6 tahun di Bali tidaklah mudah. Ia harus beradaptasi dengan lingkungannya, terutama keluarga suaminya yang merupakan ningrat di Pulau Dewata.
Tapi, berkat restu yang diberikan oleh mertua dan keluargaya, kehidupannya di Bali berjalan dengan baik dan lancar.
"Pokoknya, silaturahmi adalah yang utama. Apapun kegiatannya, harus ada waktu untuk keluarga sebagai bentuk menghargai undangan. Ya, solidaritas lah, jalin silaturahmi," ucapnya kala ditemui usai acara 'Panggung Para Perempuan Kartini', Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.
Selain itu, ia juga harus beradaptasi dengan budaya Bali yang menganut sistem gotong royong yang kuat. Meski sempat depresi, ia mengaku cepat beradaptasi lantaran banyak kesamaan antara budaya Bali dengan Sunda–Happy lahir di Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Orang Sunda punya beberapa kesamaan dengan orang Bali, yaitu murah senyum dan gotong royongnya kuat. Di Jakarta, kebanyakan orang hidup masing-masing. Nah, ini mengingatkan saya yang dulunya tinggal di Sukabumi. Kala itu, tetangga kan, dekat-dekat pada zaman dulu. Nah, di Bali sangat berasa. Itu yang saya pahami," ujarnya.
Baca juga:
Untuk bersatu dengan lingkungannya, sutradara film 'Rectoverso' itu mengaku caranya hampir sama dengan beradaptasi di tempat-tempat lainnya di Indonesia.
"Ada budaya patriarki tinggi. Misalnya, laki-laki itu dominan. Di mana-mana ya, sama saja (dominan)," tuturnya.
Untuk kulinernya, wanita 37 tahun itu mengaku sangat menyukai makanan khas Bali. Salah satu alasannya, karena masakannya tidak jauh berbeda dengan masakan Sunda.
ADVERTISEMENT
"Bali sama Sunda sama-sama agak asin dan aku suka. Bedanya, kalau masakan Sunda itu banyak mentahnya. Disimpan di kebun saja, masih bisa hidup," terangnya.
Maka dari itu, penulis cerpen 'Pulang' yang dirilis tahun 2006 ini pun bisa masak masakan khas Bali.
"Sambal matah bisa, masak ayam sisir bisa. Paling sulitnya hanya di bumbu karena saya enggak begitu pandai memasak," ujarnya dengan senyum lebar.
Meski sudah menyatu dengan Bali, pemain film 'Air Mata Terakhir Bunda' ini kerap bolak-balik Jakarta untuk urusan pekerjaan. Ya, aktris, penulis, dan pemain teater ini masih giat menjalani pekerjaannya seorang seniman.
"(Seniman) itu kayak pintu gerbang Indonesia. Seni budaya roboh, ya, roboh semuanya. Benteng Indonesia adalah budaya seni. Di Bali, misalnya, semua orang dekat dengan seni. Hampir beberapa meter dari tempat tinggal pasti ada bentuk seni," kata Happy.
ADVERTISEMENT
Meski harus meninggalkan keluarga, ia tetap didukung sang suami untuk berkarier.
"Sejauh ini, dia adalah supporter saya yang nomor satu. Namanya juga suami-istri, partner hidup. Jadi, saling support satu sama lain," tutupnya.