Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Akhir pekan, pukul 15.45, dan Dhevy sudah berada di antara antrean panjang mobil-mobil di depan Distrik 1 Meikarta. Ia, mungkin seperti ribuan orang lain di Indonesia, kangen nonton film di layar lebar usai bioskop ditutup selama tiga bulan karena corona. Maka, saat Meikarta mengubah area parkir Distrik 1 menjadi tempat makan sekaligus drive-in cinema , Dhevy tancap gas.
Tiap hari, ada dua kali penayangan film di tempat tersebut. Pertama pukul 16.00 dan yang kedua pukul 19.00. Dhevy sempat khawatir ketinggalan film yang mulai duluan atau malah tak kebagian tempat sama sekali. Maklum, sebentar lagi 16.00 sementara antrean mobil terasa seperti Cikampek saat arus mudik Lebaran.
Untungnya, Dhevy bisa melihat layar film dari tempat mobilnya mengantre. Jadwal mulai film sudah terlewati, tapi tayangan macam iklan dan video pendek masih terus diputar. Ia tahu ia masih punya waktu.
Tunggu punya tunggu, ia perlu satu jam antre untuk bisa masuk ke lahan parkir terbuka itu. Ia dicek suhu, diberi menu makanan, pesan, bayar, baru parkir di depan layar. Makanan yang dipesan diantarkan langsung ke mobil oleh petugas sehingga penumpang sama sekali tak perlu turun kecuali ke toilet.
Kebetulan, Dhevy mendapat area menonton yang optimal. Menumpang mobil CR-V, ia mendapat spot parkir tengah-tengah—tak terlalu depan, juga tak terlalu ke belakang. Ia mencermati mobil kecil macam Jazz ditempatkan di barisan depan layar, sedang SUV besar macam Fortuner sampai Innova berada di baris belakang.
Kekecewaan tiba belakangan. Saat sudah mendapat parkir, ternyata film telah dimulai dan Dhevy sama sekali tak sempat melihat judul film di awal tayangan. Sampai pulang, ia tak pernah tahu apa judul film yang barusan ia tonton.
“Pas saya perhatiin, ini film apa ya? Artisnya juga saya nggak ada yang tahu sih. Itu kayak film lama,” kata Dhevy menceritakan pengalamannya kepada kumparan, Kamis (11/6), tak yakin film yang ia tonton pernah masuk bioskop.
Yang jadi perkara adalah tak ada jadwal film yang akan diputar di lahan parkir Distrik 1 Meikarta itu. Sempat dituduh memutar beberapa film kenamaan tanpa izin , Meikarta ganti memutar film-film relatif tak terkenal. Yang terjadi adalah, penonton macam Dhevy seperti beli kucing dalam karung. Mereka tak tahu apa film yang akan ditonton sembari makan camilan di dalam mobil.
Meski begitu, secara umum Dhevy senang dengan munculnya alternatif nonton film secara komunal seperti yang ditawarkan Meikarta. “Apalagi di masa begini yang serba terbatas, nonton film model ini ya memang bisa menggantikan bioskop. Kalau misal kayak gini, tapi film-filmnya kayak di bioskop lainnya pasti enak banget sih,” kata Dhevy.
Menurut humas Meikarta, ide makan sambil nonton film di layar lebar ini sudah ada sejak awal tahun. Namun, pandemi COVID-19 membuat rencana tersebut tertangguhkan. Baru ketika drive-in cinema sukses dijalankan di negara-negara lain macam Swedia dan Uni Emirat Arab, Meikarta mengikuti.
Rencana awal, program tersebut akan dilaksanakan selama satu bulan sampai 30 Juni 2020. “Kalau memang antusiasme pengunjung terus meningkat, ya kita akan evaluasi, mungkin akan dilanjutkan dengan persiapan yang lebih matang lagi,” kata Jeffrey Rawis, Kepala Humas Lippo Cikarang, kepada kumparan, Rabu (10/6).
“Mungkin film-filmnya akan lebih beragam, akan bekerja sama dengan berbagai produser secara legal. Tapi mereka juga harus tahu bahwa ini bukan bayaran, jadi jangan pakai tarif sama dengan mereka jual (hak siar film) ke bioskop-bioskop,” tambah Jeffrey.
Meikarta sendiri berkukuh bahwa programnya di Distrik 1 Meikarta itu bukanlah drive-in cinema . Menurut Jeffrey, ini adalah tempat makan yang memberi servis lebih ke pengunjung berupa tontonan.
“Makanya kita namakan drive through dine in. Orang bisa masuk ke sini memesan kuliner, sembari nonton film atau siaran olahraga,” ujar Jeffrey.
Dengan logika itu, Jeffrey menyebut bahwa film yang ditampilkan di lahan parkir tersebut sama seperti ketika ada film yang diputar di televisi dalam sebuah restoran.
“(Menonton filmnya) tanpa bayaran, makanya tidak boleh disebut drive-in (cinema), ini kan bukan bioskop. Sama saja dengan restoran di ruangan, tapi yang sekarang lebih bagus karena kita ada film-film yang bekerja sama dengan EO yang melaksanakannya, mendatangkan film-film yang sesuai standar boleh ditonton semua umur,” tambah Jeffrey.
Meikarta bukan satu-satunya pihak yang akan menawarkan model drive-in cinema dalam waktu dekat ini. Ergo and Co., event organizer yang sebelum pandemi lebih banyak menangani ekshibisi dan peluncuran produk-produk otomotif, akan menggelar drive-in cinema pada pekan kedua bulan Juli nanti.
“Kita bikinnya pop-up, cuma empat hari. Selama empat hari kita rencana akan tayang 13 film. Tapi nggak ada pengulangan film nih, jadi setiap hari filmnya akan beda,” ujar Adam Hadziq, founder Ergo and Co. kepada kumparan, Kamis (11/6).
Rencananya, drive-in cinema tersebut akan digelar pada hari Kamis sampai Minggu. Pada hari Sabtu, akan ada penayangan film midnight sehingga pada hari itu akan diputar empat film berbeda. “Sisanya, tiga film sehari,” kata Hadziq.
Saat ini berbagai persiapan tengah dilakukan oleh Hadziq dan 50-an orang krunya. Selain soal izin film, masih ada persoalan tempat, teknologi, sponsor, dan perizinan yang harus diselesaikan satu per satu. Yang jadi rumit, satu perkara dan perkara lain tak jarang saling terkait.
Soal film, misalnya, baru bisa difinalisasi ketika izin tempat dan penyelenggaraan acara sudah selesai. “Pihak movie-nya mau ada izin jalannya dulu, dari sisi pemerintah sama dari sisi keamanan dan segala macam. Jadi ketika sudah dapat itu, baru filmnya ngikutin, baru bisa kita rilis,” kata Adam.
Masalahnya, tak semua produsen film memiliki prasyarat yang sama untuk bisa ditampilkan. Misalnya saja soal ukuran layar. Beberapa film luar negeri, kata Adam, hanya memperbolehkan filmnya ditayangkan pada layar dengan ukuran maksimal 9 x 5 meter.
Sementara produsen film Indonesia lebih luwes. Mereka tak mempermasalahkan Ergo and Co. dan Flashcom Event Organizer yang berencana menayangkan film di LED berukuran 17 x 9 meter. Ukuran layar tersebut diperlukan agar 150 mobil yang menjadi target per pemutaran film bisa menonton secara nyaman.
“Kalau ukuran kecil, ada alternatif kita bikin dua layar. Kalau ukuran 9 x 5 meter, nggak mungkin 150. Paling cuma 80 (mobil). Entar yang belakang komplain, gambarnya nggak jelas,” kata Adam.
Selain layar, audio film juga menjadi salah satu perhatian. Untuk memenuhi pasokan suara bagi 150 mobil, sistem audio tersentral tak akan bisa maksimal. Dua alternatif muncul kemudian, yaitu 1) penyebaran audio via wifi dan Bluetooth, dan 2) lewat frekuensi radio FM.
“Bluetooth dan wifi secara teknologi kita trial oke, tapi secara kerja sama nggak ketemu sama vendornya. Akhirnya pakai radio, kita dapet dari temen gitulah, ada izinnya cuma udah nggak kepake. Dan itu jangkauannya cuma tiga kilometer, jadi lebih localized dan orang nggak terganggu kalau kita blocking audio film,” kata Adam.
Untuk tempat, pilihan telah mengerucut ke dua titik, yaitu di salah satu tempat di Serpong dan satu lagi di tepi barat Jakarta. Namun, meski lampu hijau secara lisan telah dibuat dengan petugas keamanan serta pemerintah daerah, Ergo and Co. akan tetap bergantung pada izin pemerintah pusat.
“Soalnya, kalau ini diiyain, kemungkinan besar event lain bakal ikutan, ‘Loh, kok yang itu boleh? Kan sama-sama event,” kata Adam.
Meski terlihat menjanjikan, apalagi di tengah pandemi yang gelap ujung pangkalnya ini, menarget untung dari bisnis drive-in cinema dalam jangka panjang adalah sesuatu yang sepertinya terlihat muluk-muluk. Itulah kenapa Adam juga memutuskan bahwa drive-in cinema besutannya kali ini hanya sebatas pop-up selama empat hari.
“Penginnya kita nambah ya, tapi operasionalnya mahal banget. Investasinya mahal sekali kalau dipikirkan. Orang yang awam sih mikirnya, ‘Wah ini cuma ngasih layar doang.’ Tapi kalau udah dikulitin, izinnya, sewa alatnya, masalah tempat, tetek bengeknya, investasinya besar sekali,” kata Adam menjelaskan proyeksi drive-in cinema sebagai bisnis jangka panjang di Indonesia.
“Mungkin dari sisi konsumen yang nonton sih oke, cuma kan kalau dipikir dengan ticketing segala macam ya nggak ketutup juga sebenarnya. Jadi memang mesti ada kerja sama dengan sponsor dalam jumlah yang besar,” tambahnya.
Hal tersebut sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Indonesia pernah punya drive-in cinema di Pantai Binaria (Ancol) pada 1970. Ia sempat jadi drive-in cinema terbesar di Asia, namun dinilai tak begitu menguntungkan beberapa belas tahun setelahnya dan akhirnya diganti menjadi pusat perbelanjaan.
Sementara, budaya menonton film di Indonesia memang masih identik dengan hiburan mewah. Tak perlu jauh-jauh membicarakan di masa penjajahan, saat ini jumlah layar bioskop per kapita saja masih sangat minim.
Mengutip Wacana Sinema: Menonton Penonton (2019) terbitan Dewan Kesenian Jakarta, cuma ada 1.200 layar bioskop di Indonesia per 2016. Itu artinya, cuma ada 0,4 layar bioskop untuk 100 ribu orang di Indonesia (bandingkan dengan Amerika Serikat, 14 layar; dan China 1,8). Itu pun, 70 persennya berada di Jawa. Dari situ pun, 70 persennya berada di Jakarta.
Dimas Jayasrana, seniman visual yang juga founder spektakel.id, juga tak yakin drive-in cinema akan bertahan di Indonesia, misalnya, ketika pandemi telah berakhir.
“Kalau hitungan di atas kertas, tidak. Bisa jadi salah dengan realita lapangan. Aku enggak percaya kalau bisnis seserius itu—membuka bioskop drive-in—dilakukan dengan perspektif mengisi kekosongan masa pandemi,” ujar Dimas kepada kumparan, Sabtu (13/6), melalui sambungan telepon.
Menurutnya, banyak faktor yang bisa saja mempengaruhi performa drive-in cinema di Indonesia. “Penonton tidak lahir dari batu. Kalau kemudian masyarakat oleh banyak sebab memiliki resistensinya sendiri, kita mau ngomong apa?” kata Dimas, yang kemudian menyebutkan tantangan yang dihadapi drive-in cinema apabila mau menggantikan bioskop.
Bioskop, Dimas bilang, sejak awal didesain sebagai ruang gelap untuk menonton, dirancang agar penonton mendapat pengalaman sinema paling maksimal. “Visualnya, tata suaranya, minimnya distraksi. Misalnya ketika mereka datang (ke drive-in) lalu mereka merasa tidak terpuaskan dari pengalamannya by any meaning lalu nggak datang lagi, gimana? Aku nggak bilang ini kelemahan ya, ini challenge.”
Selain soal pengalaman menonton sendiri, persoalan izin dan censorship film menjadi hal yang diperhatikan Dimas. “Drive-in cinema ini masuk kerangka UU Perfilman nggak? Karena tidak ada definisinya. Apakah drive-in itu bioskop, apakah dia layar tancap?”
Pertanyaan itu penting karena banyaknya aturan-aturan yang ada di bawahnya. Misalnya, bila ia layar tancap, maukah ia mengikuti aturan main yang selama ini disebut dengan bioskop keliling?
“Misalnya, film layar tancap itu tidak boleh memutar film yang sedang diputar di bioskop. Paling cepat sebulan setelah turun dari bioskop. Lalu titik layar tancapnya itu radiusnya 5 km kalau nggak salah dari bioskop terdekat,” tambah Dimas.
Juga soal sensor. “Ketika lu puter layar tancap aja, itu open space, siapa pun bisa lewat situ, lu nggak bisa muter Deadpool, misalnya. Film yang bisa diputar di layar tancap itu harus dalam kategori semua umur. Drive-in cinema gimana?” tanya Dimas retorik.
“Jadi banyak banget yang perlu dipikirin. Gimana izin, gimana sensor, gimana market captive-nya. Karena akhirnya kan cuma kelas menengah yang punya mobil,” kata Dimas.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.