Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Film Pemburu di Manchester Biru yang tayang hari ini, Kamis (6/2), digarap oleh sutradara Rako Prijanto sejak tahun 2018. Sempat dua tahun tak ada kabar, akhirnya film tersebut tayang juga di bioskop.
ADVERTISEMENT
Film ini mengadaptasi novel non fiksi karya Hanif Thamrin, mantan Direktur Hubungan Internasional dan Media PSSI yang pernah menjabat sebagai International Content Producer di klub liga Inggris, Manchester City. Sosok Hanif diperankan oleh Adipati. Sementara, Ganindra memerankan tokoh Pringga, sahabat dekat Hanif.
Rupanya, dalam penggarapan, film tersebut tak mendapat izin resmi dari klub Manchester City. Sang produser, Reza Hidayat, mengungkap bahwa timnya memang kesulitan mendapatkan footage untuk klub tersebut dalam filmnya.
“Enggak gampang buat negosiasi untuk klub sebesar Manchester City,” ucap Reza ketika ditemui di kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Reza menegaskan, film Pemburu di Manchester Biru memang tidak mendapatkan lisensi resmi dari klub yang kini dilatih oleh Pep Guardiola itu. Namun, dirinya berusaha mencari alternatif terbaik yang paling mendekati setting yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
“Kita mengusahakan yang terbaik. Berapa pun angka (penontonnya), kita tetap optimis telah memberikan kualitas yang terbaik,” ucap Reza.
Sementara itu, Hanif yang juga ikut dalam proses produksi menyebutkan hal yang sama. Kata Hanif, lisensi resmi yang dikenakan oleh pihak klub bernilai cukup fantastis.
Amazon Prime, misalnya, yang mendapat lisensi resmi untuk penggarapan behind the scene klub tersebut, harus merogoh kocek hingga 10 juta poundsterling atau sekitar 177 miliar rupiah. Angka ini tentu tak bisa dijangkau oleh pihak rumah produksi Pemburu di Manchester Biru.
“Approach kita 'kan untuk dapet all access, ya, jadi semua di Etihad (stadium) dapetin rights buat pakai logonya. Akses pemain, manajer. Tapi, 'kan, memang jumlah yang dibayarkan kayak Amazon Prime saja 'kan, 10 juta pounds, kita enggak bisa fulfill untuk kasih nominal yang sama,” jelas Hanif.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, menurut Hanif, tim produksi harus memutar otak untuk menghadirkan situasi latar yang sesuai di rentang periode 2014 hingga 2016 itu. Alhasil, untuk setting sendiri, mereka menggunakan stadion milik klub asal London, Queens Park Rangers.
“Itu pakai salah satu klub premier league di London. Ya, dengan harga yang mampu kita bayarkan,” ungkapnya.
Kemudian, untuk penggunaan logo sendiri, tim produksi juga tak menggunakan logo resmi Manchester City . Mereka memodifikasi logo tersebut untuk menghindari penggunaan logo resmi klub Manchester City.
Menurut Hanif, untuk nama klub, tim produksi bahkan menggunakan nama Manchester Club. Tak didapatnya lisensi resmi memang membuat mereka harus amat berhati-hati dalam melakukan proses produksi film.
“Ya, jadi 'kan, kita ngomongnya fiksi, ya, jadi fiksi jatuhnya karena kita bilangnya Manchester Club, kita ngomongnya enggak pernah Manchester City. 'Kan, City bisa diasosiakan dengan kota, jadi enggak ada yang dilewatin, sih,” tutur Hanif.
ADVERTISEMENT
Meski demikian Hanif Thamrin mengaku tetap mendapatkan dukungan dari rekan-rekan sekantornya dulu. Walau tak mendapatkan dukungan secara resmi, setidaknya film tersebut cukup direstui rekan-rekannya di sana.
“Enggak ada dukungan resmi pastinya, cuma rekan kerja wish goodluck. Mantan rekan kerja di sana mendoakan yang terbaik, tapi untuk negosiasi official, enggak ketemu. Di angka tadi saja,” pungkasnya.