Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Film ‘Ave Maryam’ arahan sutradara Robby Ertanto mendapat lima dari 10 nominasi untuk film Indonesia di ajang ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2019. Saat diputar di sesi Movie Marathon, film ini juga mendapat sambutan meriah.
ADVERTISEMENT
Pemutaran ‘Ave Maryam’ dilakukan di Auditorium Old Courthouse di Kuching, Serawak, Malaysia. Bangunan bersejarah tersebut berdiri sejak abad ke-18. Dulunya, bangunan ini merupakan gedung pemerintahan hingga 1971, dan pada 2003, pemerintah setempat menetapkan sebagai bagian dari Serawak Tourism Complex.
“Banyak film religi di Indonesia, terutama muslim, tetapi sutradara kami ingin membuat film bernuansa religi dari sudut pandang keyakinan lain,” kata Olga tentang ide awal pembuatan ‘Ave Maryam’.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, film yang diputar merupakan versi tidak kena sensor. Ada salah satu adegan cukup kontroversial ketika sang tokoh utama yang sedang jatuh cinta mengekspresikan hasratnya pada seorang pastor dengan cukup vulgar.
“Film ini berani sekali. Apakah film ini tayang di bioskop Indonesia?” tanya salah seorang penonton.
Olga menjelaskan bahwa ‘Ave Maryam’ diterima cukup baik oleh penonton Indonesia dari berbagai macam latar belakang. Film yang tayang di bioskop Indonesia, adalah versi yang sudah dipotong sekitar satu menit.
Namun, Olga juga tak menampik bahwa ada kalangan dari komunitas Katolik yang keberatan dengan narasi ceritanya. Tapi menurut dia, cerita ini lahir dari kisah nyata yang diceritakan seorang pastor pada sang sutradara.
ADVERTISEMENT
“Film ini menggambarkan tantangan dalam sebuah komitmen. Kalau kita menikah, komitmen dengan pasangan. Film ini mengangkat cerita tentang komitmen pada Tuhan,” lanjut Olga.
Berbeda dengan pemutaran ‘Ave Maryam’ , sesi penayangan film ’27 Steps of May’ dilakukan di tempat yang kurang layak. Selain terpisah dari lokasi acara utama, pemutaran film berlangsung di tengah restoran yang masih menerima tamu umum untuk makan.
Pemutaran dilakukan di layar yang kecil, mungkin lebih besar layar untuk presentasi mahasiswa ketika ujian tugas akhir. Sekitar 30 penonton yang hadir—sebagian dari delegasi Indonesia—cukup terganggu dengan situasi yang tidak kondusif. Apalagi di tengah film, datang rombongan turis berjumlah 30-an orang melintas di depan layar, menuju ke ruang atas dan menikmati makanan mereka sambil berbincang dan menyalakan lampu.
ADVERTISEMENT
Anda bisa bayangkan situasinya? Sama sekali tak memberikan pengalaman sinematik untuk acara sekelas ‘festival film internasional’. Padahal, '27 Steps of May' mendapatkan empat nominasi AIFFA 2019 di kategori 'Best Director of Photography' untuk Ipung Rachmat Syaiful, 'Best Screenplay', 'Best Supporting Actor', dan 'Best Actress'. Di antara deretan penonton, terlukis raut kekecewaan. Beberapa penonton lain akhirnya keluar tanpa menyelesaikan sisa durasi.
Selain sesi pemutaran film-film ASEAN, bagian dari rangkaian acara menampilkan sesi diskusi dari para stakeholder perfilman ASEAN dan internasional. YB Datuk Haji Abdul Karim Rahman Hamzah, Menteri Pariwisata, Kesenian, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Sarawak, mengatakan bahwa Serawak membuka peluang bisnis selebar-lebarnya untuk industri film internasional melakukan produksi.
“Tentu akan ada insentif. Kami tidak menjanjikan akan gratis sepenuhnya, tapi pasti ada win-win solution,” kata dia disambut tepuk tangan penonton.
ADVERTISEMENT
Melalui AIFFA, YB Datuk Haji Abdul Karim Rahman Hamzah juga telah membuat MoU dengan investor dari China untuk berkolaborasi dan mengembangkan industri perfilman Serawak dan ASEAN.