Perempuan: Kegelisahan Terdalam Joko Anwar

26 Oktober 2017 10:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan, terbaring tak berdaya di tempat tidur, rambut terurai panjang kusut masai, wajahnya pucat, gerak bibirnya entah membaca doa atau mantra. Ini adegan jelang kematian yang menyakitkan di usia yang tak tua-tua amat. Fragmen tersebut dihadirkan Joko Anwar dalam film terbarunya, Pengabdi Setan.
ADVERTISEMENT
Menyeramkan. Entah sebab sosok dari tokoh Ibu yang disajikan, atau karena adegan menghadapi kematian yang ia bawakan. Karena tentu saja, banyak dari kita berharap, kematian tenang dan damailah yang akan kita hadapi kelak.
Selanjutnya, kita disuguhi adegan perempuan muda, menanyakan uang royalti milik si ibu yang sudah tak ada lagi. Harapannya tandas, wajahnya lunglai. Ia pulang ke rumahnya yang tua dan jauh dari kota dengan kesedihan dan kewajiban.
Di rumah, ia disambut oleh si nenek yang duduk di luar, seolah menjaga serta memantau rumah dan seisinya. Barulah kemudian dihadirkan tokoh laki-laki, Bapak, yang hanya muncul di bagian awal, lalu pergi dan datang lagi di bagian akhir.
Kisah Pengabdi Setan besutan Joko Anwar, seorang penulis skenario sekaligus sutradara dan aktor, banyak berpusat di sekitar tokoh perempuan dan pemilihan sekte kesuburan sebagai pangkal persoalan.
ADVERTISEMENT
Ia, kepada kumparan, Kamis (19/10), menceritakan bahwa karakter Bapak dalam film-filmnya seringkali sosok yang tidak bisa diandalkan.
“Memang kalau dilihat, di film-film aku, karakter bapaknya either not present atau asshole. Itu kata orang dan itu bener,” ujarnya setengah serius setengah bercanda.
Sementara perempuan hamil menjadi salah satu trademark dari enam film yang ia tulis dan sutradarai langsung, di luar skenario film lain yang ia tulis atau film-film pendek yang ia buat.
“Semua film aku itu punya ciri khas. Kayak trademark tentang perempuan hamil dan kesuburan gitu,” lanjutnya bercerita di tengah gerimis malam.
Wawancara khusus Joko Anwar. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Perempuan, rupanya, ialah sesuatu yang yang tanpa sadar selalu ada dalam pikiran seorang Joko Anwar. Kegelisahan-kegelisahan itu sulit untuk dijelaskan, namun tersimpan di benak. Semua orang barangkali memiliki kegelisahan serupa dan berbeda-beda
ADVERTISEMENT
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kegelisahan tersebut mencari jalan untuk dikeluarkan. Joko Anwar lantas mengalirkan hantu-hantu yang selalu menggantung di pikirannya, sadar tak sadar, melalui karya yang ia ciptakan: film.
“Aku melihat banyak sekali orang-orang yang punya anak hanya karena mengikuti convention dari society,” cerita mantan jurnalis The Jakarta Post ini. Seperti orang pada umumnya, Joko sangsi akan siklus sekolah-kuliah-kerja-menikah-punya anak, yang selalu dipertanyakan dengan kata “kapan?”
“Padahal abis SMA, kalau misalnya nggak mau ya nggak usah kuliah, nggak apa-apa. Abis kuliah, nggak harus nikah. Ya nggak apa-apa kalau nggak mau nikah,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Abis nikah nggak mau punya anak juga nggak apa-apa. Some of my friends nggak punya anak. Mereka nikah tapi memang nggak mau punya anak.”
ADVERTISEMENT
Bagi pria kelahiran 3 Januari 1976 ini, banyak masalah terlahir dari orang tua yang melahirkan anak tanpa perencanaan matang. Sebagian dari anak-anak yang lahir itu barangkali keluar menghadapi dunia berbekal keberuntungan kasih sayang orang tua, keluarga yang kaya, dan jaminan pendidikan.
“Tapi nggak sedikit juga yang akhirnya hanya menjadi statistik. Statistik orang-orang yang terlantar, statistik orang yang karena terlantar lalu terjerumus ke kriminal, dan sebagainya,” ujar Joko dengan pandang menerawang.
Perempuan hamil dan kesuburan kemudian secara tak sadar hadir, terekam di setiap film yang ia lahirkan dari naskah yang ia tulis dan sutradarai sendiri.
Dalam film Pengabdi Setan, tokoh Ibu yang diperankan dengan apik oleh seniman Ayu Laksmi memilih untuk mengikuti Sekte Kesuburan. Bukan karena opresi atau tekanan terhadap perempuan untuk memenuhi kodratnya yakni melahirkan, melainkan karena pilihan sendiri.
ADVERTISEMENT
Ibu “Pengabdi Setan”. (Foto: @jokoanwar/Twitter)
“Karakter si ibu ini sebenarnya adalah orang yang sangat, well, teremansipasi. Tapi dia juga punya beberapa kelemahan. Dia adalah orang yang sangat ambisius. Dia ingin mendapatkan semua --wealth, luxury yang ada di dunia,” papar Joko.
Ambisi akan kekayaan dan kemewahan itu kemudian ia jabarkan. “Luxury pada waktu itu, pastinya ketenaran, karier yang sangat baik, harta. Terus dia mau punya keluarga yang ideal. Dengan suami yang ganteng, anak-anak yang cantik dan ganteng juga.”
Popularitas dan karier karakter Ibu bernama Mawarni ini ditunjukkan dengan platinum records miliknya di kantor, yang juga menjadi tanda bagi kekayaannya sebagai penyanyi. Di masa jayanya itu, Hanya anaklah yang belum ia miliki untuk mewujudkan keluarga ideal seperti ambisinya.
Adegan dalam Pengabdi Setan. (Foto: Dok. IMBD)
Keinginan Ibu Mawarni untuk memiliki anak barangkali serupa sedu sedan Pawestri pada Tiwar dalam buku Rafilus karya Budi Darma. Bagi Pawestri, anak adalah sumber kebahagiaan utama, yang akan melesatkannya, membuatnya bangkit dari manusia kelas comberan.
ADVERTISEMENT
Jika Pawestri mensyaratkan untuk memiliki anak pada Tiwar yang hendak mengawininya, maka tokoh Ibu yang telah menikah memilih untuk ikut Sekte Kesuburan demi memenuhi ambisi, selayaknya manusia yang punya mimpi.
Perempuan hamil dan kesuburan itu hadir, terekam, di hampir setiap film Joko Anwar.
“Semua film aku itu punya ciri khas, kayak trademark tentang perempuan hamil dan kesuburan. Dari mulai perempuan hamil dalam taksi yang mendapat musibah di film Janji Joni, film pertama saya,” ujar Joko.
Di film Joko selanjutnya, Kala, terdapat adegan perempuan hamil ditabrak truk. Sementara dalam Pintu Terlarang, Joko Anwar menampilkan patung-patung perempuan hamil yang diisi oleh janin-janin yang gagal lahir.
Adegan dalam Pintu Terlarang. (Foto: filmindonesia.or.id)
“Perempuan hamil di Pintu Terlarang, semua tentang perempuan. Patung aja hamil kan di Pintu Terlarang. Di Modus Anomali juga perempuan hamil yang ditusuk,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa sadar selalu menggantung menanti jawaban. “Ada film pendek aku yang judulnya Waiting Room, yang aku bikin tapi tidak aku rilis. Itu semacam jawaban dari kenapa film-film aku ada tentang wanita hamilnya,” ungkap Joko.
Sementara perempuan hamil selalu hadir seperti semacam penanda, Joko menguatkan kegelisahannya akan kondisi perempuan dan keluarga melalui tokoh perempuan di film-filmnya.
Setelah ikut serta menjadi asisten sutradara Nia Dinata di film Arisan pada 2003, Joko Anwar merilis filmnya sendiri pada 2005: Janji Joni. Di film bergenre komedi ini, Joko membuat karakter Angelique yang diperankan oleh Mariana Renata sebagai sosok yang cukup dominan.
Angelique menjadi alasan dan semangat baru bagi Joni untuk mengantarkan film tepat waktu, demi sebuah nama.
ADVERTISEMENT
“‘Nama kamu siapa sih?’ (tanya Joni) ‘Oke, kalau misalnya kamu bisa nganter film dengan tepat waktu, aku bisa kasih namaku’ (jawab Angelique). Maksudnya, kasih nama aja kok susah banget sih. So, she's very controlling, she's dominant,” papar pria berusia 41 tahun ini.
Adegan film Janji Joni. (Foto: filmindonesia.or.id)
Dua tahun kemudian, Joko menghadirkan film barunya, Kala. Dengan genre berbeda, gaya penceritaan yang berbeda, tanpa batas geografis dan waktu yang pasti. Tentang Janus, wartawan yang dibebastugaskan, dan Eros, si polisi yang kebingungan menghadapi kasus pembunuhan demi pembunuhan.
“Kalau di Kala, obviously, heroine-nya at the end ternyata, yang membunuh semua, adalah perempuan dengan pedang yang gede sekali,” kata Joko sambil memperagakan adegan tersebut. Ranti yang diperankan oleh Fahrani menjadi penentu hidup dan mati di antara Janus atau Eros.
ADVERTISEMENT
Pada film berikutnya, Pintu Terlarang yang lahir pada 2009, Talyda yang diperankan oleh Marsha Timothy menjadi persoalan sekaligus jawaban bagi Gambir. Gambir, yang sukses hidup sebagai pematung bersama Talyda sang istri, adalah imajinasi dari Gambir yang depresi dan ditolong Ranti.
Poster Film Pintu Terlarang (Foto: filmindonesia.or.id)
“Pintu Terlarang obviously dominan sekali ibu mertua dan istrinya. Modus Anomali, kind a.. walaupun tidak digambarkan tokoh femininnya yang sangat dominan, tapi tokoh laki-lakinya semuanya ancur," ujar sambil tertawa.
Sementara di A Copy of My Mind kita bisa menyaksikan bagaimana karakter Sari yang diperankan oleh Tara Basro sangat kuat. Sari melawan. Meski hanya sebagai penjaga salon, ia tidak rela dipecundangi oleh siapapun.
“Kalau A Copy of My Mind obviously heroine-nya si Tara Basro. Very strong, very motivated, yang doesn’t take a bullshit,” tutur Joko hingga kini yang belum pernah menyutradarai film yang tidak ditulisnya.
Adegan Film A Copy of My Mind (Foto: IMDB)
Joko Anwar memilih menghadirkan tokoh perempuan yang bisa mengontrol diri dan tubuhnya sendiri. Ia menolak patuh pada pandangan umum bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang senantiasa patuh pada laki-laki sebagai pelindungnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau bisa sendiri mah (tanpa laki-laki), ya sendiri aja,” jawab Sari ketika ditanya apakah ia punya pacar.
Joko Anwar menolak batasan-batasan yang mengekang. Dalam film, ia mencoba beragam genre mulai dari komedi romatis, thriller, drama berbau politik, dan kini horor. Menghadirkan gaya bercerita yang berbeda-beda. Hingga menentang pandangan umum yang seringkali patriarkis dan misoginis.
“Jadi semua film aku sih bisa dibilang: feminis,” kata Joko Anwar, menutup perbincangan malam Jumat itu.
Kolase Film Joko Anwar (Foto: Dok. IMDB & filmindonesia.or.id)