Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
ADVERTISEMENT
"Era baru milik kalian," itulah penggalan lirik dari lagu 'Individu Merdeka' milik Seringai yang sepertinya benar-benar terjadi di skena musik indie Indonesia saat ini. Dalam tiga tahun terakhir, ada banyak sekali muisi indie muda keren yang menghiasi industri, mulai dari Barasuara, Danilla, hingga Tashoora.
ADVERTISEMENT
Vokalis Efek Rumah Kaca , Cholil Mahmud, punya pandangan tersendiri mengenai hal tersebut. Ketika ditemui kumparan di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ia nampak amat antusias membicarakan tentang warna-warni skena musik indie Indonesia di era modern.
"Gue, sih, ngelihat kayak, zaman dulu di tahun 2004-2006, yang bahkan Efek Rumah Kaca belum ada, ya. Panas, banyak yang bagus-bagus. Ada The Upstairs, The Brandals, Seringai, Sore, White Shoes and the Couples Company, The Adams, dan ERK masuk belakangan. Antusias penonton sekarang juga mirip juga sama zaman itu," ungkap Cholil beberapa waktu lalu.
"Sekarang nih, ya, 12 tahun setelah era itu, muncul lagi yang gede-gede, dimulai dari Barasuara dan Danilla. Tapi, masih belum, tuh. Nah, dua tahun terakhir, deh, yang tuaan itu ditemenin oleh Jason Ranti, Pamungkas, Hindia, .Ffeast, dan Sisitipsi. Gue seneng banget ada wave itu," sambungnya seraya tersenyum lebar.
Meski begitu, Cholil merasa warna-warni skena indie di Indonesia terlalu lama berganti. Menurutnya, dominasi eksistensi musisi dari awal era 2000-an terlalu lama berjalan tanpa persaingan dari band atau musisi yang lebih muda.
ADVERTISEMENT
"Gue sempet mikir, scene itu akan stuck pas Sore vakum antara 2013 dan 2014. Tapi, kok, pas mereka nyatu lagi, kok, masih ramai. Artinya, 'kan enggak berputar scene-nya. Harusnya, saat Sore enggak bikin lagu, enggak manggung, muncul yang baru, ya," tuturnya.
Ia pun membandingkan dengan cepatnya perputaran skena indie di era '90-an ke awal 2000-an. Menurutnya, di era itu, skena terasa begitu seru, karena cepatnya perputaran musisi-musisi yang bagus, unik, dan tidak biasa.
"Contoh, ya, dulu 'kan, Naif, Netral, Pure Saturday, mulai dari '90-an akhir ke 2000-an awal. Mereka memang masih kuat sampai sekarang, tapi mereka tuh, mendapat perlawanan sengitlah dari geng The Upstairs dan lain-lain sejak 2004," kata Cholil.
Meski begitu, Cholil tetap senang dengan kondisi skena musik indie Indonesia sekarang. Terlebih lagi, warna-warni skena juga banyak mempengaruhi cara penonton menikmati musik dan hal itu pun berimbas pada Efek Rumah Kaca.
ADVERTISEMENT
"Ya, misalnya 'kan, sejak Barasuara, Sisitipsi, dan .Ffeast muncul, orang nonton band gitu senangnya crowdsurfing, 'kan. Dulu gaya begitu cuma digunakan sama pendengar band-band metal, rock, atau stoner, kayak Seringai, Koil, Komunal," jelas pelantun 'Desember' itu.
"Sekarang, kita (Efek Rumah Kaca ) main di panggung saja, penonton ikut crowdsurf. Itu seru, sih, karena dulu mah, mana ada yang begitu," tutupnya seraya tertawa.