Apa Pun Kurikulumnya, Ini Target Belajar Anak Penting Dipahami Orang Tua

2 Oktober 2024 16:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Anak Mengerjakan PR. Foto: Kaikoro/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Mengerjakan PR. Foto: Kaikoro/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan, sebagai upaya untuk menyesuaikan dan menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Pada tahun 2021 era Mendikbudristek Nadiem Makarim, anak-anak sekolah di Indonesia mulai diperkenalkan Kurikulum Merdeka atau Merdeka Belajar.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari laman Kemendikbudristek, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Di mana konten-konten pembelajaran dirancang lebih optimal, sehingga peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Para tenaga pendidik pun diberi keleluasaan untuk menciptakan pembelajaran sesuai kebutuhan belajar dan minat peserta didik.
Meski begitu, akhir-akhir ini media sosial diramaikan dengan perbedaan cara berhitung sederhana lewat kurikulum sebelumnya dengan Kurikulum Merdeka.
Dalam video tersebut, diperlihatkan penjumlahan 34+12=..... dengan kurikulum jadul yang mencoba menyelesaikan soal dengan cara cepat. Sedangkan penyelesaian penjumlahan lewat Kurikulum Merdeka dibuat dengan cara bersusun panjang. Pada akhirnya, masing-masing cara berhitung tersebut tetap menghasilkan jawaban yang sama.
Ilustrasi Matematika. Foto: Faizal Ramli/Shutterstock
Apakah cara berhitung matematika sederhana pada Kurikulum Merdeka 'sengaja' dibuat rumit? Atau sebenarnya ada alasan di balik itu?
ADVERTISEMENT
Ternyata, ini bukan soal masalah perbedaan kurikulum, Moms. Menurut Psikolog Pendidikan Rumah Dandelion, Orissa Anggita Rinjani, yang sebenarnya perlu dipahami adalah bagaimana guru mampu mengajarkan anak cara berpikir yang sistematis.
"Jadi, sebenarnya bukan masalah kurikulum lama atau pun kurikulum baru. Tapi, bagaimana kita sebagai pendidik dan guru mengajarkan anak dengan cara yang sistematis agar paham konsepnya. Bukan hanya tahu cara cepat untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematika," ungkap Orissa kepada kumparanMOM.
Misalnya, dalam matematika, kita pasti diperkenalkan dengan konsep satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya.
Ketika 1 satuan sudah lebih dari 10, maka itu artinya 1 puluhan akan pindah ke depan. Lalu ketika puluhan sudah lebih dari 10, maka 1-nya dipindahkan ke depan yang pada akhirnya kita kenal dengan 1 ratusan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, apakah konsep ini dapat dipahami anak jika hanya diajarkan dengan cara cepat? Orissa menegaskan, cara cepat sebenarnya bukan cara yang salah, Moms.
"Tetapi, idealnya itu dikenalkan setelah anak paham dengan konsep dasarnya. Ini juga berlaku dengan konsep matematika yang lain, misalnya seperti perkalian," ucap dia.
Orissa pun memberi contoh, apa sih bedanya 3x2 dan 2x3. Hasil akhirnya memang sama-sama enam (6). Tetapi, secara konsep sebenarnya dua perkalian tersebut memiliki makna yang berbeda.
3x2 itu berarti ada tiga kelompok yang isinya sama-sama dua (2). Tapi, kalau 2x3 itu artinya ada dua kelompok yang masing-masing berisi tiga (3).
Bila konsep sederhana ini tidak dipahami anak, maka pemahaman anak dalam penerapan sehari-hari pun akan berbeda.
ADVERTISEMENT
"Jika ada kesalahan pemahaman konsep, maka juga akan terjadi pemahaman yang salah dalam pemakaian aplikasi di kesehariannya," tegas Orissa.
"Jadi, mari kita biasakan anak untuk bukan hanya berpikir dan menyelesaikan soal dengan cepat. Tetapi, menyelesaikan dengan logika berpikir yang benar dan tepat," tutup dia.