Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ibu, Seperti Apa Sembahyangnya Umat Khonghucu?
6 Februari 2019 11:00 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Beberapa hari menjelang Imlek , Kiska --putri sulung saya-- tiba-tiba bertanya,“Ibu, seperti apa sih, sembahyangnya umat Khonghucu?”
ADVERTISEMENT
Pupil matanya membesar, tanda pikirannya sedang melayang-layang membayangkan sesuatu. Dahinya sedikit berkerut, persis seperti dahi saya kalau sedang dikejar deadline atau merasa buntu.
"Kok, tiba-tiba nanya begitu?" saya mencoba mengulur waktu.
Ia menghela napas, seolah tak sabar. "Aku lihat kalender, mau ada tanggal merah. Libur Imlek. Aku jadi pengen tahu," jawabnya cepat.
"Pengen tahu sembahyangnya umat Khonghucu?" saya tetap membawanya berputar.
"Ya, Imlek itu hari raya orang Khonghucu, kan? Mereka sembahyang juga, kan? Seperti kita sholat Ied, atau orang-orang Nasrani ke gereja pas Natalan," Kiska mulai bicara cepat, kelihatan betul dia semangat.
"Ya, Imlek nanti mereka akan sembahyang di rumah, kelenteng atau litang," jawab saya berharap bisa memuaskannya.
ADVERTISEMENT
"Iya, itu. Aku tuh, sudah pernah Ibu ajak ke gereja dan melihat mereka beribadah waktu Tante Antie menikah. Ke Vihara waktu Tante Mudhita manten, juga sudah. Aku juga pernah lihat orang Hindu bersembahyang di Pure waktu kita ke Bali. Tapi seperti apa orang Khonghucu sembahyang, aku belum tahu! Aku pernah ke klenteng dan litang waktu kita ke Tangerang, tapi bukan pas ada yang lagi sembahyang. Apa mereka suka sembahyang sama-sama? Kalau pas Imlek gitu misalnya, Bu? Seperti apa? Aku pengen lihat juga." sambungnya nyaris tanpa jeda.
Saya menatap wajahnya lekat-lekat. Mencari kesungguhan yang segera saja saya tangkap di sana.
Ah, putri kecil yang satu ini memang sering saya dan suami bawa ke mana-mana. Termasuk ke rumah-rumah ibadat para sahabat yang memeluk agama berbeda dari kami sekeluarga.
ADVERTISEMENT
Bagi kami, mengajak anak ke rumah-rumah ibadat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan mengimani. Tak sedikit pun kami rasakan mengganggu akidah kami. Ini 'sekadar' mengetahui dan mengenali. Dari sana, semoga anak-anak bisa lebih menghargai dan menumbuhkan empati.
Lagipula, pelajaran mengenai keberagaman agama ini juga diberikan di sekolah. Sejak kelas 1 SD hingga jenjang SMA. Jadi anggap saja ini semacam pengayaan, usaha membantu dan mendampingi anak memahami apa yang tengah ia pelajari.
Tapi Kiska benar, kami belum pernah membawanya melihat pelaksanaan ibadah umat Khonghucu. Dan apa yang ada di buku pelajaran saat ini mungkin memang tidak cukup untuknya atau untuk anak lain yang selalu haus pengetahuan. Apalagi tinggal di Indonesia, yang sangat kaya ragam budaya dan suku bangsa. Terlalu banyak yang akan memancingnya untuk bertanya.
ADVERTISEMENT
Beruntung, minggu lalu saya mewawancarai Js.Liem Liliany Lontoh, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) DKI Jakarta untuk melengkapi artikel tentang Tahun Baru Imlek atau Kongzili 2570.
Usai wawancara mengenai makna keagamaan Tahun Baru Imlek bagi umat Khonghucu, segera saja saya teringat akan pertanyaan Kiska yang saya sendiri belum mampu menjawabnya; seperti apa umat Khonghucu bersembahyang sebenarnya?
"Kalau mau tahu, datang saja tanggal 5 Februari nanti ke Taman Mini," begitu ujar Js.Liem Liliany yang kemudian saya sapa Bu Lily. Ia menjelaskan, setiap tahun baru Imlek di Klenteng Kong Miao yang ada dalam komplek TMII (Taman Mini Indonesia Indah) diadakan kebaktian.
Wah, senang betul rasanya. Pucuk dicinta, ulam tiba! Tentu saja, kesempatan emas ini tidak bisa disia-siakan. Langsung saja saya mengiyakan.
ADVERTISEMENT
Jadilah kami sekeluarga pada hari Selasa pagi (5/2) itu bersiap. Kalau biasanya pada hari libur setelah salat subuh kami lanjut tidur lagi, kali ini kami segera mandi, lalu sarapan. Saya juga mengeluarkan baju berwarna merah dari lemari untuk dikenakan anak-anak, suami maupun saya sendiri. Supaya suasana Imlek lebih terasa.
Saya pernah baca, Imlek juga identik dengan warna merah karena warna ini dianggap melambangkan semangat, keberanian dan keberuntungan. Banyak masyarakat Thionghoa percaya, warna merah juga bisa jadi penolak marabahaya dan mendatangkan keberuntungan. "Merah bermakna semangat juga dipercaya oleh seluruh bangsa kita. Warna merah pada bendera kita, misalnya," ujar saya pada Kiska dan adiknya.
Selesai sarapan, kami bergegas berangkat. Saya ingat pesan Bu Lily, kebaktian tahung baru di Klenteng Kong Miao akan dimulai pukul 9 pagi.
ADVERTISEMENT
"Orang Khonghucu juga punya kebaktian seperti orang Nasrani ya, Bu?" Kiska mulai dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Ya, kebaktian itu kan bisa berarti rasa tunduk dan khidmat atau perbuatan bakti. Jadi bukan orang Nasrani saja yang bisa melakukannya," jawab saya sambil dalam hati merasa lega karena tempo hari pernah mencek arti kata ini di KBBI.
"Apakah mereka juga punya Sekolah Minggu untuk anak-anak?" tanya Kiska lagi.
"Katanya sih, ada," ayahnya membantu menjawab, "Kalau tidak salah di litang Khonghucu yang di Cimanggis ada Sekolah Minggu-nya."
"Kalau aku sekolahnya hari Senin sampai Jumat," Dinta, si bungsu menimpali. Kami sekeluarga tertawa menanggapinya. Mobil melaju ke arah Taman Mini di Timur di Jakarta.
Kami membayar 15 ribu rupiah perorang untuk masuk ke area TMII. Lalu mengikuti peta yang ada di aplikasi. Rupanya Klenteng Kong Miao letaknya berdampingan dengan rumah-rumah ibadat lain yang ada di komplek wisata ini. Ada Masjid Pangeran Diponogoro, Gereja Katholik Santa Chatarina, Gereja Kristen Protestan Haleluya, Pura Hindu Darma, dan Vihara Arya Dwipa Arama. Untuk masuk ke klenteng, tidak usah bayar lagi.
ADVERTISEMENT
Klenteng ini megah, dengan arsitektur China dan dominasi warna hijau juga merah. Di bagian depan, dua patung kilin mengapit gerbang. Juga ada sepasang patung Singa, Naga, Kilin, Patung 12 Shio, dan Kura-kura Kepala Naga di halamannya. Anak-anak antusias melihatnya.
Karena belum jam 9, kami memutuskan berkeliling dulu. Melihat-lihat komplek klenteng yang dibangun pada Desember 2010 ini.
Kompleks kelenteng kong miao terdiri tiga bangunan inti, yakni Tian Tan (Altar Suci) yang berbentuk bundar, Da Cheng Dian (klenteng Nabi Agung) yang berbentuk empat persegi panjang dan bertingkat serya Qi Fu Dian (klenteng keberkahan) yang ditopang delapan tiang.
Mengutip laman Taman Mini, bangunan Tian Tan yang berbentuk bundar melambangkan kesempurnaan Tuhan. Tian, artinya Tuhan.
ADVERTISEMENT
Atapnya tiga susun melambangkan Tian (atap paling atas), Ren atau manusia (atap tengah) dan Di atau bumi atau alam semesta (atap paling bawah). Di atas atap terdapat guci tempat meletakkan dupa (hio) berfungsi untuk bersembahyang kepada Tuhan.
Bangunan Dan Cheng Dian atau klenteng Nabi memiliki dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk kantor dan perpustakaan, sedangkan lantai atas berisi altar Tuhan, altar Nabi dan tempat untuk kebaktian.
Sementara bangunan ketiga, Qi Fu Dian atau kelenteng keberkahan, dipakai untuk menghormati Para Suci (Spirit, Malaikat, Leluhur). Ada sebuah altar untuk bersembahyang juga di dalamnya. Dilengkapi lilin-lilin yang berjajar serta buah-buah yang diletakankan dalam piring-piring. Pada atap bangunan terdapat simbol sepasang naga dan lambang agama Khonghucu.
Meski banyak orang mengunjungi ketiga bangunan ini, tidak ada yang boleh masuk. "Kecuali yang mau sembahyang," ujar petugas di pintu pada satu rombongan keluarga yang sejak awal berkeliling bersama kami. Mereka tampak kecewa.
ADVERTISEMENT
Saya mengajak suami dan anak kembali ke bangunan pertama. Mungkin kami bisa menemui Ibu Lily di sana.
Di depan pintu ruang utama, seorang wanita berpakaian merah segera menyapa kami. Mungkin karena ia melihat kami sekeluarga memakai busana rapi berwarna merah seperti orang-orang yang masuk ke sana.
"Sebentar lagi kebaktiannya mulai. Mau sembahyang, ya?" tanyanya dengan senyum ramah.
Saya menggeleng, “Kami ke sini diundang Ibu Lily. Ibu Liem Liliany Pontoh.”
“Oh, Js.Lian?” senyumnya tambah merekah, “Silakan masuk, Js.Lian sedang bersiap-siap.”
Segera saja saya menggandeng Kiska dan Dinta ke dalam ruangan berdinding merah itu. Mengamati deretan kursi sebentar, lalu mengajak anak-anak menuju deretan kursi paling belakang.
Belum juga duduk, Kiska sudah bertanya, “Ibu, yang di depan itu patung siapa? Tuhannya?”
“Bukan. Tuhannya, Tian. Begitu umat Khonghucu menyebutnya. Tidak ada patungnya,” ujar saya sepelan mungkin. Meski kebaktian belum dimulai, saya takut mengganggu.
“Itu rupang Konfusius, seorang filsuf yang sangat bijak. Oleh umat Khonghucu, ia diakui sebagai Nabi. Nabi Kongcu atau Kongzi,” suami menimpali.
Kiska manggut-manggut, saya mengerling padanya. Rupanya ia sudah browsing-browsing untuk bekal perjalanan kami hari ini.
“Ibu ada lampion. Ada pohon bunga warna pink!” Dinta ikut bertanya seperti kakaknya sambil menunjuk-nunjuk ke beberapa sudut.
“Iya, supaya ruangannya cantik!” jawab saya singkat dan cepat. Kebaktian sepertinya akan segera dimulai.
“Nah, pertanyaanmu akan segera terjawab. Begini umat Khonghucu bersembayang, Kiska,” ujar saya, dalam hati saja.
Js.Lian mengenakan jubah hitam dan selempang berwarna merah yang menjulur dari bahu ke dadanya hari ini. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan. Tampak berwibawa namun bersahaja, ia memimpin kebaktian dan sembahyang.
Tak sendiri, ia didampingi dua orang berjubah biru. Bertiga mereka berdiri di dekat altar. Merapal doa, menyanyikan lagu pujian, memimpin jemaat bersembahyang dalam gerakan-gerakan yang dilakukan bersama mengikuti pimpinannya.
Beberapa doa diucapkan dalam bahasa Mandarin. Sementara lagu pujian dalam bahasa Indonesia. Bila jemaat tidak hapal, bisa membacanya dalam buku tebal yang diedarkan.
Gerakan sembahyang antara lain berdoa sambil mendekap tangan. Tangan kanan dikepalkan lalu ditutup dengan tangan kiri. Gerakan lainnya adalah membungkuk, seperti memberi hormat dengan khidmat.
Mereka juga menggunakan hio atau dupa yang diedarkan dari depan.
“Ibu, itu yang merah-merah namanya apa?” bisik Dinta saat hio diedarkan.
“Itu dupa. Atau hio, bisa juga namanya,” jawab saya.
“Ibu dupanya harum. Aku suka, aku mau dapat juga!” bisik Kiska. Saya menggeleng pelan, mengingatkan, di sini kami hanya ikut menyaksikan saja.
Hio dipegang di depan dada, kemudian dinaikkan dahi sebanyak 3 kali, sambil merapal doa. Doa yang diucapkan pada angkatan hio yang pertama, kedua, maupun ketiga berbeda. Tapi kami tidak dapat menangkap jelas dan tidak memahami artinya.
Setelah pengangkatan hio, Js.Lian melangkah ke luar ruangan diikuti seluruh jemaat. Hio lantas diletakkan di guci yang terbuat dari besi kuningan yang ada di teras bangunan.
Ia juga merapal doa, dan mengajak jemaat membungkuk setelahnya. Kami berempat, ikut berdiri menyaksikan dari belakang saja.
Ritual sembahyang itu berlangsung sekitar 1 jam. Suasananya tenang, khusyuk, meski di luar ramai pengunjung berlalu-lalang.
ADVERTISEMENT
Kiska dan Dinta tampak agak bosan. Tapi mereka kelihatan senang setiap Js.Lian mengakhiri satu rangkaian doa dengan mengucap, "Sancai..."
Mungkin karena kata ini mudah diingat dan diucapkan Js.Lian dengan nada yang mengalun dan lembut.
Belakangan saya mencari tahu, "Sancai" bermakna konsep Tiga Landasan Keimanan dalam agama Khonghucu, yaitu; Jalan Suci Tuhan (Tian-Dao), Jalan Suci Alam/Bumi (Di-Dao), dan Jalan Suci Manusia (Ren-Dao). Teologi dan peribadahan agama Khonghucu, berdasarkan pada konsep ini.
Mungkin itu kenapa sepanjang acara sembahyang, Js.Lian kerap menyebutkannya. Setiap ia mengucap "Sancai", jemaat menyambut dengan mengucap kata yang sama.
Selesai sembahyang, ada pemberian siraman rohani. Seorang rohaniwan dari Matakin maju ke depan untuk berbicara dari mimbar.
ADVERTISEMENT
Usai pemberian siramah rohani, jemaat kembali menyanyikan lagu-lagu pujian. Temanya tentang tahun baru, bersyukur dan mengharapkan keberkahan dari Tian.
Setelah itu, selesailah acara kebaktian. Semua jemaat saling menyapa dan mengucapkan selamat. Semarak dan hangat suasananya.
Dari halaman, terdengar bunyi tabuhan genderang. Tanda pertunjukan barongsai akan segera dimulai. Mata kedua putri kecil saya langung melebar.
"Ya, sekarang boleh ke halaman, nonton barongsai!" ujar Js.Lian. Saya minta anak-anak menyalaminya. Js.Lian menyambut mereka dengan dua buah amplop merah.
"Kalau Imlek , anak-anak dapat angpao!" katanya sambil tertawa. Anak-anak pun kegirangan.
Wah, senangnya! Saya yakin bagi mereka, pengalaman hari ini jadi pelajaran sekaligus kenangan yang tak akan terlupakan.
Laporan: Pemimpin Redaksi kumparanMOM, Prameshwari Sugiri
ADVERTISEMENT