IDAI: 80 Persen Bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan Terlambat Dirujuk

15 Februari 2023 14:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bayi dengan PJB. Foto: Simplylove/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bayi dengan PJB. Foto: Simplylove/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Congenital Heart Disease Awareness Week atau Pekan Kesadaran Penyakit Jantung Bawaan diperingati setiap tanggal 7-14 Februari setiap tahunnya. Harapannya, momen ini dijadikan pengingat pentingnya memahami penyakit jantung bawaan (PJB), terutama pada bayi.
ADVERTISEMENT
Pada 2017, penyakit bawaan menjadi penyumbang terbesar setelah prematuritas sebagai penyebab kematian pada masa neonatus. Penyakit bawaan yang paling sering terjadi adalah PJB.
Moms, kasus PJB menjadi penyumbang cukup besar terhadap angka kematian bayi dan anak. Oleh karena itu, kasus PJB perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari tenaga medis ataupun pemerintah.
“Kejadiannya cukup sering ya, kalau ada 5 juta bayi yang lahir, antara 45 sampai 50 ribu bayi lahir dengan PJB setiap tahunnya. Jadi sebenarnya ini masalah yang cukup signifikan kontributor terhadap angka kematian bayi dan anak,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), dalam media briefing IDAI, Selasa (14/2).

Banyak Kasus Penyakit Jantung Bawaan Kritis yang Terlambat Dirujuk

Shira, bayi yang lahir dengan penyakit jantung bawaan. Foto: Dok. Pribadi
Sebelumnya perlu dipahami, angka morbiditas dan mortalitas di Indonesia cukup tinggi. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1 dari 100 bayi baru lahir mengalami penyakit jantung bawaan kritis. Sayangnya sampai saat ini belum diketahui jumlah pasti kasus PJB di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Di Indonesia karena ada berbagai masalah pendataan penyakit sistem rujukan yang belum optimal sehingga kita belum mempunyai data yang untuk Indonesia itu sebenarnya angkanya berapa yang pasti,” kata Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi IDAI, dr. Rizky Adriansyah, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dalam kesempatan yang sama.
Namun dr. Rizky menambahkan, dari 45 ribu sampai 50 ribu bayi dengan PJB, sekitar 25 persen atau 12.500 kasus terdeteksi sebagai PJB kritis. Bahkan dari jumlah tersebut, penelitian pada 2020 menemukan bahwa sekitar 80 persen kasus PJB kritis terlambat dirujuk, Moms.
“Masalah kita di Indonesia bahwa sekitar 80 persen kasus PJB kritis itu mungkin sekitar 10 ribu kasus ya kalau kita generalisasi terlambat di ujung ke layanan tersier, dan 60 persen kasus PJB kritis itu meninggalnya memang bukan karena masalah yang lain tapi lebih banyak karena keterlambatan diagnosis,” jelas dr. Rizky.
Ilustrasi bayi dengan PJB. oto: Shutterstock
Itulah kenapa, kasus PJB ini juga diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang tidak terlihat atau diketahui sebenarnya jauh lebih banyak daripada kasus yang terlihat. Mungkin yang selama ini dilihat adalah penyakit jantung yang terjadi di usia dewasa, tidak ditangani dengan cepat dan tepat, atau tidak mendapatkan rumah sakit rujukan sehingga tidak dapat tertolong. Padahal ada kemungkinan kondisi itu sudah berlangsung lama dan tidak diatasi sejak dini.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, saat ini IDAI sedang mengembangkan program telemedicine. Program ini diharapkan bisa membantu komunikasi antara dokter spesialis anak dengan dokter spesialis jantung anak sebelum memberikan rujukan kepada pasien.
Dengan begitu, tidak setiap pasien yang dicurigai mengidap PJB langsung dirujuk ke rumah sakit di atasnya, melainkan ditangani terlebih dahulu sesuai tatalaksana awal. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan di NICU, sehingga anak dengan PJB kritis bisa lebih mendapat penanganan optimal.
“Nah ini yang sedang kita kembangkan di IDAI bagaimana antara dokter anak dengan dokter jantung anak itu terjadi komunikasi sebelum dirujuk, ya. Kita berharap yang selama ini dokter anaknya langsung merujuk ke rumah sakit umum pusatnya itu ternyata NICU-nya penuh, kita harapkan bisa ditangani lebih optimal di rumah sakitnya, kita sebut sebagai tatalaksana awal, ya,” tutup dr. Rizky.
ADVERTISEMENT