Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kembali bekerja, dapat menjadi tantangan tersendiri bagi ibu menyusui . Banyak ibu yang kewalahan mengatur waktu untuk memerah ASI, menjadi stres atau sebaliknya, jadi tidak dapat fokus membereskan pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Tidak heran kalau berdasarkan hasil penelitian oleh Program Magister Kedokteran Kerja Departemen Kedokteran Komunitas FKUI, persentase pekerja sektor formal di Jakarta yang memberi ASI eksklusif hanya mencapai 32 persen.
Masih pada data yang sama disebutkan, hanya 2 dari 10 buruh/pekerja pabrik di Jakarta yang berhasil memberi ASI eksklusif. Lalu, hanya 21 dari 100 pekerja perempuan mendapat fasilitas laktasi memadai di tempat kerjanya.
Yang juga memprihatikan, 6 dari 10 buruh pabrik tidak memompa ASI di tempat kerja karena takut meninggalkan pekerjaan, serta 45% ibu bekerja di sektor formal berhenti berikan ASI eksklusif sebelum 4 bulan!
"Padahal hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena pemerintah telah menjamin pemberian ASI di tempat kerja, lewat Surat Kesepaktan Bersama Tiga Menteri dan sudah ada Permenkes No 15 tahun 2013," kata Dr. dr Ray BasrowiMKK, dalam acara Afternoon Tea Seminar 'Breastfeeding Friendly Workplace' di Jakarta, (3/8).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, tempat bekerja seharusnya jangan menganggap kalau memberi waktu bagi ibu menyusui untuk memompa ASI sebagai beban. Justru sebaliknya, malah bisa menguntungkan perusahaan dan cost nothing, Moms.
Penelitian terbaru dari Program Studi Doktor FKUI, yaitu 'Model Promosi Laktasi', dikatakan Dr Ray terbukti efektif tingkatkan perilaku laktasi yang jauh lebih tinggi dari angka cakupan ASI eksklusif nasional, serta membantu pertahankan status produktivitas ibu di tempat kerja.
Adapun Model Promosi Laktasi ini dibuat dengan Metode Delphi, melalui kesepakatan ahli dan mengidentifikasi tujuh komponen utama dukungan laktasi di tempat kerja, yaitu:
(1) peraturan dan kebijakan perusahaan mencakup cuti melahirkan 3-6 bulan, kebijakan waktu memompa ASI yang fleksibel selama jam kerja dan edukasi rutin;
ADVERTISEMENT
(2) fasilitas wajib yaitu ruang laktasi khusus dengan perlengkapan sesuai dengan Permenkes No.15 tahun 2013;
(3) Materi edukasi dengan 9 topik terkait manfaat dan metode laktasi, gizi untuk ibu menyusui, penanganan payudara, dan dukungan lingkungan kerja terhadap perilaku laktasi;
(4) target peserta meliputi pekerja perempuan usia produktif, hamil, menyusui, dan kembali dari cuti melahirkan;
(5) metode promosi dengan prioritas pendekatan diskusi interaktif, pemanfaatan sosial media dan konseling pribadi;
(6) SDM fokus pada peran manajemen, konselor laktasi dan dokter perusahaan;
(7) waktu mencakup jadwal konseling interaktif dan konselor laktasi di tempat kerja.
Mengutip laman FK UI, pendekatan seperti ini belum tercakup dalam peraturan pemerintah dan belum pernah dilakukan di Indonesia.
dr. I G A N Partiwi, Sp.A, MARS yang juga hadir, menambahkan, pemerintah dan seluruh pihak wajib memastikan pekerja perempuan mendapat hak dukungan laktasi di tempat kerja, sebab ini sebagai upaya membentuk masa depan bangsa yang lebih maju.
ADVERTISEMENT
"Sebagai pembanding, banyak negara lain yang telah memberi dukungan bagi ibu menyusui. Hak cuti misalnya sampai setahun, ibu bekerja mendapat jam kerja yang fleksibel, dan sebagainya." katanya
Sebagai penutup, Dr Ray menilai, ketakutan para ibu menyusui di kantor maupun pemilik perusahaan yang tidak memfasilitasi seperti telah disebutkan di atas, bisa jadi karena mereka belum mengerti seutuhnya, sehingga tidak bisa disalahkan begitu saja.
Meski begitu, dirinya bersama dokter lain dalam upaya bekerja sama dengan pemerintah dan berharap model promosi laktasi tersebut dapat diterapkan di tempat kerja.