Kenapa Bayi Tidak Pup Sampai Berhari-hari

27 Januari 2019 15:00 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:06 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Frekuensi BAB atau pup bayi tidak sama dengan orang dewasa (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Frekuensi BAB atau pup bayi tidak sama dengan orang dewasa (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Menjadi orang tua apalagi yang baru punya bayi, memang harus siap menerima berbagai kejutan dari hari ke hari. Pasalnya, ada begitu banyak hal terkait tumbuh kembang bayi yang bisa membuat kaget, bingung bahkan panik. Meski kelihatannya sederhana seperti soal frekuensi buang air besar (BAB) atau pup bayi misalnya.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit orang tua baru yang kebingungan dan khawatir karena bayinya tidak BAB atau pup sampai 2, 3, bahkan 5 hari. Sementara orang dewasa kan, umumnya BAB setiap hari.
Nah, pernahkah Anda mengalaminya, Moms? Pernahkah si kecil tidak pup atau BAB sampai berhari-hari?
Amati warna dan bentuk tinja atau pup bayi untuk mengetahui kondisi kesehatannya (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Amati warna dan bentuk tinja atau pup bayi untuk mengetahui kondisi kesehatannya (Foto: Shutterstock)
Sebelum memahami lebih lanjut apa yang terjadi, Anda perlu mengerti bahwa tinja adalah buangan sisa makanan yang tidak dicerna dan diserap tubuh. Kekeraapan tubuh membuang sisa makanan (BAB) ini, tergantung usia.
Mengutip laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan, (terutama yang disusui ibunya) buang air besar sering terjadi, bisa sampai 10 kali sehari. Ini karena refleks gastrokolika pada bayi masih kuat. Refleks gastrokolika ialah refleks tubuh yang meningkatkan pergerakan usus besar yang timbul akibat makan dan minum sehingga bayi buang air besar segera setelah makan.
ADVERTISEMENT
Tinja bayi pada usia ini normalnya tampak cair, berbusa, dan berbau asam. Hal ini disebabkan karena usus bayi belum berfungsi sempurna sehingga sebagian laktosa (gula susu) tidak dicerna dengan sempurna. Laktosa yang tidak dicerna usus halus masuk ke usus besar dan difermentasi oleh bakteri. Mirip proses fermentasi bila kita membuat tape ketan. Terbentuk gas, terlihat seperti buih. Berbau asam karena terbentuk asam-asam organik dan berbentuk cair karena terbentuk cairan akibat proses fermentasi.
Ilustrasi mengganti popok bayi. (Foto: Thinkstick)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengganti popok bayi. (Foto: Thinkstick)
Jadi sepanjang kenaikan berat badan bayi normal dan bayi tampak sehat, buang air besar yang sering, berbuih, dan berbau asam merupakan hal yang normal. Anda tak perlu khawatir, Moms. Hal ini pun biasanya akan berubah ketika bayi memasuki usia 2 bulan. Apa yang akan terjadi?
ADVERTISEMENT
Mendekati usia dua bulan, frekuensi BAB bayi akan berubah. Yang tadinya tiap hari dan sering, kini mulai jarang. Bahkan bayi bisa saja tidak BAB sampai 5-7 hari. Ini merupakan hal yang normal dan tidak berarti bayi Anda mengalami sembelit atau konstipasi.
Kenapa begitu? Fungsi saluran cerna bayi berangsur berkembang, refleks gastrokolika mulai mengendur. Ketersedian enzim laktase untuk mencerna gula susu (laktosa) mulai mencukupi sehingga laktosa mulai dicerna dengan baik, fermentasi laktosa berkurang. Namun, koordinasi otot-otot sekitar anus belum sempurna sehingga bayi sukar mengeluarkan tinja yang mulai memadat kental. Jadi, sepanjang bentuk tinja masih berbentuk pasta/lembek, buang air besar yang jarang merupakan hal yang normal.
Lain halnya bila tinja keras dan berbentuk bulat, seperti tahi kambing, ini baru tergolong sembelit atau konstipasi. Bila sejak lahir bayi sudah mengalami kesulitan buang air besar dan tinjanya keras, perlu dikonsultasikan pada dokter.
ADVERTISEMENT
Lantas, kapan frekuensi BAB si kecil akan sama seperti orang dewasa? Biasanya, anak akan BAB satu kali sehari seperti orang dewasa setelah berusia 3 tahun, Moms. Pada anak normal, buang air besar sejarang-jarangnya sekali tiap tiga hari, dan sesering-seringnya tiga kali sehari, asalkan bentuk tinjanya normal, tidak encer atau tidak keras.