Analisis Reza Indragiri Soal Perseteruan Ryan Jombang vs Habib Bahar di Lapas

20 Agustus 2021 13:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ryan Jombang (kiri) dan Habib Bahar (kanan) di Lapas Gunung Sindur. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ryan Jombang (kiri) dan Habib Bahar (kanan) di Lapas Gunung Sindur. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Perseteruan antara Habib Bahar Smith dan Ryan Jombang di dalam penjara rupanya masih berlanjut. Alih-alih selesai usai berdamai, pengacara Ryan Jombang belakangan melaporkan Habib Bahar ke Bareskrim Polri untuk dugaan penganiayaan.
ADVERTISEMENT
Ahli psikologi forensik dari UI, Reza Indragiri, berpendapat kekerasan di dalam penjara bukanlah hal istimewa, melainkan merupakan fenomena. Oleh karena itulah muncul istilah prison culture dan prison mentality.
Sehingga duel antara Ryan Jombang dan Bahar Smith, jika sebatas ditinjau dari perilaku kekerasannya, bukanlah hal yang luar biasa. Perseteruan keduanya perlu disorot dari konteks bagaimana sistem peradilan pidana secara terintegrasi menyikapi dua orang tersebut.
Setiap napi menjalani penakaran risiko dan kebutuhan (risk and need assessment) agar dapat diketahui kemungkinan ia mengulangi perbuatan pidananya.
Habib Bahar Smith memperoleh remisi. Hal tersebut tentu didahului dengan penakaran risiko dan kebutuhan. Jadi, remisi bagi Bahar dapat diartikan sebagai dua hal.
"Pertama, pembinaan telah diselenggarakan. Kedua, Bahar merespons positif terhadap program pembinaan. Dengan kata lain, pembinaan bagi Bahar berjalan efektif sehingga diyakini kecil kemungkinan ia akan mengulangi perbuatannya," ujar Reza dalam keterangannya, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ryan adalah terpidana mati. Ini pun pasti didahului proses ala penakaran risiko dan kebutuhan pula oleh hakim. Dan ketika hakim menjatuhkan hukuman mati, bahkan bukan hukuman seumur hidup, dapat dimaknai sebagai manifestasi tiga hal.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Pertama, hakim menyimpulkan amat sangat tinggi peluang si narapidana mengulangi perbuatannya. Kedua, hakim melihat tidak ada bentuk penanganan (rehabilitasi) apa pun yang akan bisa memperbaiki tabiat dan perilaku Ryan. Ketiga, hakim merasa berkepentingan untuk juga semaksimal mungkin melindungi masyarakat agar terhindar dari risiko dijahati oleh Ryan," jelasnya.
Sehingga, menurut Reza, perkelahian antara Bahar dan Ryan adalah benturan antara napi berisiko rendah dan napi berisiko sangat tinggi. Antara napi yang dinilai tidak lagi membahayakan masyarakat dan napi dengan tingkat kebahayaan maksimal.
ADVERTISEMENT
Dengan dasar berpikir itu, maka mari kita tinjau beberapa pernyataan sejumlah pihak.

Remisi Bagi Habib Bahar Perlu Dicabut

Habib Bahar saat bebas dari Lapas Pondok Rajeg Bogor, Sabtu (16/5). Foto: Dok. Azis Yanuar
Kekerasan dalam penjara adalah fenomena. Dan Bahar telah dinilai sebagai napi dengan risiko rendah. Bahwa Bahar menjadi agresif, tampaknya ada sesuatu yang memprovokasi sedemikian ekstrem yang datang dari lingkungan sekitarnya.
"Bahwa Ryan dikabarkan babak belur, ini tak lain karena Bahar ternyata lebih kuat dalam benturan tersebut, konsekuensi logis dan alami yang ada pada setiap perkelahian. Semua pihak yang cedera harus diobati. Perkelahian berikutnya harus dicegah agar tak berulang lagi," kata Reza.

Masukkan Bahar dan Ryan ke Dalam Satu Sel Agar Silaturahmi Membaik

Verry Idham Heryansyah, juga dikenal sebagai Ryan, tetap di balik jeruji sebelum persidangan di rumah tahanan pengadilan Depok-Jawa Barat di Depok pada 26 November 2008. Foto: Novi/AFP
Jangan lupa, subjek yang diperbincangkan ini bukan orang biasa yang hidup bertetangga di kampung halaman yang sama di wilayah yang elok dan permai dengan siulan burung yang berlompatan dari satu pohon ke pohon lain di pagi hari.
ADVERTISEMENT
"Perlakuan terhadap Bahar dan Ryan harus diselenggarakan secara spesifik dan optimal sesuai hasil penakaran risiko dan kebutuhan. Menyatukan dua napi, padahal mereka memiliki dua tingkat risiko yang berbeda sangat tajam, bukanlah langkah yang terbenarkan," ucapnya.
Reza mengatakan, tingkat pengamanan terhadap mereka pun harus dibedakan, dengan pengamanan maksimal dikenakan bagi napi yang berisiko sangat tinggi. Menyatukan napi berisiko rendah dan napi berisiko tinggi ke dalam satu sel justru dikhawatirkan akan menghilangkan efek rehabilitasi yang sudah berlangsung pada diri napi berisiko rendah.
"Membiarkan mereka 'bersilaturahmi' di ruang sel yang sama bahkan membahayakan keselamatan napi yang berisiko rendah," kata dia.

Gesekan Antara Ryan dan Bahar Patut Dibawa ke Ranah Pidana

Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Memang tidak dilarang. Tapi memahami bahwa prison violence merupakan fenomena, maka bagaimana otoritas penegakan hukum juga akan menindak secara pidana pelaku-pelaku perkelahian lainnya di dalam penjara.
ADVERTISEMENT
Jika pidana hanya dijalankan pada kejadian Ryan vs Bahar, maka boleh jadi sistem penegakan hukum justru akan terkesan bersikap diskriminatif. Seolah hukum hanya bekerja pada kejadian ini dan abai terhadap kejadian-kejadian serupa lainnya.
Damai sajalah di dalam penjara. Keadilan restoratif, istilahnya. Luka dikasih obat. Rehabilitasi dijalankan lagi agar kerja positif lapas bisa mengendap kembali pada diri napi berisiko rendah.
"Satu lagi. Bagi kalangan yang antihukuman mati, menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati dipandang sebagai kekejian yang tak terperi berikutnya," ucap Reza mengingatkan.
Di Amerika, pada tahun 1990, rata-rata masa tunggu antara vonis dan eksekusi adalah 95 bulan. Tapi pada 2019 naik menjadi 264 bulan atau 22 tahun.
Tidak hanya masalah bagi terpidana mati. Keluarga korban pun bisa merasakan penderitaan akibat 'iming-iming hukum' tak kunjung ditunaikan.
ADVERTISEMENT