Anggota Komisi IX DPR Desak Reformasi Program PPDS: Bully-Pemalakan, Ini Pidana!

3 September 2024 10:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Komisi IX DPR F-PKB Arzeti Bilbina. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Komisi IX DPR F-PKB Arzeti Bilbina. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Anggota DPR dari PKB, Arzeti Bilbina, menanggapi hasil investigasi kematian dr. Aulia Risma yang diduga bunuh diri karena tak tahan menjadi korban bullying.
ADVERTISEMENT
Aulia merupakan dokter yang sedang mengikuti Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestesi FK Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Terungkap fakta baru dalam investigasi yaitu adanya pemalakan oleh senior sebesar Rp 20-40 juta. Arzeti mendesak pemerintah segera melakukan reformasi sistem PPDS yang diketahui kental dengan unsur bullying.
"Perundungan di lingkungan pendidikan tidak bisa lagi dianggap sepele. Reformasi sistem pendidikan kedokteran spesialis dan pengawasan yang sangat ketat mutlak dilakukan," kata Arzeti Bilbina dalam keterangannya, Selasa (3/9).
Anggota Komisi IX ini menjelaskan, menurut investigasi Kementerian Kesehatan, uang yang ‘dipalak’ para senior ke dr. Aulia dan para juniornya dengan nominal hingga Rp 40 juta ternyata digunakan untuk menyewa jasa penulis lepas untuk membuat naskah akademik dan menggaji para OB. Arzeti mengatakan, masalah ini sudah masuk ranah pidana.
ADVERTISEMENT
"Kasus ini harus perhatian khusus karena ini bentuk pemerasan, sudah kriminal dan sangat meresahkan. Harus ada pertanggungjawaban secara pidana. Ini sangat mengkhawatirkan karena perundungan bukan lagi soal fisik dan mental, tapi pemerasan juga,” tuturnya.
Kasus dr.Aulia, kata Arzeti, menjadi tamparan keras bagi sistem pendidikan residensi dokter spesialis. Apalagi perundungan terjadi di lingkungan profesi yang sangat dihargai oleh banyak masyarakat yaitu dokter.
"Kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk berbenah. Perundungan di lingkungan pendidikan, apalagi di bidang kedokteran, sangat merusak proses pembentukan karakter dan kualitas profesional calon dokter yang akan melayani masyarakat," jelas Arzeti.
Ilustrasi uang. Foto: Shutterstock
Permintaan uang di luar biaya pendidikan yang sudah ditetapkan dinilai merupakan pelanggaran etika yang serius. Hal ini, kata Arzeti, menunjukkan adanya praktik yang tidak sehat dan merugikan banyak peserta didik spesialisasi dokter.
ADVERTISEMENT
"Permintaan uang yang tidak wajar menunjukkan adanya ketidakadilan dalam akses pendidikan. Tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan finansial yang sama, sehingga praktik seperti ini dapat menghambat mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi," ungkapnya.
Arzeti menekankan kepada pemerintah, khususnya kementerian/lembaga yang memiliki sekolah atau layanan pendidikan khusus agar menciptakan sistem pendidikan yang aman, sehat dan berkualitas.
"Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi para mahasiswa dan residen untuk berkembang, bukan menjadi sarang perundungan dan intimidasi yang merusak mental mereka," ucap Arzeti.
Surat Kemenkes soal dugaan kasus bunuh diri peserta PPDS Undip di RS Kariyadi Semarang, Agustus 2024 Foto: Dok. Istimewa

Pemerintah Perlu Evaluasi Program PPDS

Legislator dari Dapil Jawa Timur I ini mendorong pemerintah melakukan evaluasi sistem pendidikan spesialis kedokteran di Indonesia, melihat banyaknya kasus perundungan di jalur PPDS. Arzeti menilai, pengawasan dan perlindungan terhadap mahasiswa dan residen harus diutamakan.
ADVERTISEMENT
“Evaluasi harus mencakup perbaikan dalam tata kelola pendidikan kedokteran spesialis, pembentukan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif, serta penegakan aturan yang tegas terhadap tindakan perundungan,” ucap dia.
"Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa para lulusan kita siap untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Indonesia," sambung Arzeti.
Program pendidikan kedokteran spesialis harus melingkupi tentang kesehatan mental bagi semua pihak yang terlibat, termasuk untuk senior maupun pengajar. Artinya, pendidikan tidak hanya fokus pada kemampuan akademis semata.
“Isu mental health ini bukan lagi jadi sekadar wacana. Karena buktinya valid dan nyata. Dengan memperhatikan unsur mental, kita harap tidak lagi ada senior-senior yang melakukan perundungan untuk junornya. Dan mereka yang menjadi korban juga jadi punya pendampingan,” kata Arzeti.
ADVERTISEMENT
Arzeti menyoroti masalah bullying dapat berdampak pada kehidupan korban maupun keluarganya. Ayah dr. Aulia meninggal dunia tidak lama setelah kematian sang anak akibat kesehatannya menurun.
“Keprihatinan yang sangat mendalam saya ucapkan untuk keluarga korban. Buat saya hal ini lebih dari masalah pelanggaran, karena ada satu keluarga yang harus menanggung luka dan kesedihan atas tindakan bullying orang lain,” kata Arzeti.
“Membayangkan seorang ayah merasakan kepedihan karena ditinggal buah hatinya, dan tahu anaknya diperlakukan tidak baik sampai kesehatan beliau menurun, itu benar-benar menyayat hati. Sistem yang salah di PPDS menyebabkan duka di tengah masyarakat,” imbuh ibu 3 anak itu.
Kasus kematian dr. Aulia Risma masih ditangani dan diselidiki Polda Jawa Tengah. Polda dan Kemenkes masih berkoordinasi untuk mengungkap perundungan yang dialami oleh peserta PPDS anestesi itu.
ADVERTISEMENT
Arzeti menilai, reformasi pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan pihak independen, untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung kualitas akademik yang tinggi.
“Perbaikan yang dilakukan harus transparan dan bisa diakses oleh publik. Masyarakat berhak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dan institusi pendidikan untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan," tutur Arzeti.
Arzeti menyebut, perundungan dapat berdampak jangka panjang bagi korban sehingga perlu ada pendampingan khusus untuk korban bullying agar pulih lebih cepat.
"Bahayanya bullying ini bisa berdampak jangka panjang di mana orang tersebut akan mengalami trauma. Budaya ini harus diberantas, selain itu perlu adanya pendampingan khusus bagi korban bullying agar pulih lebih cepat," ucap anggota BKSAP DPR RI itu.
ADVERTISEMENT

Masih Banyak Kasus Bully di Lingkungan PPDS

Pemerintah dalam hal ini Kemenkes mengakui masih banyak kasus bullying dan perundungan di lingkungan PPDS. Dari data Kemenkes hingga Agustus 2024, diketahui ada 234 laporan perundungan di PPDS dengan program studi (prodi) penyakit dalam menjadi yang paling banyak.
Dari data Kemenkes diketahui ada 399 dokter yang mengalami depresi dengan kategori berat dan berniat mengakhiri hidup berdasarkan survei di lingkungan PPDS. Kemenkes mengungkap, dr. Aulia menjadi salah satu peserta PPDS yang ikut dalam penelitian, dan hasilnya almarhumah mengalami depresi akibat perundungan dari para seniornya.
“Data-data ini kan sudah jelas ya. Maka tidak perlu lagi ada pihak-pihak yang melakukan pembelaan diri, apalagi sampai menutup-nutupi budaya perundungan di lingkungan PPDS. Sekarang waktunya berbenah, karena mata rantai perundungan harus diputus,” tutur Arzeti.
ADVERTISEMENT
Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan juga meminta Kemenkes memberikan sanksi tegas bagi lembaga pendidikan yang memfasilitasi program PPDS jika terbukti ada perundungan. Arzeti mengatakan, masalah bullying.