Apa Itu Awan Cumulonimbus dan Bahayanya Bagi Dunia Penerbangan

15 Januari 2021 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pesawat terbang. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesawat terbang. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Perairan Kepulauan Seribu menjadi peristiwa mengejutkan bagi Indonesia di tahun 2021. Sebanyak 62 penumpang termasuk kru pesawat menjadi korban dalam tragedi penerbangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyak yang mengaitkan kecelakaan pesawat dengan masalah cuaca. Tak hanya ketika cuaca buruk, saat langit dipenuhi dengan awan pun, pilot harus tetap waspada dengan insiden yang di luar dugaan.
Salah satu hal yang paling dihindari oleh pilot dan dianggap cukup membahayakan di saat terbang adalah awan cumulonimbus. Awan ini tergolong pada awan rendah namun berbahaya. Awan ini berada di ketinggian rendah, gumpalannya sangat besar, dengan lebar bisa mencapai 1-10 km dan tinggi 10-17.000 km.
Awan hitam Cumulonimbus bergelayut di langit Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (22/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Awan ini mendominasi wilayah Indonesia yang termasuk wilayah dengan banyak uap air. Bila musim hujan, uap air ini akan bertambah lebih banyak lagi.
Awan ini memiliki sifat berada di ketinggian rendah dengan gumpalan sangat besar dan umumnya berwarna gelap. Awan cumulonimbus dianggap berbahaya karena mengandung arus listrik disertai golak­an udara sangat dahsyat. Di dalam awannya sendiri dapat terjadi badai yang sangat hebat.
ADVERTISEMENT
Pengamat Atmosfer dan Meteorologi dari SMKG Deni Septiadi mengatakan, saat Sriwijaya Air SJ 182 mengalami kecelakaan, di sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, terdapat awan cumulonimbus.
Ilustrasi pesawat Sriwijaya Air di landasan pacu Foto: Shutterstock
Ia mengatakan, berdasarkan hasil analisis citra satelit di sekitar bandara telah terbentuk sel awan yang cukup besar, dengan radius mencapai 15-20 km dan suhu puncak awan-75 hingga-80 derajat celsius.
"Dan kalau kita analisis berdasarkan mikro struktur awan yang matang, awan yang matang paling tidak membutuhkan suhu paling tidak-40 derajat celsius untuk aktif," ujar Deni dalam video yang diunggah di channel YouTubenya, Jumat (15/1).
Dan awan-awan yang tadi terjadi sudah jauh di ambang batas ini, dengan potensi produk yang dihasilkan adalah curah hujan ekstrem, kemudian angin puting beliung, dan mungkin yang paling parah adalah microburst.
ADVERTISEMENT
Untuk diketahui, Microburst merupakan angin berkecepatan tinggi yang turun (downdraft) dari bawah awan kumulus yang berpotensi hujan dan tak kasat mata.
Lalu, bahayakah awan sel cumulonimbus ini? Deni mengatakan, bahaya dari awan jenis ini ketika pesawat melewati bagian bawah awan, kemungkinan adanya aliran udara yang keluar dari bagian bawah awan dengan kecepatan mencapai 100 km/jam.
Awan hitam Cumulonimbus bergelayut di langit Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (22/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
"Fenomena ini kita kenal dengan fenomena microburst yang dapat membuat pesawat terjerembab dan kehilangan kendali sehingga mengalami stall, atau mengalami malfungsi. Di samping adanya crosswind dan low level wind shear di sekitar bandara," jelasnya.
Kemudian bahaya yang perlu diwaspadai adalah petir jenis cloud to ground yang mungkin pabrikan Boeing atau Airbus memiliki statistic discharge yang mampu mengalirkan arus berlebih dari petir.
ADVERTISEMENT
"Tapi ingat bahwa satu sambaran petir bisa mencapai suhu 30 ribu derajat celsius. Ini yang harus kita waspadai kalau tidak ingin celaka," ucap Deni.
Kalau pesawat melewati bagian tengah dari sel awan ini, kata Deni, potensi bahaya yang terjadi adalah turbulensi hebat, di samping petir jenis intra cloud yang 80 persen paling banyak dari jenis petir yang ada.
"Bahaya berikutnya ketika pesawat melewati puncak awan, yang semua partikelnya berada dalam bentuk es adalah adanya icing. ini perlu kita waspadai demi keselamatan penerbangan," ucapnya.
Ilustrasi pesawat tengah terbang Foto: Shutter Stock
Bila awan jenis ini berbahaya, mengapa pesawat di sekitar Sriwijaya Air SJ 182 tidak mengalami hal yang sama?
Deni mengatakan, ada 3 faktor penyebab terjadinya kecelakaan di dunia penerbangan. Pertama faktor human atau pilot atau percakapan dr pilot itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah faktor weather, dan yang ketiga faktor malfunction atau kegagalan mesin atau sistem pesawat itu sendiri.
"Dari 3 faktor tersebut, dari hasil investigasi baik yang dilakukan di dalam negeri ataupun di luar negeri, hampir kebanyakan tidak menjadikan cuaca sebagai faktor primer terjadinya kecelakaan," ungkap Deni.
Lalu apakah ada kemungkinan SJ 182 jatuh karena cuaca?
Deni mengatakan, cuaca tidak serta merta menjadi faktor utama kecelakaan di dunia penerbangan.
"Namun banyak kecelakaan di dunia penerbangan yang berasosiasi dengan cuaca yang buruk. Untuk itu kita tetap tingkatkan kewaspadaan demi meminimalisir kecelakaan di dunia maritim di Indonesia," tutupnya.