Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menkopolhukam Wiranto mengumumkan hal tersebut, sambil berjanji pembubaran ormas Islam yang anggotanya tersebar di 34 provinsi itu tidak akan berjalan sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
“Membubarkan tentu dengan langkah hukum. Oleh karena itu akan ada proses pengajuan ke pengadilan. Jadi fair,” ujar Wiranto di kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (8/5).
Berbagai respons mencuat akibat pelarangan HTI ini. Beberapa organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mendukung, sementara tak sedikit pihak lain yang menganggap langkah pemerintah itu tak punya dasar jelas.
Hizbut Tahrir sendiri telah beroperasi di puluhan negara. Tanggapan atas organisasi itu beragam. Ada yang membiarkan, namun tak jarang pula dibubarkan oleh pemerintah. Alasan pembubarannya pun bervariasi, dari tuduhan melakukan kudeta, dugaan terlibat aktivitas militan, dan mengancam perdamaian. Intinya: membahayakan negara.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, tak semua pelarangan atas Hizbut Tahrir berbuntut manis. Pelarangan-pelarangan itu justru kerap mendatangkan reaksi balik yang buruk (backlash) kepada pemerintahan negara terkait.
Contohnya yang terjadi pada Uzbekistan.
Negara kedelapan yang memisahkan diri dari Uni Soviet itu memiliki sejarah yang runyam dengan Hizbut Tahrir. Resmi lepas dari Uni Soviet sejak 1 September 1991, situasi dalam negeri Uzbekistan menyediakan ladang subur bagi perkembangan paham dan kelompok-kelompok agama baru, tak terkecuali Hizbut Tahrir.
Layaknya yang digambarkan dengan baik oleh Ihsan Yilmaz dalam jurnalnya berjudul The Varied Performance of Hizbut Tahrir: Success in Britain and Uzbekistan and Stalemate in Egypt and Turkey, pecahnya Soviet menciptakan kondisi theological dan ideological vacuum bagi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Ketika rezim Soviet yang melarang tumbuh kembangnya agama hengkang dari tanah Uzbek, masyarakatnya yang berada pada situasi politik tak menentu dan keadaan ekonomi payah, betul-betul kelabakan mencari pegangan hidup.
Dari situ, kelompok-kelompok agama --dari yang rahmatan lil ‘alamin hingga radikal ekstrem-- masuk dan berhasil menggaet massa dari masyarakat Uzbek yang tengah terombang-ambing.
Perkembangan kelompok-kelompok muslim di Uzbekistan saat itu dapat digambarkan dengan catatan statistik berikut: sebelum lepas dari Soviet, hanya ada 89 masjid di Uzbekistan. Angka tersebut naik menjadi 5.000 dalam setahun setelah Uzbekistan berdiri sebagai negara independen.
Institusi keagamaan pun demikian. Sebelumnya hanya ada 119 institusi keagamaan di Uzbekistannya Soviet. Namu hanya dalam satu dekade, angka tersebut naik menjadi 2.000.
Mau-tak mau, ledakan angka masjid dan institusi keagamaan di Uzbekistan, negara baru yang rapuh, membuat klerik atau ahli agama dari luar negeri, masuk ke negeri itu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Uzbek pun tak peduli ajaran apa yang masuk, dan menganggap banyak cabang agama sebagai hal yang sama saja. Di situlah Hizbut Tahrir masuk dan mengisi kekosongan ideologis dan kehampaan ketuhanan tersebut.
Tak hanya mengisi kebutuhan religius, kampanye Hizbut Tahrir di Uzbekistan membawa isu ketimpangan sosial, kritik terhadap tingginya tingkat korupsi pemerintah, dan protes terhadap kerasnya sikap pemerintah terhadap muslim di Uzbek.
Pemerintah Uzbekistan, yang tak tahu cara lain menghadapi kritik, lantas menggunakan kebijakan keras terhadap Hizbut Tahrir. Sejak tahun 1998, pemerintah sudah mulai menarget beberapa tokoh Hizbut Tahrir.
Terlebih setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Karimov pada Februari 1999 --yang oleh pemerintah Uzbekistan diduga dilakukan oleh “Islamic terrorist”.
ADVERTISEMENT
Dari situ, penangkapan dan tindakan represif dari pihak keamanan Uzbekistan terus meningkat. Tindakan aparat yang agresif memaksa aktivitas Hizbut Tahrir berpindah ke sebelah selatan Kirgizstan. Anggota Hizbut Tahrir pun bergerak secara klandestin atau sembunyi-sembunyi.
Tak sampai di situ, aktivitas Hizbut Tahrir yang sembunyi-sembunyi lalu memunculkan problem lain.
Meski telah dilarang keberadaannya, Hizbut Tahrir menjadi kelompok yang paling bertanggung jawab atas beberapa serangan teroris seperti ledakan di Kedutaan Besar Israel dan Amerika Serikat tahun 2004 --berdasarkan versi informasi resmi pemerintah Uzbekistan.
Hal itu disampaikan oleh Presiden Karimov, yang menyebut bahwa Hizbut Tahrir yang bergerak di bawah tanah bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Dalam sebuah siaran resmi televisi, Karimov menyebut para teroris itu membawa ide-ide ajaran Hizbut Tahrir, dan bahwa Hizbut Tahrir punya kontribusi besar dalam perkembangan terorisme di Uzbekistan.
ADVERTISEMENT
Tuduhan tersebut langsung ditolak oleh Hizbut Tahrir cabang Inggris. Dilansir dari penelitian yang sama oleh Ihsan Yilmaz, Hizbut Tahrir Inggris menolak anggapan keterlibatan kelompoknya dalam serangan-serangan tersebut.
Karimov kemudian bergerak lebih jauh dengan mendorong negara-negara Eropa untuk melarang keberadaan kelompok yang sama di masing-masing negara.
Ajakan tersebut pada awalnya tak dihiraukan sama sekali --andai kata tak terjadi serangan bom bunuh diri oleh militan Islam di London, Juli 2005. Akibatnya, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, sempat mengupayakan pelarangan Hizbut Tahrir meski pada akhirnya gagal.
Terdapat keengganan yang nyata dari negara-negara Barat untuk melarang Hizbut Tahrir.
Hingga saat ini, negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia tidak mau melarang Hizbut Tahrir. Padahal, visi Hizbut Tahrir di manapun ia berada adalah sama: menggantikan pemerintahan yang ada ke syariah Islam.
ADVERTISEMENT
Desakan untuk membubarkan Hizbut Tahrir di negara-negara tersebut terus ada. Bahkan di Inggris, Perdana Menteri Tony Blair telah beberapa kali mengajukan rencana tersebut.
Namun, selain untuk mempertahankan kebebasan berserikat yang dijamin dalam sistem demokrasi, ada ketakutan dari pemerintahan negara-negara tersebut bahwa pelarangan hanya akan membawa dampak keamanan lebih buruk.
Berkaca pada pengalaman negara-negara lain, bukan berarti kegiatan Hizbut Tahrir yang dilarang akan betul-betul berhenti. Justru, kegiatan mereka akan berpindah ke bawah tanah atau sembunyi-sembunyi, seperti dicontohkan pada kasus Uzbekistan di atas.
Model gerakan yang sembunyi-sembunyi ini justru memberikan ancaman lebih besar untuk negara. Dengan bergerak di bawah tanah, pengawasan pihak keamanan terhadap aksi Hizbut Tahrir akan lebih sulit lagi. Padahal, sukar sekali mendeteksi sebuah gerakan yang hanya mengandalkan ide dan propaganda.
Alasan tersebut pernah diungkapkan oleh Rodger Shanahan, ahli politik Islam dari Lowy Institute, Australia. Ia tak menyetujui rencana Tony Abbott yang ingin melarang Hizbut Tahrir di Australia.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang yang pernah menjadi anggota organisasi ini hanya akan membuat organisasi lain dengan nama yang berbeda, namun dengan misi yang sama. Sangat sulit melawan sebuah ide yang tak Anda setujui namun juga tidak ilegal,” ucapnya dalam wawancara bersama Radio ABC .
Seperti yang disebutkan di awal, Hizbut Tahrir berkeras menolak penggunaan kekerasan, apapun bentuknya. Lalu, ketika Hizbut Tahrir bergerak di bawah tanah dan mereka tak menggunakan senjata, bagaimana cara pihak berwenang memonitor tindakan mereka?
Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, mengingat peluru biasa tak bisa menembus benteng ide dan argumentasi.
Memang betul ada strategi khusus untuk memenangkan war of ideas, seperti dijelaskan secara bernas oleh James K. Glassman di sini . Namun beberapa negara seperti Inggris dan Australia memilih untuk tidak melarang Hizbut Tahrir --dan organisasi Islam garis keras sejenis-- secara gegabah.
ADVERTISEMENT
Bahkan, negara seperti Jerman melarang keberadaan Hizbut Tahrir bukan karena alasan menganam demokrasi, namun lebih kepada kampanye anti-semit kelompok tersebut yang terus-menerus menyerang kaum Yahudi.
Amat wajar jika banyak pihak mempertanyakan apakah pembubaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Hizbut Tahrir Indonesia adalah suatu langkah yang bijak.
Sejak masa Orde Baru, Hizbut Tahrir Indonesia sudah ada. Pun, strategi gerakan yang menyerupai jaringan bawah tanah Revolusi Bolshevik pada awal abad-20 itu sudah menjadi akar dan ciri gerakan mereka sedari awal terbentuk.
Kini, hampir mustahil berharap para anggota HTI akan dengan ikhlas menutup gerakan setelah pelarangan oleh pemerintah ini.