Bagaimana Perkembangan Media Dahulu dan Kini? Yusuf Arifin Punya Jawaban

26 Agustus 2020 20:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chief of Storyteller Officer kumparan, Yusuf Arifin di acara Kopdar Teman kumparan with Coca-cola dengan tema "Mendaur ulang, mendulang uang" di FX Sudirman, Jakarta, Minggu (29/9/2019). Foto: Irfan Adi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Chief of Storyteller Officer kumparan, Yusuf Arifin di acara Kopdar Teman kumparan with Coca-cola dengan tema "Mendaur ulang, mendulang uang" di FX Sudirman, Jakarta, Minggu (29/9/2019). Foto: Irfan Adi/kumparan
ADVERTISEMENT
Chief of Storyteller kumparan Yusuf Arifin berbagi pengalaman. Di tengah industri kreatif yang banyak diperbincangkan, khususnya media, ada satu perubahan besar dahulu dan sekarang.
ADVERTISEMENT
Media tentu mesti mengikuti perkembangan. Bila tidak akan tergilas roda zaman.
Yusuf Arifin atau akrab disapa Dalipin, salah satu tokoh pers di Indonesia, memaknai kreatif menjadi 3 bagian yang ia tarik dari sebuah perjalanan panjang.
Bermula dari obrolan antarmahasiswa dan seniman di Malioboro hingga usahanya kolektifnya membangun beberapa media di Indonesia.
"Proses kreatif itu ada tiga. Pertama, ada observasi terhadap suatu masalah, lalu kita mencari solusinya, terakhir tinggal eksekusinya mau bagaimana," kata Dalipin pada webinar yang diselenggarakan job2go, Rabu (26/8).
Tiga langkah itu ia temukan selepas ia lulus kuliah, pada dekade 90-an. Saat ia menerima ajakan dari Eros Djarot untuk membangun tabloid Detik.
Dalipin sempat berkelakar, ia memilih jalan menggelandang dan meninggalkan pekerjaan sebagai peneliti di sebuah perusahaan Jepang kala itu.
ADVERTISEMENT
"Itu keputusan bodoh yang saya ambil, karena saya sebetulnya dapat beasiswa dari Jepang, dan saya memilih menggelandang, memilih mendirikan media baru bersama Mas Eros Djarot, itu tabloid Detik, 14 bulan (kemudian) diberedel oleh (Menpan) Pak Harmoko," kata Dalipin.
Tabloid Detik merupakan jawaban atas 2 kiblat besar media di Tanah Air kala itu, yaitu Tempo dan Kompas. Keduanya menjadi asupan informasi yang bagus bagi masyarakat, sayangnya, dua media itu menggunakan kata yang sukar dipahami atau 'ndakik-ndakik' dan bersayap. Akibatnya, Dalipin merasa hanya kaum menengah ke atas saja yang bisa memahami isi berita dari 2 media tersebut.
Chief Storyteller Officer Kumparan Yusuf Arifin (tengah) . Foto: Meiliani/kumparan
"Padahal, permasalahan politik di Tanah Air itu harus dipahami semua lapisan. Agar masyarakat bisa memberikan kritik, bisa berpendapat, dan membuat negara lebih baik," kata Dalipin.
ADVERTISEMENT
Observasi mereka terhadap Tempo dan Kompas melahirkan suatu pakem bagi tabloid Detik. Mereka harus menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, menabrak persoalan sensitif, dan murah. Detik akhirnya diproduksi, tanpa pemasukan dana dari iklan. Redaksi mereka pada awal mula hanya mencetak 10.000 eksemplar.
"Dalam kurun waktu 14 bulan sampai akhirnya diberedel, Detik sudah mencetak sekitar 520.000 eksemplar," kata Dalipin.
Meski diberedel, Dalipin terus meneruskan jalan sebagai seorang jurnalis. Ia sempat bekerja di media asing ABC dan BBC yang berbasis di Inggris, sebelum bergabung dengan tim Public Relations Manchester City.
Dalipin justru merasa kurang sreg tergabung dengan raksasa sepakbola Eropa ini. Pasalnya, tak ada tuntutan yang membuatnya tetap kritis.
"Saya punya kesempatan pindah profesi ketika saya berumur 44-45, tapi bertahan 10 bulan, dan saya kerja untuk Man City, saya jadi kayak PR begitu, dan tidak dituntut untuk kritis, tidak dituntut macem-macem. Betul-betul udah datang jam 9 pulang jam 5, ibaratnya ya, datang jam 9 pulang jam 5 dapat gaji, tinggal nunggu dapat pensiun," ucapnya.
Media sosial menjadi salah satu tempat paling berpengaruh untuk menjalankan strategi pemasaran. Foto: Shutterstock
Dalipin akhirnya pulang ke Indonesia. Ia turut mendirikan CNNIndonesia.com. Ia menjadi salah satu karyawan pertama, yang juga harus menentukan kebijakan redaksi sekaligus mencari pegawai. Posisi pemred diembannya. Tak lama berselang, dia kembali pindah haluan.
ADVERTISEMENT
Ada satu pertanyaan besar bagi Dalipin, ia mencermati survei dari Kemenkominfo pada tahun 2016. Survei tersebut berbicara tentang peningkatan penggunaan media sosial di Indonesia yang tidak diiringi dengan minat baca di media online.
Dalipin lantas berkisah tentang kumparan.com. Media ini lahir untuk mendamaikan atau mengawinkan konsep media sosial dengan kaidah media online agar menjawab pertanyaan dari survei Kemenkominfo yang menggelitiknya.
kumparan juga menjadi jawaban atas media online yang tidak cukup bereaksi terhadap perkembangan algoritma dari Google, tidak melihat maraknya citizen journalism, dan tidak melihat media sosial.
"Kita harus beri ruang, agar cara berpikir di media sosial itu terwadahi, ada banyak penulis yang masuk dan mereka bisa memuat sendiri tulisannya selama itu terjaga, kita ada kurasi. Kita ada media daerah, kita bangkitkan, kalian tidak usah bikin medianya, atau platformnya tinggal naikkan di kita," kata Dalipin.
Ilustrasi Media Sosial. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Di kumparan, Dalipin juga terus memantau perkembangan media online. Sebagai Chief of Storyteller, ia sempat terkejut ketika ada rekan kantor yang menegurnya. Bahwa tulisannya yang bagus, tidak akan menarik banyak pembaca. Persoalannya satu, tulisannya tidak memenuhi syarat search engine optimization (SEO). Sebuah algoritma yang membuatnya merasa takluk.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak punya jawaban, tapi generasi sekarang harus menemukan cara membuat tulisan yang bagus, dan berdamai dengan SEO. Kalian yang harus pinter-pinter menemukan solusinya, jadi kalau ditanya ya kalianlah yang menemukan. Itu salah satu kreativitas yang dipertemukan, kalau mau kreatif ya itulah, menemukan cara, observasi, dan mendamaikan tulisan yang baik dengan SEO," pungkas Dalipin.