Bekas Koruptor: Mengaku Korban, Menolak Aturan

10 September 2018 9:26 WIB
M Taufik (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
M Taufik (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Kalau KPU nggak melaksanakan keputusan Bawaslu, saya gugat ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Kalau nggak, saya gugat lagi pidana, saya gugat lagi perdata,” ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik, dengan menggebu kepada kumparan, Rabu (5/9).
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu bukan gertak sambal. Ia sungguh-sungguh melaporkan seluruh jajaran komisioner KPU dan KPU DKI Jakarta ke DKPP pada Jumat (7/9). Alasannya karena KPU menunda putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan namanya sebagai bakal calon legislatif DPRD DKI Jakarta 2019-2024.
Penundaan putusan tersebut menjadi batu sandungan baginya yang tengah mengejar posisi Ketua DPRD di Jakarta tahun depan. Segala daya upaya pun ia coba demi membuka kembali pintu kesempatan pencalonan dirinya sebagai wakil rakyat.
Nama M. Taufik sebelumnya dicoret oleh KPU, ia dinilai tidak memenuhi syarat karena merupakan bekas narapidana kasus korupsi. Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta sejak 2008 ini sempat mendekam selama 18 bulan di penjara pada 2004. Ia tersangkut kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu ketika menjabat Ketua KPU DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Tak terima namanya dicoret, Taufik kemudian mengadu ke Bawaslu. Tak hanya itu, ia juga mengajukan gugatan atas Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung terkait pasal 4 ayat 3 yang memuat komitmen partai untuk tidak mengajukan mantan napi koruptor sebagai caleg.
Seluruh upaya Taufik terhitung ganjil. Sebab, kakak Mohamad Sanusi--terpidana kasus suap reklamasi Teluk Jakarta--itu dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPD Gerindra Jakarta, menandatangani Pakta Integritas yang menjamin partainya tidak mencantumkan bekas napi koruptor, kejahatan seksual, atau pengedar narkoba sebagai bakal calegnya.
Tapi, hanya ia seorang yang terpental dari Daftar Caleg Sementara Gerindra karena rekam jejaknya sebagai koruptor. “Masa lalu ya masa lalu. Cek saja, dulu saya dituduh korupsi apa. Cuman karena saya ketua (Ketua KPU DKI Jakarta 2004), ya saya tanggung jawab,” kata Taufik.
Form Pakta Integritas Gerindra DKI Jakarta (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Form Pakta Integritas Gerindra DKI Jakarta (Foto: Dok. Istimewa)
Bagi Taufik, salah satu tokoh pendiri Gerindra di Jakarta, KPU tidak memiliki hak untuk membunuh karier politik yang telah ia bangun sejak satu dekade lalu. “KPU enggak ada kewenangannya membuat norma hukum, melarang orang (eks-napi korupsi nyaleg). Pelarangan itu hanya boleh lewat pengadilan dan undang-undang.”
ADVERTISEMENT
Apalagi ia merasa telah memiliki pemilih setia di wilayah Tanjung Priok, Pademangan, dan Penjaringan, Jakarta Utara. “Tanya aja sama anggota DPRD sini, aspirasi masyarakat kan saya perjuangkan.”
Lika-liku Aturan KPU soal Caleg Koruptor (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lika-liku Aturan KPU soal Caleg Koruptor (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Tak jauh berbeda dengan M. Taufik, mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati mengambil langkah serupa dengan menggugat PKPU 20/2018 ke Mahkamah Agung.
Mantan terpidana kasus suap dana infrastruktur daerah dan pencucian uang sebesar Rp 50,5 miliar ini tengah berjuang membangun kembali karier politiknya. Selepas menjalani vonis 6 tahun penjara sejak 2012, Wa Ode pernah mencoba maju di Pemilu Gubernur Sulawesi Tenggara lewat jalur independen, namun batal.
Kini ia kembali berupaya duduk di kursi dewan, namun terhalang aturan dalam PKPU yang baru. Maka, setelah tahu PAN--partai yang menaunginya selama ini--kudu mencoret namanya dari daftar bacaleg, Wa Ode tak tinggal diam.
ADVERTISEMENT
“Kami, komunitas yang sedikit ini merasa digempur, merasa terpinggirkan, dikorbankan,” ujar Wa Ode. Baginya, isi PKPU telah melanggar sejumlah aturan mulai dari UU Pemilu, UU HAM, dan UU Tipikor.
“Saya berharap Mahkamah Agung tidak kemudian terprovokasi opini yang masif sedemikian rupa membantai masa lalu perilaku mantan koruptor.” ujar Wa Ode. Jika Mahkamah Agung tak kunjung mengeluarkan putusan, Waode bersiap untuk mengajukan gugatan pidana. “Pokoknya sebelum keluar Daftar Caleg Tetap,” tegasnya.
M. Taufik dan Waode hanyalah salah dua dari puluhan bacaleg eks koruptor yang menolak aturan PKPU. Dari 199 bakal caleg terpidana korupsi, Bawaslu telah meloloskan 34 eks koruptor untuk tetap nyaleg di 23 daerah.
ADVERTISEMENT
Gerindra menjadi partai yang paling banyak menawarkan eks koruptor sebagai calon legislator mereka, yakni 5 orang. Disusul kemudian PAN dan Golkar, masing-masing 4 orang.
Caleg eks-Koruptor Diloloskan Bawaslu (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Caleg eks-Koruptor Diloloskan Bawaslu (Foto: Dok. Istimewa)
Majunya para mantan terpidana koruptor ini tak bisa lepas dari kelindan persoalan kaderisasi dan rekrutmen calon di tubuh parpol. Meski memiliki noda dalam rekam jejaknya, partai tak bisa begitu saja membuang para eks koruptor ini.
Misalnya saja Sumi Harsono yang juga dicoret KPU, dan kini tengah menggugat ke Panwaslu. Bakal caleg PDIP Sidoarjo ini pernah terjerat kasus korupsi anggaran peningkatan kualitas sumber daya anggota DPRD ketika menjadi anggota dewan periode 1999-2004. Dinilai merugikan negara sebesar Rp 21 miliar, ia dibui selama satu tahun pada 2009.
ADVERTISEMENT
Selepas dari penjara, ia berhasil terpilih kembali menjadi anggota dewan DPRD Sidoarjo periode 2014-2019. Salah satu modal yang dimiliki Sumi adalah posisi sebagai Ketua Pembina Pedagang Kaki Lima se-Kabupaten Sidoarjo yang menjadi basis pemilihnya.
Baginya, alasan seorang caleg dipilih partai atau kemudian rakyat adalah karena figur dan uang. “Kalau figurnya enggak kuat, itu berarti alasannya duit. Duitnya harus ada,” jawab Sumi ketika dihubungi kumparan, Jumat (7/9).
Contoh lain adalah sosok Teuku Muhammad Nurlif yang terpaksa harus dicoret Golkar sebagai bakal caleg DPR RI mendatang. Meski pernah tersangkut kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom pada 2004, Nurlif memiliki sederet catatan karier yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Mantan anggota BPK serta jabatan sebagai sekjen Pemuda Pancasila Aceh sejak 1996 menjadi bekal Nurlif terpilih jadi Ketua DPD Golkar Aceh. Dengan modal itu pula ia bisa duduk sebagai anggota DPR selama dua periode berturut-turut.
“Nurlif itu memang kader yang dipilih DPD kabupaten kota. DPP enggak bisa seenaknya mencoret nama yang berasal dari kekuatan arus bawah,” kata Wasekjen Golkar Ace Hasan Syadzily kepada kumparan, Sabtu (8/9).
“Sebagai ketua DPD Provinsi tentu beliau memiliki kekuatan massa yang signifikan. Kita ingin partai menang,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Jawaban serupa juga diberikan oleh Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria atas banyaknya caleg eks koruptor yang diajukan oleh partai berlambang garuda ini.
“Gerindra (pusat) membuat aturan. Tapi menjadi kewenangan DPC dan DPD masing-masing untuk melakukan seleksi. Puluhan ribu. Kan kita di DPP enggak bisa lihat satu-satu,” kilahnya.
Bagi Riza, majunya eks koruptor menjadi caleg Gerindra di daerah berada di luar kewenangan pengurus pusat. Pengurus pusat, di bawah komando Prabowo Subianto, hanya sebatas mampu mengimbau.
Jika kemudian mereka menggugat KPU, menurut Riza, “Itu sudah jadi kasus pribadinya dia. Dia punya hak sebagai warga negara.”
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Keengganan partai untuk terlibat aktif dalam seleksi bakal calon legislatif bertolak belakang dengan semangat yang dibawa dalam PKPU 20/2018. Sebab aturan itu mensyaratkan komitmen parpol untuk tidak mengajukan calon dengan rekam jejak suram melalui Pakta Integritas sebagai syarat pengajuan calon.
ADVERTISEMENT
“Kan mestinya parpol jadi mesin penyaring, sehingga yang lolos itu hanyalah orang-orang yang punya rekam jejak dan integritas baik. Tapi ternyata gagal melakukan itu,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat dihubungi kumparan, Jumat (7/9).
Persoalan itulah, menurut Titi, yang melahirkan urgensi aturan lebih lanjut dalam rekrutmen politik yang kemudian dituangkan dalam PKPU 20/2018. Pada dasarnya KPU tidaklah melarang orang per orang, namun menjalin komitmen bersama dengan partai politik agar menyodorkan calon-calon terbaiknya untuk dipilih.
“Praktiknya kan selama ini rekrutmen itu sangat tertutup, elitis, dan hanya melibatkan segelintir orang,” tutur Titi. Baginya, rekrutmen politik tidak bisa ditempatkan sebagai urusan privat atau internal partai semata.
Titi menegaskan, rekrutmen politik adalah masalah publik. “Karena yang akan diisi oleh kader-kader partai itu adalah jabatan publik yang mengatur hajat hidup orang banyak.”
ADVERTISEMENT
------------------------
Simak selengkapnya Awas Caleg Koruptor! di Liputan Khusus kumparan.