Belajar dari Korsel Terapkan Ekonomi Sirkular Lewat Sistem EPR

8 Desember 2022 17:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sampah plastik menumpuk di fasilitas pemilahan dan daur ulang Lebanon Waste Management di Bauchrieh, Lebanon. Foto: Issam Abdallah/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Sampah plastik menumpuk di fasilitas pemilahan dan daur ulang Lebanon Waste Management di Bauchrieh, Lebanon. Foto: Issam Abdallah/REUTERS
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini tengah mempersiapkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Salah satu konsep yang disiapkan pemerintah untuk IKN adalah ekonomi hijau berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar Widyasanti mengakui ekonomi sirkular memang menjadi perhatian pemerintah Indonesia untuk menuju ekonomi hijau. Apalagi, ekonomi hijau termasuk dalam Visi Indonesia 2045.
“Kita diharapkan untuk bisa lepas dari negara berpenghasilan menengah di 2043. Tapi setelah COVID-19, kita ingin mencapai ambisi kita untuk bisa lepas dari negara berpenghasilan menengah di 2043. Dengan demikian, Indonesia butuh memiliki pertumbuhan tinggi di masa depan dan lima persen tidak cukup,” kata Amalia dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korean dengan tema ‘Indonesia-Korea Cooperation: Synergizing a Path Towards a Circular Economy’ di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta Pusat, Selasa (8/11).
Di kuartal ketiga 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74% year on year. Meski ini merupakan pencapaian Indonesia bisa pulih di tengah ketidakpastian global karena pandemi hingga krisis pangan dan energi, Amalia menyebut Indonesia tetap harus mempersiapkan strategi untuk mendesain kembali transformasi ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Kita memiliki enam strategi untuk pembangunan masa depan yang lebih baik dan sebetulnya game changer untuk menuju Visi Indonesia 2045. Di antara enam strategi itu ada ekonomi hijau. Di ekonomi hijau ada low carbon economy, transisi energi, dan ekonomi sirkular,” ungkapnya.
Amalia menyebut pemerintah optimistis bisa berpindah dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular. Sebab dengan ekonomi sirkular, negara bisa menjaga lingkungan dan mengurangi sampah. Tak hanya itu, pemerintah bisa menggunakan sumber daya alam secara efisien.
“Indonesia berkomitmen untuk mengurangi karbon emisi sebesar 29% atau kita bisa mencoba untuk mencapai 41% lewat bantuan internasional melalui NBC, dan yang lain adalah dengan mengimplementasikan konsep ekonomi sirkular kita tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi dan mencapai agenda keberlanjutan, tapi kita juga ingin memberikan kemakmuran untuk masyarakat dan juga keamanan dan kesehatan generasi masa depan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk pembangunan IKN dan penerapan ekonomi hijau, Indonesia bekerja sama dengan Korea Selatan dalam berbagai area. Salah satunya adalah pengembangan infrastruktur wastewater atau air bekas pakai atau air limbah.
Korsel memang terkenal dengan infrastruktur daur ulangnya. Masyarakat Korsel bahkan terkenal sejak dini biasa memisahkan limbah rumah tangga yang kemudian akan diangkut pemerintah untuk didaur ulang dan menjadi produk yang bermanfaat untuk pembangunan infrastruktur hingga kembali menjadi produk rumah tangga.
Direktur Pusat Lingkungan Hijau Daejeon sekaligus Profesor Departemen Teknik Lingkungan Chungnam National University, Jang Yong-chul, mengungkapkan Korsel sebagai negara kecil yang telah berkembang menjadi negara maju masih berjuang mengatasi masalah limbah rumah tangga, khususnya limbah plastik.
Masalah ini semakin menjadi perhatian ketika kemajuan ekonomi dan industri berdampak pada lingkungan. Apalagi, isu limbah terus menjadi perhatian dan Asia menjadi benua penghasil limbah plastik terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
“Asia harus maju ke depan dan mengatasi permasalahan limbah plastik ini. Seperti yang bisa dilihat, 80% dari 10 sungai di dunia yang bertanggung jawab atas limbah plastik berasal dari negara-negara Asia,” kata Jang.
Lalu, mengapa dunia menghadapi masalah limbah plastik yang serius?
Conblok hasil daur ulang packaging cangkang SIM card dan sampah plastik lain. Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
“Karena ekonomi kita bergantung pada industri plastik linear yang artinya produksi massa, konsumsi massa, dan lain-lain. Tidak ada sistem ekonomi berkelanjutan yang dibangun saat ini, dan saat ini banyak negara yang sedang berusaha untuk mengatasi masalah limbah plastik ini,” ungkapnya.
Jang mengungkapkan, sekitar 80% limbah plastik berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau tempat pembuangan terbuka dan hanya 9% yang didaur ulang. Sebagai contoh, negara di Eropa 23% membuang limbah plastik ke TPA, 42% ke tempat pembakaran, dan 30% didaur ulang.
ADVERTISEMENT
Untuk negara Asia seperti Korea dan Jepang melakukan daur ulang terhadap limbah plastik sebesar 23%. Sementara negara berkembang melakukan daur ulang terhadap limbah plastik sekitar 25%.
“Apa penyebabnya? Karena keterbatasan teknik, ada keterbatasan ekonomi, dan keterbatasan sosial. Karena keterbatasan ini plastik sangat bergantung pada ekonomi linear khususnya di negara Asia. Banyak plastik yang akhirnya berakhir di TPA atau pembakaran. Itu masalahnya. Ada keterbatasan daur ulang,” ujarnya.

Bagaimana Korsel mengatasi masalah ini dan mengajak masyarakatnya untuk peduli terhadap limbah plastik?

Jang mengatakan, Korsel mengadopsi sistem Extended Producer Responsibility (EPR). Dengan sistem tersebut, produsen dituntut bertanggung jawab terhadap produk mereka yang terbuat atau dikemas dengan plastik. Sehingga produsen tak hanya sekadar menjual, namun limbahnya dikumpulkan kembali untuk didaur ulang dan menjadi produk lain yang berguna.
ADVERTISEMENT
“Itu adalah konsep dan definisi EPR. Jadi banyak negara, bahkan negara berpenghasilan kecil dan menengah yang tertarik untuk menerapkan kebijakan EPR ini. Banyak negara berpenghasilan tinggi yang telah mengadaptasi kebijakan EPR sejak akhir 1990. Tapi untuk plastik pembungkus, elektronik, diapers, dan baterai ini menjadi target umum dari sistem EPR,” tuturnya.
Jang mengungkapkan, Korsel telah menerapkan sistem ini sejak 2003. Selama itu pula, masyarakat dan perusahaan produsen sudah terbiasa mengumpulkan limbah plastik untuk didaur ulang. Bahkan, ada peningkatan kegiatan daur ulang di Korsel selama 40 tahun terakhir sejak 1982-2018.
“Untuk saat ini, daur ulang persentasenya di 59,5%, pembuangan di TPA 11,8%, dan pembakaran 25,5%. Daur ulang menjadi metode yang mendominasi untuk pengaturan limbah selama tiga dekade belakangan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Materi plastik apa saja yang menjadi target daur ulang melalui sistem EPR? Di antaranya botol PET (Polyethylene Terephthalate), Expanded Polystyrene (EPS), Polyvinyl Chloride (PVC), hingga kontainer plastik. Pemerintah Korsel menargetkan daur ulang dari limbah-limbah tersebut sebesar 80%.
“Ibarat produsen, kalian pabriknya, kalian menjual botol PET ke pasar, anggap saja anda menjual 10.000 botol PET ke pasar, kamu harus mengumpulkannya kembali dan mendaur ulang 80%. Apa artinya? Artinya kamu harus mengumpulkan dan mendaur ulang 8.000 ton. Jika tidak, kamu akan mendapat denda dari pemerintah. Itu target daur ulangnya. Dengan sistem EPR, ada keharusan untuk mendaur ulang plastik,” jelasnya.
Kegiatan daur ulang ini pun diawasi oleh pemerintah Korsel melalui Korea Environment Corporation (KECO) bersama lembaga non profit Korea Resource Circulation Service Agency (KORA) dan Korea Packaging Recycling Cooperative (KPRC). Perusahaan pun diwajibkan untuk mendanai atau menjadi donatur kegiatan ini.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana cara melibatkan masyarakat dengan sistem ini? Pemerintah Korsel menyiapkan infrastruktur tempat pembuangan dan pemilahan limbah di berbagai tempat, khususnya di kawasan tempat tinggal warga. Akan ada tempat untuk memilah limbah mana yang bisa didaur ulang, limbah yang mudah terbakar (combustibles), dan limbah yang tidak mudah terbakar (non-combustibles).
Setelah limbah-limbah tersebut dikategorikan, petugas kebersihan di masing-masing wilayah administrasi membawanya ke pusat daur ulang. Proses daur ulang pun dilakukan berdasarkan kategori limbah, seperti dihancurkan atau dilelehkan, dicuci, hingga diolah menjadi produk baru seperti material konstruksi, serat, kertas, bahan bakar industri, hingga pembangkit listrik.
Aktivis lingkungan Korea Selatan mengenakan pakaian yang terbuat dari sampah plastik saat peringatan Hari Bumi melawan perubahan iklim di sebuah taman di sepanjang Sungai Han di Seoul, Korea Selatan, Jumat (22/4/2022). Foto: Jung Yeon-je/AFP
“Ini bukan hanya sekadar solusi, tapi konsumen juga harus memastikan bisa memilah dan menggunakan produk daur ulang. Produsen juga harus menggunakan produk yang ramah lingkungan. Jika tidak, sistem daur ulang tidak akan bekerja. EPR memang merupakan salah satu solusi, tapi ada sistem pendukung lainnya,” ujar Jang.
ADVERTISEMENT
Sistem pendukung lain yang dimaksud Jang adalah ketika pemerintah Korsel mengeluarkan kebijakan agar produsen tidak membuat botol kemasan berwarna atau colorless PET bottle. Menurutnya, langkah itu dilakukan untuk mengurangi limbah dari botol berwarna. Kebijakan ini pun sudah berjalan sekitar dua tahun terakhir.
“Saat ini ada 1 juta pembungkus plastik yang telah didaur ulang dan dalam data terbaru, setidaknya ada 80% limbah plastik yang telah dikumpulkan untuk didaur ulang dan yang telah didaur ulang ada 934.000 ton,” ungkapnya.
Menurut Jang, sistem EPR bisa dirasakan di berbagai aspek. Dari aspek ekonomi, ada peningkatan nilai ekonomi dari daur ulang limbah plastik mencapai 3.000 miliar dolar AS. Selain itu, terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja per tahun karena industri daur ulang semakin membutuhkan banyak pekerja.
ADVERTISEMENT
“Pelajaran yang bisa kita pelajari dari sistem EPR adalah pemerintah membuat mandatory legal framework, ada target kebijakan yang jelas, manajemen sampah plastik yang terintegrasi, ada partisipasi dan tanggung jawab yang aktif dari stakeholders, lalu semua data ditampilkan di publik untuk transparansi karena data-datanya tersedia di website untuk melihat bagaimana EPR bekerja,” jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Amalia. Ia menyebut ekonomi sirkular akan sangat berdampak positif pada perkembangan ekonomi secara keseluruhan dan keuntungan sosial lainnya.
“Sebagai contoh dalam satu referensi disimulasikan ekonomi sirkular dapat meningkatkan GDP dan juga keuntungan sosial tidak hanya dari segi pertumbuhan ekonomi tapi juga keuntungan sosial. Contohnya efek ekonomi makro dari ekonomi sirkular di Belanda dapat menciptakan lapangan kerja dengan skenario yang lebih ambisius, bisa menciptakan 83 ribu lapangan kerja, nilai sosial hingga 31 miliar euro, dan dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 8,4 miliar euro,” pungkas Amalia.
ADVERTISEMENT