Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suatu malam di tahun 1994, nahas mendatangi Narwondo yang tengah menjaga ladang. Selayaknya para transmigran lain, ladang milik Narwondo berbatasan dengan salah satu kantong gajah yang tersisa di Lampung, yakni Taman Nasional Way Kambas. Setiap malam mereka akan bergilir menjaga ladang dari kedatangan para gajah .
Saat itu usia Narwondo sekitar 23 tahun. Ia berjaga bersama adiknya, Sunardi, yang berumur 16 tahun. Merasa gerah tidur di atas gubuk panggung tempatnya berjaga, Narwondo memilih turun dan tidur di dekat tumpukan padi. Maka di atas luku—bantal yang biasa dipasang di leher sapi, ia melanjutkan lelapnya dengan berselimutkan karung goni.
Lalu suara gemeresik mulai mengusik malam itu. “Datanglah gajah tadi. Dilangkahilah (Narwondo), bergeraklah kedua kakak beradik itu. Yang satu lari, yang satu kena. Si kakak, Narwondo, keinjak mukanya,” ucap Iskandar, paman Narwondo dan Sunardi, saat berbincang dengan kumparan di rumahnya, Labuhan Ratu, Lampung, Rabu (22/5).
Sekitar pukul 07.00 pagi, Sunardi kembali bersama beberapa orang dan menemukan Narwondo telah tewas. “Badannya enggak apa, cuma pecah mukanya,” kata Iskandar.
Tahun 1977 menjadi awal mula Iskandar berhadapan dengan gajah. Ayahnya pensiunan TNI AD turut dalam program transmigrasi purnawirawan. Para purnawirawan itu ditempatkan di desa dan diberi lahan garapan baru di kawasan Trans AD. Kebetulan keluarga Iskandar mendapat lahan di pinggir kawasan Way Kambas.
“Kami gak tahu ada hama gajah. Kalau tahu ada hama gajah, males kami masuk,” ujarnya. Bagi mereka, gajah menjadi hama sebab selalu datang melewati ladang yang tengah mereka garap. Sementara bagi gajah, lahan itu bagian dari daerah jelajah mereka.
Demi mengurangi rusaknya lahan dari injakan kawanan gajah, segala cara pernah dicoba oleh Iskandar. Mulai dari pembuatan kanal, mengusir menggunakan obor, hingga mencoba memasang jampi-jampi.
“Karena sudah terlalu pusing, carilah ‘orang tua’ istilahnya,” ucap Iskandar. Orang tua yang dimaksud Iskandar adalah paranormal alias dukun.
Ia kemudian diminta untuk memasang botol di jalur gajah bisa lewat. Saat memasang botol, ia disyaratkan untuk mengenakan kain sarung saja. “Aku kan dulu bilang, ‘apa bisa gajah ini masuk botol’. Aku dimarahin sama ‘orang tua’. Katanya ini syarat.”
Namun belum selesai botol itu terpasang sesuai instruksi, sekawanan gajah mendadak masuk. “Akhirnya saya lari ke perbatasan. Sambil telanjang-telanjang larinya,” ucap Iskandar sembari terbahak.
Meski kerap mengalami gagal panen gara-gara kerusakan tanaman karena terinjak atau dimakan gajah, tak sekalipun terbersit di benak Iskandar untuk membunuh hewan darat terbesar yang kini terancam punah itu.
Namun bukan berarti jalan melumpuhkan gajah tak pernah diambil. Di tahun 1990-an, dua ekor gajah yang terlepas dari gerombolannya memasuki daerah permukiman penduduk. “Gajah ini lihat masyarakat, lari gajahnya. Di situ ada manusia, ada sapi, semua kalang kabut, gajahnya juga takut,” tutur Joni Andrean, petani sekaligus anggota Masyarakat Mitra Polisi Hutan, kepada kumparan.
“Di Labuhan Ratu saat itu ada sembilan rumah. Itu dihancurin (oleh gajah) lima rumah. Makanya dimatiin semua gajahnya,” ucapnya. Menurut Joni, kondisinya saat itu sudah tak memungkinkan untuk kembali menggiring gajah ke dalam hutan. “Udah kayak kesurupan.”
Beragam konflik yang terjadi ini bermula setelah program transmigrasi ke berbagai daerah dimulai. Pembukaan lahan-lahan permukiman yang berbatasan dengan taman nasional mau tak mau membuat manusia mesti berhadapan dengan hewan-hewan yang merasa terusir dari rumahnya sendiri.
Lampung, misalnya, salah satu provinsi rumah para gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) telah kehilangan 9 dari 12 kantong gajah yang pernah dimiliki dalam kurun 20 tahun.
“Dulu itu hampir semua wilayah Lampung, bisa dibilang daerah para gajah. Kemudian pelan-pelan ada transmigrasi, perkebunan, dan macam-macam. Akhirnya gajah terdesak, gajah menjadi pihak yang harus menyingkir,” kata aktivis World Wildlife Fund for Nature (WWF), Sunarto, kepada kumparan, Sabtu (1/6).
Di bawah program Tata Liman, Bina Liman, dan Guna Liman sepanjang tahun 1982-1995, Soeharto melegitimasi penangkapan dan pemindahan gajah liar. Dalam Bahasa Lampung, liman artinya gajah.
Menurut definisi formal pemerintahan Orde Baru, Tata Liman merupakan kegiatan menata kembali populasi gajah jalan memindahkannya dari area sekitar kegiatan pembangunan ke kawasan yang disediakan untuk gajah.
Sementara Bina Liman berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup gajah dari satwa perusak menjadi satwa yang membawa manfaat dan dicintai manusia. Terakhir, Guna Liman adalah upaya memanfaatkan gajah-gajah di Pusat Latihan Gajah dalam membantu konservasi gajah.
Semua konsep itu, tentu saja, amat kental perspektif manusia. Bukan dari sudut gajah.
Di bawah Tata Liman, Operasi Ganesha lahir pada 1982. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dibantu masyarakat ‘menata’ hewan pintar nan besar untuk mau dipindahkan ke area taman nasional.
“Tata Liman itu menata, harusnya mengelola. Tapi praktiknya mengambil dari alam kemudian menjinakkan,” ujar Sunarto. Dua tahun berselang dari penggiringan itu, Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas berdiri.
Dari Operasi Ganesha itu diperkirakan 520 ekor gajah liar ditangkap dan dimasukkan ke berbagai PLG di Sumatera. Mereka dipaksa masuk dan berdesakan di dalam satu kawasan. Padahal, satu kawanan gajah membutuhkan area jelajah yang luas.
“Bisa 100-200 kilometer persegi untuk satu kelompok,” ujar Sunarto.
Para transmigran tak mengetahui jika area yang mereka tempati merupakan wilayah teritorial atau jalur migrasi para gajah.
Gajah dihalau dengan ragam cara, mulai dari penggunaan mercon atau petasan yang membuat gajah kaget dan berlari; bronjong atau penghalang jalur gajah seperti batang pohon besar, kanal-kanal parit; hingga drum putar bergerigi untuk menghambat gajah masuk areal permukiman.
Namun sebagai hewan yang pintar, gajah mempelajari beragam alat tersebut. Kini, misalnya, para gajah tak lagi mudah kaget dengan suara mercon atau petasan.
Agus Santo, anggota Wildlife Conservation Society (WCS), melihat perkembangan yang cukup baik bagaimana cara penduduk menghadapi kawanan gajah itu. Warga tak lagi hanya mengandalkan jaga sore. Ada upaya-upaya preventif seperti pembuatan kanal, tanggul, hingga pembuatan alat semacam drum putar untuk menghalau gajah liar.
Kanal dan tanggul dibuat memanjang sejajar dengan perbatasan hutan dan ladang, sedangkan drum putar diletakkan di daerah-daerah yang menjadi jalur gajah.
Intinya, menurut Agus, “Metode berbiaya murah tapi hasilnya sama.” Sebab, selama ini berbagai inovasi dilakukan warga secara swadaya.
Beragam inovasi itu lahir ditopang dari pemikiran masyarakat bersama organisasi-organisasi nirlaba macam WCS. Selain organisasi nirlaba, masyarakat sekitaran kawasan juga dibantu oleh organisasi mitra pemerintah seperti Masyarakat Mitra Polhut dan Elephant Response Units (ERU).
Seiring waktu, para transmigran dan gajah mencoba untuk saling memahami. Penduduk setempat, kata Agus, kini berupaya “Tidak melakukan kekerasan ke gajah, tidak melempar, tidak melukai, tidak menyakiti.”
Cara lain yang kini dikembangkan adalah dengan menggunakan gajah-gajah yang telah dijinakkan untuk mengarahkan kawanan gajah liar itu kembali masuk ke area taman nasional.
Edi Sutrisno, salah satu mahout atau pawang gajah dari ERU, sepakat dengan upaya-upaya damai dan preventif yang dilakukan. Sebab baginya tak ada maksud jahat dari si gajah saat memasuki area ladang. Tanaman seperti padi dan jagung menjadi salah satu menu lain yang disukai gajah di luar taman nasional yang semakin sempit.
“Gajah sering sekali berhasil makan padi, makan jagung di sini. Keluar (taman nasional) ke lahan pertanian penduduk (untuk makan), jadi di sini buat langganan,” ucap Edi.
Berdasarkan penelitian WCS pada tahun 2000, nilai kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh gajah sebenarnya tidak signifikan. Besarnya kurang dari 10 persen dari hasil panen per desa. Namun nilai kerugian terasa berat jika harus ditanggung oleh satu individu saja.
Bagi Joni, manusia dan hewan pada hakekatnya memang harus berbagi ruang untuk hidup. Sebab, manusia bukan spesies tunggal di muka bumi ini.
“Manusia butuh hidup, hewan juga butuh hidup bagaimana saling berbagi,” ujar Joni.