Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Parpol koalisi sudah bulat menolak Perppu KPK . Mereka berulang kali meyakinkan Presiden Jokowi untuk menghormati UU KPK hasil revisi. Mereka berbisik ke Jokowi di Istana maupun DPR.
Jokowi memang tengah menimbang perlu-tidaknya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Para akademisi berpendapat Perppu KPK penting untuk menguatkan kembali taji KPK yang dikebiri UU hasil revisi. Tapi para pimpinan partai koalisi membersitkan kata “pemakzulan.”
***
Tak ada beda suara dari tetamu Presiden Jokowi ketika membicarakan perppu tentang KPK di Istana Bogor, Senin malam (30/9). Para ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik koalisi pemerintah duduk sederet berhadapan dengan Jokowi ketika itu. Suara mereka sama: menolak penerbitan Perppu KPK.
Pucuk pimpinan partai koalisi hadir lengkap—Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum NasDem Surya Paloh, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Mereka didampingi sekjen masing-masing partai, antara lain Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Sekjen Nasdem Johnny Plate, Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, Sekjen PKB Hasanuddin Wahid, dan Sekjen PPP Arsul Sani.
Menurut Arsul, pertemuan itu bagian dari rutinitas koalisi. Hadirin bicara mengenai pandangan pemerintah dan dukungan DPR. Perppu KPK hanya dibicarakan di bagian akhir.
“Yang ada di parlemen menyampaikan pandangan bahwa perppu itu bukan solusi pertama yang harus diambil presiden,” ucap Arsul di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (4/10).
Pertemuan Jokowi dan petinggi partai koalisinya malam itu diwarnai jamuan bakso dan mi jawa. Denting sendok beradu dengan piring mengiringi kekompakan parpol menolak rencana Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Mereka sepakat: Perppu KPK adalah jalan terakhir.
Tak ada keputusan yang diambil dalam pertemuan tersebut, dan Sekjen NasDem Johnny G Plate menepis anggapan bahwa parpol berupaya menghalangi Presiden menerbitkan Perppu.
“Tidak ada usaha (menghalangi), yang ada diskusi dan saran. Boleh dong kami berikan saran? Kami kan partai pengusungnya,” ujar Johnny di DPR, Kamis (3/10).
Polemik UU KPK tengah berada pada puncaknya. Sejak DPR mengetuk revisi UU KPK pada 17 September, gelombang penolakan atas UU ini membesar. Di tengah respons negatif publik itulah presiden bertemu dengan parpol koalisi.
Sebelum itu, presiden telah lebih dulu bertemu puluhan tokoh pada Kamis (26/9), dan lima mantan pimpinan KPK pada Selasa (24/9). Kelima eks komisioner KPK itu—Erry Riyana Hardjapamekas, Taufiequrachman Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, Amien Sunaryadi, dan Chandra Hamzah—tegas mendukung Perppu KPK. Begitu pula tokoh seperti Mahfud MD, Franz Magnis Suseno, dan Goenawan Mohamad.
Mereka menganggap UU yang telah disepakati DPR dan pemerintah jelas memperlemah KPK. Bagaimanapun, kewenangan KPK memang kerap hendak disunat selama ini. Pasal-pasal yang memangkas wewenang KPK sudah diajukan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Revisi UU KPK masuk prioritas Program Legislasi Nasional pada 2015. Draf revisi kala itu mengatur soal pembatasan usia KPK sampai 12 tahun saja, dihitung sejak UU hasil revisi disahkan nantinya. KPK juga mengalami pemangkasan wewenang penuntutan dan penyadapan, pembatasan rekrutmen penyelidik dan penyidik independen, sampai pembatasan kasus.
Hingga akhirnya pada Oktober 2015, penolakan bertubi-tubi dari masyarakat membuat DPR dan pemerintah menunda pembahasan revisi UU KPK dan memasukkan Rancangan UU KPK ke masa sidang 2016.
Namun sebulan kemudian, November 2015, upaya merevisi UU KPK kembali muncul. Badan Legislasi DPR dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sepakat revisi UU KPK jadi inisiatif DPR. Maka bulan berikutnya, Desember 2015, rapat paripurna DPR memasukan RUU KPK dalam Prolegnas 2015.
Walau begitu, pembahasan kembali tak tuntas.
Januari 2016, muncul lagi upaya memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2016. Draf revisi tahun 2015 dan 2016 mencakup empat poin—kewenangan KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pengaturan kembali wewenang menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan Badan Pengawas KPK.
Namun pembahasan terhenti oleh gelombang penolakan massa.
Setahun berselang, Maret 2017, Badan Keahlian DPR menyosialisasikan poin-poin rencana revisi UU KPK ke beberapa universitas, salah satunya UGM. Poin-poin itu ialah pembatasan umur KPK, pembentukan Dewan Pengawas, dan keharusan KPK meminta izin menyadap.
Tapi setelah itu, rencana revisi UU KPK kembali tenggelam.
Sampai akhirnya September 2019, di pengujung masa jabatan anggota DPR 2014-2019, pembahasan revisi UU KPK mendadak dikebut di Senayan. Selasa (17/9), rapat paripurna DPR mengetuk palu pengesahan UU KPK yang baru.
Proses berjalan ekspres karena Presiden Jokowi menyetujuinya. Sikap itu tak lepas dari orang-orang di sekelilingnya yang membisikkan informasi bahwa KPK perlu dikontrol.
Salah satu hal yang menjadi perhatian Jokowi selama ini adalah beberapa kasus yang tak selesai di tangan KPK. Sejumlah orang yang berstatus tersangka belum mendapat kepastian hukum.
“SP3 juga diperlukan. Penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip perlindungan HAM dan kepastian hukum,” kata Jokowi dalam konferensi pers terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jumat (13/9).
KPK disinyalir bakal melemah signifikan lewat aturan di UU baru. Semisal terkait penyadapan, keberadaan Dewan Pengawas, kewenangan menerbitkan SP3, status kepegawaian KPK.
Maka revisi UU KPK memantik protes besar, dan tuntutan agar Jokowi mengeluarkan Perppu untuk mengembalikan kewenangan KPK menguat. Sebaliknya, partai politik berada di seberangnya dengan tegas menolak Perppu KPK .
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Bambang Wuryanto berpendapat, syarat untuk menerbitkan perppu tidak terpenuhi, yakni terdapat kekosongan hukum dan keadaan yang memaksa. Ia juga mengatakan, pengesahan UU KPK sudah sesuai konstitusi.
“Presiden mengingatkan kami, dan kami mengingatkan Presiden. Itu boleh,” kata dia.
Sementara Ketua Umum NasDem Surya Paloh yang juga rekan koalisi Jokowi, malah melontarkan kata “pemakzulan.”
Menurut Paloh, presiden harus percaya pada produk perundangan DPR yang sudah disepakati. Bila ada pihak yang keberatan, tinggal ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Salah-salah, Presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah, loh. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara,” ujar Paloh.
Sampai saat ini, Jokowi belum menunjukkan gelagat akan menandatangani UU KPK hasil revisi—yang hingga kini belum diteken meski aturan tersebut telah diketuk palu oleh sidang paripurna DPR.
Namun merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU yang sudah disepakati DPR dan pemerintah akan tetap berlaku dalam waktu 30 hari sejak disahkan.
Itulah sebabnya berbagai pihak meminta Jokowi membuat Perppu KPK. Survei LSI menunjukkan, 76,3 persen responden setuju Jokowi menerbitkan Perppu KPK, meski usul tersebut ditentang partai-partai politik dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai tak akan mudah bagi Jokowi untuk mengeluarkan Perppu. Jokowi berada dalam dilema karena ia butuh dukungan DPR dalam memuluskan berbagai kebijakannya.
“Presiden terjebak pilihan sulit sekali, sebab jika Perppu dikeluarkan, bisa dipastikan hubungan dengan DPR relatif goyang. Ini tak mudah,” ujar Adi.
Namun pengamat politik LIPI Lili Romli berpendapat, Jokowi tak perlu khawatir dengan sikap DPR, sebab dukungan masyarakat juga tak kalah penting.
Meski dampak politik tentulah ada, ujar Lili, politik di Indonesia tidaklah monolitik sehingga tidak akan sampai merusak hubungan antara eksekutif dan legislatif.
“Rakyat akan mengawal di depan,” tegasnya.
Pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti menganggap ancaman pemakzulan terhadap yang mulai digaungkan kepada presiden oleh elite partai hanya gertak sambal. Sebab syarat pemakzulan adalah tindak pidana, sedangkan mengeluarkan Perppu KPK bukan tindak pidana.
“Presiden hanya bisa dijatuhkan kalau melanggar hukum pidana, jadi bukan urusan politik,” ucap Bivitri.
Yang jelas, semua mata kini tertuju pada Jokowi: mau mendengar yang mana—partai politik atau publik?