Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ketika ribuan ton sampah organik dan non-organik dibiarkan membumbung tinggi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa adanya teknologi pengolahan yang memadai, saat itulah bom waktu mulai berdetak.
Ledakan keras 15 tahun lalu di TPA di Desa Leuwigajah, Bandung, sesaat sebelum gunungan sampah longsor adalah buktinya. Kala itu ribuan ton kubik sampah datang bak gelombang tsunami, sampah anorganik berupa plastik, gabus, kayu, hingga sampah organik menghantam dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Dua pemukiman tersebut luluh lantak, lenyap, tertimbun sampah.
Circular Economy Researcher dari Waste4Change, Adhitya Prayoga mengatakan ledakan keras yang terjadi di TPA Leuwigajah diakibatkan adanya deposit metanogen yang luar biasa dalam tumpukan sampah yang ada di TPA tersebut.
“143 orang meninggal dunia dan meratakan dua desa. Inilah yang saat ini kita ingat sebagai Hari Peringatan Sampah Nasional dan bagaimana sampah makanan dapat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya,” ujar Adhitya Prayoga dari Waste4Change.
Ledakan yang terjadi karena gas metana (CH4) yang dihasilkan sampah organik bereaksi dengan udara. Saat ton demi ton sampah dibiarkan menggunung dan tidak mendapat paparan oksigen, metanogen muncul dan tersimpan di bawah permukaan sampah. Gas metana sendiri memiliki sifat mudah terbakar, mampu meledak seperti bom, sehingga tak mengherankan jika di tempat pembuangan sampah kerap terjadi kebakaran yang tak jelas asal usulnya.
Gas berbahaya yang dihasilkan dari proses penguraian sampah organik seperti daun-daunan atau sisa makanan yang terjadi di tempat pembuangan sampah memang tak dapat dielakkan. Namun, dengan pengelolaan sampah organik yang baik dan konsumsi makanan yang lebih bijak, setidaknya dapat jumlah sampah organik yang berkontribusi dalam perusakan lingkungan bisa diminimalisasi.
Ya, perkara sampah makanan bukanlah hal main-main. Faktanya, lebih dari setengah sampah yang Indonesia hasilkan berupa sampah organik, seperti sampah makanan. kumparan berbincang dengan Adhitya Prayoga dari Waste4Change untuk membahas hal tersebut, dari bahaya sampah organik, penanganan yang dianjurkan, sampai pentingnya pemilahan sampah dari rumah.
Sampah makanan (sampah organik) yang terbuang sering dinilai tidak berbahaya karena dapat diolah menjadi pupuk kompos. Padahal, jika tidak ditangani dengan benar dapat membahayakan lingkungan karena dapat menghasilkan zat metana yang merusak lapisan ozon. Bagaimana mekanismenya sampah sisa makanan yang tergolong sampah organik ini dapat menjadi sampah yang sangat berbahaya?
Memang sampah makanan mendapatkan persepsi sebagai sampah yang mudah terurai, jadi seringkali dianggap tidak berbahaya. Tapi sebenarnya proses terurainya unsur organik terdiri dari dua proses utama. Ada dengan proses aerobik atau anaerobik. Nah yang membedakan kedua proses ini adalah ada atau tidaknya oksigen dalam proses penguraiannya.
Kedua kondisi yang berbeda ini memiliki mikroorganisme pengurai yang juga berbeda. Metanogen adalah pengurai yang mengurai unsur organik dalam kondisi anaerob. Si metanogen ini biasanya mengurai lebih lambat dan juga menghasilkan gas metana. Gas metana ini mudah terbakar. Biasanya di TPA, gas metana ini tercipta karena sampah di dalam gunungan tidak mendapat paparan oksigen, sehingga muncul banyak metanogen. Ketika gas metana dapat dikelola dengan baik salah satunya dengan cara biodigester, gas ini dapat menghasilkan energi.
Informasi tambahan lainnya, terperangkapnya gas metana ini lah menjadi penyebab utama pada tanggal 21 Februari 2005, TPA Leuwigajah meledak karena deposit metanogen yang luar biasa di dalam TPA itu. 143 orang meninggal dunia dan meratakan dua desa. Inilah yang saat ini kita ingat sebagai Hari Peringatan Sampah Nasional dan bagaimana sampah makanan dapat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Dan ini sesuatu yang harus kita tangani karena faktanya adalah sampah makanan itu lebih dari setengah sampah yang Indonesia hasilkan. Jadi ini adalah PR besar bagi Indonesia.
Lantas bagaimana cara mengelola sampah organik agar tidak menjadi sampah yang sangat berbahaya bagi lingkungan?
Pemilahan sampah itu penting agar sampah bisa menjadi sumber daya atau resource. Supaya mencegah terjadinya gas metana yang tidak terkelola, sebaiknya sampah jenis organik atau mudah membusuk, dipisahkan dari seluruh sampah lainnya.
Yang termasuk sampah mudah membusuk adalah sisa makanan, dedaunan, sayur, buah, dan lain-lain. Ketika kita sudah memilah sampah mudah membusuk ini, maka banyak cara untuk mengolahnya seperti menjadikannya kompos ataupun mengelola gas metana yang dapat dihasilkan melalui biodigester. Jadi masalah gas metana yang saat ini terjadi adalah lebih karena tidak adanya kontrol sehingga gas tersebut tersebar di lingkungan terlalu banyak.
Namun perlu diingat juga bahwa jenis sampah lainya juga penting untuk dipilah, contohnya: sulit untuk saya daur ulang kertas yang sudah tercampur dengan makanan, atau plastik yang masih tercampur minyak. Tapi kalau sudah terpilah, saya lebih mudah mendaur ulangnya.
Bagaimana proses pemilahan sampah sebaiknya dilakukan sejak dari rumah sebelum ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)?
Kami di Waste4Change melakukan pemilahan menjadi 4 kategori: Kertas, PKL (Plastik Kaca Logam), Organik (Sampah Membusuk) dan Residu. Kami rasa ini adalah pemilahan yang bisa dilakukan banyak orang dan akan sangat efektif untuk membantu proses pendaur ulangannya. Sistem ini kami terapkan ke klien kami dan juga perumahan yang kami kelola sampahnya.
Waste4Change merupakan perusahaan sosial yang mengelola sistem waste management serta memberikan edukasi kepada warga tentang pengelolaan sampah. Tercatat sudah lebih dari 1.700 rumah dan perusahaan-perusahaan besar yang menjadi mitra perusahaan yang berdiri sejak tahun 2014 tersebut.
Ciri khas Waste4Change adalah penggunaan metode Zero Waste to Landfill. Pemilahan sampah dilakukan dari sumbernya, memastikan semua diolah tanpa ada yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta ada pelaporan alur sampah yang komprehensif.
Seberapa bahaya gas metana bagi lingkungan?
Gas metana ini 21 kali lebih poten sebagai gas rumah kaca daripada karbon dioksida. Artinya dia lebih menyerap panas lebih banyak daripada CO2 sehingga menjadi salah satu gas yang mempengaruhi perubahan iklim (gas rumah kaca). Selain itu, metana juga mudah terbakar. Ini yang menyebabkan TPA di Leuwigajah meledak di tahun 2005 silam.
Selain menyebabkan efek rumah kaca, apa saja dampak negatif terhadap lingkungan yang dapat ditimbulkan dari sampah organik (sampah sisa makanan)?
Agama mengajarkan kita untuk tidak mubazir. Dan anjuran untuk tidak menyisakan makanan ini sebenarnya ada sainsnya juga. Pola makan kita saat ini itu sangat tidak berkelanjutan. Karena untuk memproduksi makanan kita, banyak dampak lingkungan yang sudah terjadi saat makanan itu ada di piring di depan kita.
Konsumsi air yang tinggi dan pembebasan lahan perhutanan untuk agrikultur sudah menjadi dampak lingkungan yang besar. Jika kita membuang 1 kg daging, kita sama saja membuang 50,000 liter air yang digunakan untuk memproduksi daging tersebut. Jadi kita perlu berpikir berkali-kali sebelum berfoya-foya membuat acara atau masak yang banyak.
Sejauh ini adakah penelitian yang memaparkan berapa persen andil sampah sisa makanan (organik) terhadap kerusakan lingkungan?
Dengan produksi makanan saat ini saja kita sudah berkontribusi setengah dari emisi gas rumah kaca di dunia. Jadi kalo buang makanan sehingga menghasilkan sampah organik, ya sama saja kita sudah menyia-nyiakan emisi yang sudah dihasilkan. Emisi metana dari TPA-TPA di dunia diperkirakan mencapai 14 persen. Jadi secara total mencapai hampir lebih dari 50 persen emisi yang dihasilkan dari makanan dan sampah makanan.
Adakah data yang menunjukkan berapa jumlah sampah sisa makanan yang dihasilkan tiap tahunnya?
Indonesia menghasilkan 175.000 ton sampah per hari. Jadi setahun itu 64 juta ton. Dan 50 persen nya adalah sampah organik. Jadi ada 32 juta ton sampah organik per tahun. Tapi sampah organik gak cuma sampah makanan , ada juga dari sampah kebun, pohon dan-lain-lain. Untuk data sampah sisa makanan sendiri, data FAO menunjukan ada 13 juta ton sampah makanan yang dihasilkan warga Indonesia per tahunnya. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan kedua terbanyak setelah Arab Saudi.
Lantas sampah makanan paling banyak dihasilkan dari sektor apa?
Saya belum melihat datanya dan saya rasa perlu diadakan studi mendalam mengenai sumber sampah makanan. Saat ini educated guess saya adalah rumah tangga ya. Mungkin acara dan restoran memang besar jumlahnya per acara atau per restoran. Tapi jumlah rumah tangga di Indonesia sangat banyak sehingga restoran dan acara masih kalah. Tapi saya harus melakukan penelitian lebih dalam untuk ini.
Apakah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia atau jabodetabek telah memiliki sistem pengolahan sampah organik dan anorganik yang cukup baik?
Tidak semua TPA di Indonesia sudah baik sistemnya. Bantar Gebang adalah contoh yang sudah cukup bagus karena sudah masuk kategori sanitary landfill. Dan mereka menangkap gas metana yang muncul di dalam TPA, dan menyalurkannya menjadi energi. Ada komposternya juga.
Kalau di Indonesia pemilahan sampah organik dan anorganik itu lebih terlihat dilakukan di bank sampah atau Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R). Di sini komunitas memilah sampahnya dan mendaur ulang atau jual beli sampah dengan baik.
Sebenarnya bagaimana isu sampah makanan dan sampah organik secara internasional? Apa cukup menjadi perhatian? Fokusnya soal keadilan pangan atau lingkungan?
Kalau secara internasional justru lebih sering di-highlight untuk produksi sampahnya itu sendiri bahkan sejak sebelum sampah dihasilkan (langkah pencegahan). Vegetarianism contohnya adalah gerakan untuk mengurangi carbon footprint dari makanan yang kita produksi. Dan isu ini kerap menjadi topik lingkungan yang didiskusikan. Sampah makanan di luar sana juga sudah diolah menjadi biogas. Bahkan ada startup yang menjual makanan-makanan reject agar tidak terbuang dengan percuma.