Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sandi tegas mengatakan, ia sangat paham Singapura. “Saya ini pegang permanent resident di Singapura. Saya sama Mbak Nur Asia itu kawin di Singapura. Saya lima tahun di sana, sampai akhirnya waktu di-PHK balik lagi ke Indonesia. Jadi saya tahu seluk-beluknya.”
Permanent resident yang dimaksud Sandiaga ialah status bagi warga negara asing untuk bekerja dan tinggal dalam jangka waktu lama di Singapura. Di Negeri Singa itu, Sandi bekerja sampai perusahaannya bangkrut pada 1997-1998 ketika krisis moneter menghantam Indonesia.
“Saya tahu semua hawker centre di Singapura. Karena sebagai profesional, saya makan siang di hawker centre. Biasanya makan chicken rice―cari yang halal―itu harganya SGD 3,5. Bila makanan dengan kualitas sama dibandingkan antara Singapura dan Indonesia, harganya lebih mahal di sini,” kata Sandi kepada kumparan di sela kampanyenya di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu (13/10).
ADVERTISEMENT
Hawker centre yang disinggung Sandi itu tak lain adalah food court alias pujasera―pusat jajanan serba ada, yakni kompleks area makan terbuka dengan harga terjangkau.
Menurut Fei Fei, warga Indonesia yang lima tahun terakhir tinggal di Singapura, hawker centre atau food court-nya Singapura itu setara warteg di Indonesia.
“Jadi kalau di warteg Jakarta ya makanan jauh lebih murahlah. Chicken rice itu kira-kira setara ayam geprek, pecel ayam, ayam penyet,” ujarnya.
Bahasan “makan nasi ayam di Singapura lebih murah daripada di Jakarta” itu terlontar dari mulut Sandi dalam acara diskusi bersama kaum milenial di Rumah Makan Bebek Kaleyo Tebet, Jakarta Selatan, Senin (8/10).
ADVERTISEMENT
“Data tim ekonomi kami yang menyadur informasi dari beberapa data World Bank menyatakan harga pangan di Indonesia dua kali lipat dari India, dan harga sepiring makan siang―dengan kualitas sama―di Bebek Kaleyo lebih mahal dari Singapura,” ujar Sandi.
Apa iya?
Untuk soal sepiring makan siang di Bebek Kaleyo, misal nasi ayam seperti disebut Sandi, harganya bisa bervariasi tergantung hidangan yang dipilih. Ayam goreng kremes dan ayam bakar dijual seharga Rp 14.500 untuk ayam negeri dan Rp 20.000 untuk ayam kampung. Sementara nasi putih dijual Rp 5.500 per porsi.
Maka nasi ayam di Bebek Kaleyo dapat dibeli seharga Rp 20.000 + Rp 5.500 belum termasuk minuman dan pajak 10 persen.
Fei Fei kepada kumparanBISNIS bercerita, dengan uang SGD 3-4, ia bisa makan sepiring nasi ayam di warung pinggiran Singapura. Dengan sejumlah uang yang sama, lanjutnya, ia bisa makan dua piring nasi ayam di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Saya sering bolak-balik Singapura-Jakarta. Harga di food court luar mal di Singapura itu setara dengan food court di dalam mal di Indonesia,” kata Fei Fei, Rabu (10/10).
Momon, WNI yang empat tahun terakhir tinggal di Singapura, menekankan komparasi macam itu bisa tak proporsional.
“Chicken rice di hawker centre SGD 3,5. Kalau di food court dalam mal bisa SGD 6. Tergantung beli di mana. Enggak bisa selalu compare apple to apple.”
Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit, Singapura selama lima tahun terakhir selalu bercokol di posisi puncak dalam daftar kota dengan biaya hidup termahal di dunia, sedangkan Jakarta bertengger di urutan 82.
Secara keseluruhan, data Expatisan―aplikasi kalkulator untuk membandingkan biaya hidup kota-kota di dunia―menunjukkan biaya hidup di Jakarta 121 persen lebih rendah dibanding di Singapura.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk tarif restoran, perhitungan Numbeo ―bank data global berisi informasi mengenai kota dan negara di seluruh dunia―menyebutkan harga di Jakarta lebih murah 61,59 persen ketimbang Singapura.
Sementara harga makanan secara umum di Jakarta berdasarkan data Expatisan lebih murah 48 persen daripada Singapura. Pun begitu dengan harga bahan pangan di Jakarta yang menurut Numbeo lebih murah 30,81 persen dari Singapura.
Sandi berkeras dengan ucapannya. “Makanan di Indonesia itu lebih mahal dari Singapura. Harga beras di Indonesia lebih tinggi, juga harga bahan-bahan pangan―chicken leg dan sebagainya. Saya akan kirim datanya.
ADVERTISEMENT
Tim Sandiaga kemudian mengirimkan selembar slide kepada kumparan berjudul A Widening Gap. Dalam slide yang mencantumkan Bank Dunia sebagai sumber acuan itu dituliskan, konsumen Indonesia membayar jauh lebih tinggi untuk bahan pangan pokok dan makanan kaya nutrisi.
Disebutkan pula makanan sehat di Jakarta jauh lebih mahal ketimbang di Singapura, dan harga makanan di New Delhi juga lebih tinggi 94 persen dibanding di Jakarta. Slide juga menyertakan grafik harga beras di negara-negara Asia Tenggara.
Soal data-data itu, pakar pangan dan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa menyatakan, grafik soal harga beras di ASEAN adalah benar, namun sisanya tak jelas benar.
“Data harga beras di ASEAN, Indonesia dan Filipina yang tertinggi, itu benar. Kedua negara itu merupakan importir beras terbesar di ASEAN. Tapi soal healthy food di Jakarta lebih mahal dari Singapura, tidak ada uraiannya. Dan harga beras organik (yang dianggap lebih sehat) di Singapura justru empat kali lipat dibanding di Indonesia,” kata Dwi kepada kumparan, Minggu (15/10).
ADVERTISEMENT
“Disebut ‘a basket of food in Jakarta is 94 percent more expensive than in New Delhi’ juga nggak jelas. ‘Basket of food’-nya apa saja?” ujar Dwi.
Tim Ekonomi Prabowo-Sandi yang dihubungi kumparan untuk ditanyai lebih lanjut soal slide tersebut, hingga kini belum merespons panggilan telepon dan pesan yang dikirimkan.
Ucapan itu bisa dipahami dalam sejumlah konteks, misalnya terkait harga tempe yang kerap ia komentari, mulai tempe setipis ATM, tempe saset, sampai tempe tablet yang amat tebal.
“Memang sampo aja bisa saset? Tempe juga bisa,” ujar Sandi ketika melihat tempe mini seharga Rp 350 di Pasar Wonodri, Semarang, Jawa Tengah, Senin (24/9).
ADVERTISEMENT
“Harga tempe mestinya naik karena dolar naik, sebab tempe banyak diproduksi menggunakan kedelai, dan kedelai itu impor. Tapi harga tempe tidak naik, ukurannya yang dikecilkan dari tebal jadi tipis-tipis. Karena kalau harga dinaikkan, nggak laku,” ujar Sandi.
Kebutuhan kedelai Indonesia yang meningkat setiap tahun, memang bergantung dari impor karena produksi dalam negeri tak mencukupi. Kedelai impor pun selama ini lebih diminati karena dianggap memiliki kualitas lebih bagus dari kedelai lokal.
Selain itu, rencana pemerintah untuk menambah lahan penanaman kedelai belum berjalan mulus, sehingga target swasembada kedelai pada 2020 disangsikan bakal tercapai.
Di sisi lain, menurut Dwi Andreas, data Tim Ekonomi Prabowo-Sandi yang dalam slide-nya menyebutkan harga makanan sehat di Jakarta lebih mahal ketimbang di Singapura yang tidak punya lahan pertanian, justru bisa terjadi karena Singapura hampir 100 persen mengandalkan bahan impor.
ADVERTISEMENT
“Produk impor yang diperdagangkan di dunia harganya lebih murah dibanding pangan yang diproduksi domestik. Apalagi Singapura rute transportasi internasional,” ujar Dwi.
Hal tersebut bukannya tak disadari Sandi. "Singapura nggak punga pertanian sama sekali. Semua impor, tapi bisa lebih murah,” kata dia.
Awal September, Rabu (5/9), Sandi juga menceritakan pertengkaran seorang ibu dengan suaminya karena uang belanja yang kurang.
“Di Pekanbaru, Ibu Lia cekcok sama suaminya gara-gara uang belanja dikasih Rp 100 ribu, pulang cuma bawa bawang sama cabai,” kata mantan wakil gubernur DKI Jakarta itu.
Perkataan itu pun viral, serupa perkara tempe setipis ATM dan makan nasi ayam lebih murah di Singapura. Warganet ramai-ramai bereksperimen berbelanja disertai tagar #100ribudapatapa.
ADVERTISEMENT
Elly Suryani dalam akun Twitter-nya, misal, menulis bahwa dengan uang Rp 100.000 ia membeli ikan patin satu kilogram, telur satu kilogram, bawang merah dan putih Rp 10.000, kangkung, terong setengah kilogram, cabai merah seperempat kilogram, dan pepaya.
Belanjaan itu, menurut Elly, total seharga Rp 83.000, dan cukup untuk makan tiga hari.
Netizen lain, Idan Ramdan, berbelanja kangkung, telur, bawang merah dan putih, cabai, beras, telur, buncis, dan sejumlah bumbu dapur. Semua itu menghabiskan Rp 80.000 saja.
Sementara Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik September 2018 mencantumkan harga-harga bahan kebutuhan pokok antara lain: daging ayam berkisar Rp 43.101 per kg, daging sapi Rp 106.520 per kg, cabai merah Rp 34.648 per kg, beras Rp 13.877 per kg, dan telur ayam Rp 22.195 per kg.
ADVERTISEMENT
Harryadin Mahardika, anggota Tim Riset Ekonomi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, mengatakan pemilihan tema dan kata oleh Sandi yang sederhana dan mudah diingat masyarakat―sekalipun nyeleneh―memang telah didiskusikan bersama.
“Yang dilakukan Sandi itu sama dengan yang dilakukan Jokowi pada 2014. Di 2014, Jokowi omong sederhana, lucu, mudah dicerna. Sekarang kebalikannya. Jokowi dan timnya kalau bicara sangat kompleks karena sudah jadi penyelenggara negara,” kata dia kepada kumparan di Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (11/10).
Sandi, ujar Harryadin, hanya memanfaatkan peluang. “Permainan dibalik. Dia gantian (pakai cara Jokowi).
Terlebih, misi Tim Kampanye Prabowo-Sandi ialah “membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa hidup makin sulit.” Maka, kata Harryadin, “Itu tidak bisa dengan analisa kompleks. Tapi dengan mengingatkan berulang harga tempe naik, harga BBM naik, harga bahan kebutuhan pokok naik―yang ‘receh-receh.’”
ADVERTISEMENT
Sebab yang terlihat ‘receh’ dan berbau bumbu dapur itu itu boleh jadi malah konkret bagi masyarakat.
Target konkret pula yang membuat Prabowo-Sandi membidik emak-emak.
“Emak-emaklah yang mengelola pengeluaran keluarga. Mereka yang tahu benar Rp 1 juta untuk satu bulan itu sudah enggak cukup lagi,” ujar Harryadin.
Dalam istilah Gamal Albinsaid, Juru Bicara Prabowo-Sandi, emak-emak adalah “Menteri Keuangan di rumah” yang karenanya punya peran penting.
“Kami ingin amankan dapur tiap rumah. Sandi mencoba masuk ke rumah. Dia memahami kebutuhan emak-emak,” kata Gamal.
Gaya kampanye Sandi yang kerap mengeluarkan kata-kata kontroversial dan gimik, menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, mirip seperti saat dia berkampanye di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta bersama Anies Baswedan. Sebut saja jurus bangau Sandi dan program OK OCE yang diingat masyarakat hingga kini.
ADVERTISEMENT
Cara Sandi itu, menurut Yunarto, juga berguna untuk mengatasi stagnasi popularitas Prabowo yang telah dua kali kalah di pilpres sebelumnya.
“Biasanya pemberitaan calon wakil presiden itu sekunder daripada calon presiden. Tapi Sandi lebih ‘bunyi’ dan lebih jadi pusat pemberitaan dibanding Prabowo,” ujar Yunarto, Jumat (12/10).
Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Kuskridho ‘Dodi’ Ambardi, menilai aksi Sandi tak lepas dari tujuan popularitas. “Yang penting dikenal dulu, setelah itu bisa dipermak belakangan.”
Terlebih, Sandi mendapat tugas mendekati pemilih milenial dan mengamankan kantong suara emak-emak. Dan ia bukannya tak punya modal karena berasal dari kalangan muda, mengusaja, energik, serta penampilan menarik.
Meski begitu, Dodi berpendapat kampanye ala Sandi belum tentu menjamin bakal melejitkan Prabowo-Sandi, hingga meraup angka 50 persen dukungan politik .
ADVERTISEMENT
------------------------
Sibak Politik Dapur Sandi di Liputan Khusus kumparan