Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Chairul Tanjung Bisa Menjembatani SBY-Mega”
11 Juni 2018 12:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Salah satu dari lima orang terkaya di Indonesia, mantan Menko Perekonomian, anggota Dewan Masjid Indonesia, dan peraih MUI Awards 2015.
ADVERTISEMENT
Begitulah cuplikan rekam jejak Chairul Tanjung yang diusung sekelompok pengusaha yang menamakan diri Sobat Jokowi-CT sebagai calon wakil presiden Joko Widodo untuk Pemilu 2019.
Meski lama tak muncul, bukan kali pertama nama CT malang-melintang di bursa jabatan eksekutif. Setelah menutup kemungkinan kembali menjadi menteri di 2014, CT juga sempat menolak tawaran Demokrat bersama PKB, PAN, dan PPP menjadi calon gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Kini nama CT kembali muncul meramaikan bursa calon wakil presiden.
“Kami menilai Pak Jokowi ini sedang mencari sosok yang memiliki karakter mirip seperti Pak Jusuf Kalla. Pak CT ini mewakili beliau. Sangat miriplah,” ujar Nuran Fiqolbi, Ketua Sobat Jokowi-CT , saat berbincang dengan kumparan di Bandung, Kamis (7/6).
Namun, penolakan terhadap CT sebagai cawapres Jokowi lahir dari partai-partai pendukungnya. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, nama Chairul Tanjung tidak masuk daftar cawapres Jokowi.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Golkar lebih keras lagi. Ketua DPP Golkar Yahya Zaini menyatakan Chairul Tanjung tidak bisa menjadi cawapres Jokowi karena belum memiliki dukungan politik dan chemistry dengan Jokowi.
Satu hal yang menarik adalah spekulasi bahwa pemilik CT Corp itu bisa menjembatani komunikasi antara berbagai elite politik, khususnya Jokowi-Megawati-SBY.
Apakah Chairul Tanjung benar-benar bisa menjadi opsi segar cawapres di antara nama-nama tokoh lain yang sudah berseliweran lebih dulu?
Untuk menyelami berbagai kemungkinan munculnya Chairul Tanjung dalam bursa cawapres, kumparan berbincang dengan beberapa pengamat politik, mulai dari Arya Fernandes, pengamat politik CSIS; M Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer; dan Yunarto Wijaya dari Charta Politika.
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Kelompok relawan Jokowi-CT menyatakan Chairul Tanjung cocok jadi cawapres Jokowi. Menurut Anda?
Arya: CT bisa menjadi opsi menarik untuk dipertimbangkan Jokowi. Pertama, karena kemampuannya dalam hal ekonomi. Kedua, karena kemampuan CT untuk bisa diterima oleh partai-partai di koalisi, sebab dia tokoh nonpartai.
Tetapi tentu ada kendala. Kendalanya bagaimana CT bisa mendapatkan dukungan dari parpol-parpol koalisi Jokowi karena partai-partai itu kan sudah memiliki calonnya masing-masing, dan sekarang mereka sedang berkontestasi untuk mendapatkan perhatian Jokowi. Misalnya (Ketua Umum PPP) Romahurmuziy, (Ketua Umum PKB) Muhaimin Iskandar, dan seterusnya.
CT juga dianggap dekat dengan Demokrat, sehingga harus dilihat sejauh mana ini bisa dikomunikasikan dengan PDI Perjuangan. Itu kendala-kendala yang akan dihadapi.
Dari segi sosok, CT profesional--pengusaha yang dalam konteks kepemimpinan dan aspek manajerial sudah teruji.
ADVERTISEMENT
Tapi tentu ada kendala-kendala politik yang harus diselesaikan. Misalnya soal penerimaan anggota koalisi, dan sinyalemen kedekatan CT dengan Demokrat.
CT juga masuk dalam radar Jokowi untuk dikontestasikan atau dipertimbangkan sebagai cawapres, selain nama-nama yang sudah beredar.
Qodari: Wakilnya Pak Jokowi itu harus yang bisa menutupi kelemahan Pak Jokowi. Apa kelemahan Pak Jokowi sekarang? Satu, isu ekonomi. Kedua, Islam.
Kalau isu ekonomi, pilihan cawapresnya ada dua kategori. Pertama, bisa ekonom, bisa pengusaha yang berhasil. Kalau ekonom, di kabinet ada Sri Mulyani. Kalau di luar, mungkin Rizal Ramli.
ADVERTISEMENT
Kalau pengusaha yang dekat dengan dunia politik itu ada satu: Chairul Tanjung. Kebetulan CT dengan kelompok Islam boleh dibilang dekat. Dengan PKS dekat, dengan yang lain-lain dekat.
Dari kelompok Islam, pilihannya juga dua kategori. Pertama, bisa dari tokoh santri, tokoh ulama, yang relatif bisa diterima oleh semua pihak--artinya di tengah. Sebab kalau NU banget, nanti Muhammadiyah nolak. Kalau terlalu Muhammadiyah, nanti NU nolak.
Nah, di sini mungkin ada dua nama yang potensial. Pertama, Pak Mahfud MD, karena dia NU tapi juga HMI. Kedua, Pak Jimly Asshiddiqie, karena dia ICMI.
Di dalam ICMI itu ada NU, Muhammadiyah, macem-macemlah. Pak Jimly punya satu kelebihan lagi: dekat dengan Pak Habibie.
ADVERTISEMENT
Kalau dari tokoh militer, pertama, Pak Gatot Nurmantyo; kedua, Pak Moeldoko; ketiga, mungkin Pak Agum Gumelar.
Wakilnya Pak Jokowi kemungkinan besar dari luar partai. Karena kalau dari parpol, akan ada yang cemburu. Karena cemburu, bisa terjadi penolakan, bahkan lebih parah lagi, bisa balik badan, tidak jadi mendukung Jokowi. Itu tentu membahayakan soliditas koalisi.
Kita lihat pengalaman Pak SBY di tahun 2009. Pak SBY maju periode kedua itu situasinya sama--banyak parpol pendukung, kemudian titik komprominya dengan figur di luar partai (Boediono).
Keuntungan kalau memilih CT sebagai wakil presiden, pertama, pasti dia sebagai pengusaha paham isu ekonomi. Kedua, CT punya jaringan media yang sangat besar. TV ada dua--Trans TV dan Trans 7, media online, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dukungan media itu penting. Sementara keuntungan ketiga, CT dikenal memiliki akses komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh Islam, dari berbagai macam kalangan.
Keempat, tentu saja secara logistik beliau sudah sadar sendiri. Soal logistik ini penting juga.
Yunarto: Beda dengan Prabowo yang membutuhkan efek komplementer dari calon wakil presidennya, Jokowi tidak membutuhkan itu. Jadi sebetulnya bukan persoalan elektabilitas, tapi faktor bagaimana sosok ini bisa mengurangi beban serangan-serangan kampanye.
Itulah makanya nama-nama tokoh Islam atau jenderal dianggap cocok mendampingi Jokowi.
Bisa juga pilih sosok yang dianggap dekat dengan kelompok Islam. Dalam konteks ini, JK masuk--dulu. Sekarang Pak CT juga masuk di sini, karena kedekatan dia dengan kelompok-kelompok Islam, juga PKS.
Lalu bagaimana sosok cawapres ini bisa mengakomodir kepentingan politik yang cukup banyak? Ada dua asumsi: akan mudah menerima orang parpol karena lebih punya jasa; atau jangan-jangan karena jumlah parpolnya lebih banyak, akan lebih mudah diterima kalau yang bukan parpol sekalian supaya parpol tidak berantem.
ADVERTISEMENT
Nah, Pak CT bisa saja memanfaatkan posisi ini. Tapi yang jadi pertanyaan: Pak CT di sini dianggap mewakili siapa? Apakah mewakili kepentingan SBY atau dianggap mewakili kepentingan partai-partai yang cukup dekat dengannya, misalnya. Nah itu yang belum bisa dijawab.
Kalau Pak CT kemudian punya ambisi, saya pikir salah satu prasyaratnya tentu saja adalah bagaimana dia bisa mengakomodir dan menetralisir partai-partai pendukung Jokowi selama ini yang sudah berjasa. Ini saja yang menurut saya menjadi catatan.
Benarkah CT bisa menjadi jembatan komunikasi antara SBY dan Megawati?
Arya: Tentu dengan karakter sebagai pengusaha, CT punya kemampuan lobi yang bagus. Karakter dia juga tentu tipikal karakter pengusaha, mempunyai hubungan yang baik dengan politisi.
ADVERTISEMENT
Saya sepakat CT bisa menjadi penghubung atau jembatan komunikasi antara Jokowi-Mega-SBY.
Qodari: Nah, mungkin ini justru kendalanya. Saya nggak tahu seberapa jauh problematika Pak SBY dan Bu Mega ini. Nah, Pak CT bagaimanapun kita tafsirkan dekat dengan Pak SBY, sehingga itu bisa jadi masalah walau pun di sisi yang lain bagus.
Yunarto: Jokowi pasti akan membutuhkan lebih banyak partai, itu lebih baik secara kuantitatif. Secara kualitatif, suka atau tidak, SBY punya pengaruh besar pada konstelasi politik. Sehingga keberhasilan merangkul rezim sebelum merupakan sebuah prestasi untuk membangun stabilitas politik.
Tapi kalau bicara PDIP, tentu saja beda kepentingan dengan Demokrat. Pertama, ada histori yang tidak terlalu baik antara PDIP dengan Demokrat sebagai oposisi dan sebagai penguasa.
ADVERTISEMENT
Kedua, proyeksi di 2024. Tentu saja kalau posisi (cawapres) itu diberikan kepada Demokrat, bisa akan menutup peluang atau peluang lebih kecil buat PDIP untuk kembali berkuasa di 2024.
Jika CT terpilih dan merapat ke Jokowi, kemungkinan hanya akan ada dua poros?
Qodari: Per hari ini, kecenderungannya 60 persen dua poros. Kami sudah kita lihat pengelompokkan--sebagian ke Pak Jokowi, lainnya ke Pak Prabowo.
Tinggal Demokrat dan PKB. Dua partai ini kalau (perhitungannya) bergabung, tidak cukup memenuhi persyaratan 20 persen (suara unuk menegusung capres-cawapres).
Bisa saja, terjadi suatu situasi di mana tiba-tiba ada partai menengah, entah dari kubu Jokowi atau Prabowo , balik badan kemudian bergabung ke Demokrat.
Tapi untuk sementara, melihat arah politik, ya kecenderungannya dua kubu. Dan akhirnya PKB dan Demokrat harus memilih salah satu.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti laporan mendalam Wapres Anak Singkong di Liputan Khusus kumparan.