Class Action Korban Gagal Ginjal Dikabulkan: Perusahaan Farmasi Bayar Rp 60 Juta

27 Agustus 2024 19:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pengunjung mengenakan kaos bertulis 'Kukira Obat Ternyata Racun' dalam sidang gugatan perwakilan kelompok ('class action') gagal ginjal akut anak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjung mengenakan kaos bertulis 'Kukira Obat Ternyata Racun' dalam sidang gugatan perwakilan kelompok ('class action') gagal ginjal akut anak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan class action dari para korban gangguan gagal ginjal akut atipikal (GGAPA) pada anak. Dua perusahaan farmasi dihukum membayar ganti rugi ke sejumlah korban.
ADVERTISEMENT
"Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian," bunyi putusan tersebut seperti dikutip dari laman SIPP PN Jakpus, Selasa (28/7).
Gugatan class action didaftarkan ke PN Jakpus pada 15 Desember 2022 dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Pemohon meminta para tergugat untuk membayar ganti rugi.
Adapun tergugat dalam perkara ini adalah:
Setelah bergulir hampir 2 tahun, perkara ini kemudian baru diputus pada 22 Agustus 2024. Hakim mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Untuk korban meninggal, harus memberikan uang santunan masing-masing Rp 50 juta. Sedangkan untuk korban yang telah sembuh atau masih pengobatan, santunan masing-masing Rp 60 juta.
ADVERTISEMENT
Berikut putusan Hakim tersebut:
"Menghukum Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung renteng dihukum untuk memberikan ganti rugi yaitu pemberian santunan masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi ahli waris korban GGAPA yang telah meninggal dan masing-masing Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) bagi korban gagal ginjal akut progresif atipikal yang telah sembuh atau menjalani proses pengobatan dan rehabilitasi medis sebagaimana Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 185/HUK/2023 sebatas kepada Para Penggugat sebagai orang tua korban, yang telah dibuktikan oleh Para Penggugat," bunyi putusan dikutip dari situs PN Jakpus.
Hakim Yusuf Pranowo (kanan) memimpin sidang gugatan perwakilan kelompok ('class action') gagal ginjal akut anak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
Sidang ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Yusuf Pranowo dengan Anggota Hakim Kadarisman Al Riskandar dan Panji Surono.
ADVERTISEMENT
Ada sebanyak 24 korban yang turut termuat dalam putusan itu, yakni:
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum korban, Reza Zia Ulhaq, menyebut bahwa tergugat yang dinyatakan harus membayar ganti rugi adalah PT. Afi Farma Pharmaceutical Industry dan CV Samudera Chemical
Namun, putusan tersebut hanya berlaku bagi 24 orang yang tergabung sebagai penggugat. Tidak untuk seluruh korban yang jumlahnya mencapai 326 anak.
"Dengan demikian kami berkesimpulan bahwa majelis hakim telah dengan sengaja menyimpangi ketentuan baku mengenai class action atau setidak-tidaknya hakim tidak memahami mekanisme class action yang berlaku," kata pengacara korban, Reza Zia Ulhaq, dalam keterangannya.
Solihah orangtua korban gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) menunjukan foto anaknya saat menghadiri sidang lanjutan gugatan class action GGAPA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (18/7/2023). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
Dalam gugatan yang diajukan, Reza menyebut, pihaknya juga menjadikan BPOM dan Kemenkes sebagai tergugat. Namun, Majelis Hakim menyatakan dua lembaga negara itu tak bersalah.
Padahal, menurutnya, BPOM dan Kemenkes ada keterlibatannya dalam peristiwa ini. Di mana, beredarnya obat-obatan beracun itu bisa terjadi atas peran mereka.
ADVERTISEMENT
"BPOM serta-merta meloloskan pengajuan izin edar obat beracun tersebut tanpa pula melakukan verifikasi dan validasi atas pengajuan yang dilakukan PT Afi Farma," beber Reza.
"Selain itu, juga terungkap fakta di persidangan bahwa Kementerian Kesehatan tidak pernah sama sekali menyiapkan suatu protokol khusus untuk mencegah atau setidaknya meminimalisasi dampak buruk dari peristiwa ini padahal peristiwa keracunan EG dan DEG merupakan peristiwa berulang yang terjadi di berbagai negara sejak awal 1990-an," tambahnya.
Dua pengunjung mengenakan kaos bertulis 'Kukira Obat Ternyata Racun' dalam sidang gugatan perwakilan kelompok ('class action') gagal ginjal akut anak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
Selain itu, Reza mengatakan, putusan ganti rugi yang dijatuhkan Hakim kepada PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical jauh dari gugatan yang diajukan.
Para korban sedianya meminta ganti rugi sebesar Rp 3 miliar bagi seluruh korban yang anaknya meninggal dunia dan Rp 2 miliar bagi yang menjalani perawatan.
ADVERTISEMENT
"Bahwa berdasarkan catatan singkat di atas, tim berpendapat bahwa putusan ini adalah putusan yang zalim serta jauh dari keadilan. Apabila dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum khususnya di bidang pengawasan obat yang berkaitan dengan nyawa manusia," tutur Reza.

BPKN: Putusan Tak Cerminkan Kemanusiaan

Ilustrasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Muh Mufti Mubarok menilai putusan tersebut sangat tidak mencerminkan kemanusiaan. Serta mencederai asas kemanusiaan.
“Mesti dipahami bahwa kejadian tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Tentu sebagai korban, putusan tersebut kami anggap tidak adil. Menghilangkan nyawa baik sengaja atau tidak sengaja adalah pelanggaran berat,” kata Mufti dalam keterangannya.
Terkait putusan itu, Mufti menyinggung soal asas keamanan dan keselamatan konsumen. Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
ADVERTISEMENT
“Para pelaku usaha diwajibkan untuk menyediakan produk dan jasa yang aman bagi konsumen agar terhindar dari potensi bahaya atau kerugian,” paparnya.
Menyangkut ganti rugi, BPKN melihat putusan PN Jakpus juga belum mengakomodir ganti rugi imateriel dari pihak perusahaan.
“Kalau material mestinya dihitung semua hingga pemakaman. Kita bandingkan dengan korban kecelakaan maskapai penerbangan. Semua mesti di-cover termasuk ada penggantian kehilangan penghasilan orang tua akibat orang tua yang anaknya masih perawatan pasti akan kehilangan penghasilannya,” jelas Mufti.
“Kita mendorong konsumen atau pihak korban untuk melakukan banding,” pungkas Mufti.