Cuma Colek Paha Bukan “Dosa” di Indonesia

7 Maret 2017 13:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pelecehan Seksual  (Foto: Pixabay )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelecehan Seksual (Foto: Pixabay )
Indonesia, meski termasuk salah satu negara religius di dunia, masih belum punya aturan untuk para pelaku pelecehan seksual. Itulah kenapa lelaki yang mencolek paha seorang mahasiswi di bus TransJakarta, langsung dilepaskan tak lama setelah dilaporkan korban.
ADVERTISEMENT
“Indonesia punya keterbatasan hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual,” kata Azriana, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kepada kumparan, Selasa (7/3).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengatur tentang “perbuatan cabul” --itu pun dalam kasus terbatas.
Tidak semua pelaku perbuatan cabul --yang memiliki arti keji dan kotor, tak senonoh atau melanggar kesopanan/kesusilaan-- dapat dihukum. “Hanya” untuk mereka yang: pertama, memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Kedua, “melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.” Ketiga, “melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.”
ADVERTISEMENT
Keempat, “membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Dari seluruh aturan dalam KUHP tersebut, “mencolek paha” jelas bukan termasuk tindakan yang bisa dan perlu dihukum di Indonesia.
“Enggak ada unsur pidananya. Orang cuma pakai kelingking. (Korban) dicolek bagian pahanya. Bukan paha atas, tapi bagian dekat dengkul. Kalau dipegang bagian payudara atau alat kelaminnya, itu bisa (kena pidana),” kata AKP Bambang Edi, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Jatinegara, Jakarta.
Bus Transjakarta. (Foto: transjakarta.co.id)
zoom-in-whitePerbesar
Bus Transjakarta. (Foto: transjakarta.co.id)
Pun jika ada saksi yang melihat ulah si lelaki yang diduga melecehkan, hal itu tetap sulit membuatnya bisa dipidana.
ADVERTISEMENT
“Saksinya petugas busway, Dia juga bilang cuma pakai jari. Sekarang bagaimana kalau begitu? Mau visum juga memang kelihatan?" kata Bambang.
Hal tersebut tak ayal disesalkan Komnas Perempuan. Selain tak ada hukum yang mengatur soal pelecehan seksual di Indonesia, pengetahuan publik dan aparat penegak hukum atas isu ini pun minim.
“Padahal kekerasan seksual tak selalu menyentuh atau menyerang organ-organ seksual. Ketika yang dicolek paha di dekat dengkul pun, kan nuansanya beda dengan menepuk pundak untuk berkata, ‘Hai, apa kabar?’ Yang satu tindakan merendahkan, yang satu menyapa,” ujar Azriana.
Sayangnya, selama ini pelecehan seksual kerap dipandang sebagai kewajaran di Indonesia. “Bukannya dilihat sebagai wujud cara pandang merendahkan perempuan.”
Selain itu, kata Azriana, mestinya yang dipakai aparat penegak hukum adalah sudut pandang korban, bukan kacamata pelaku --yang hampir tak pernah mengakui perbuatannya.
ADVERTISEMENT
“Kalau bertanya kepada pelaku, bahkan jika ia mencolek bagian dada, dia bisa saja bilang, ‘Ah, saya enggak punya tujuan ke sana.’ Padahal bagian paha dekat dengkul pun kalau disentuh tanpa izin termasuk merendahkan. Itu sama berharganya dengan pantat, misalnya,” ujar Azriana.
Ilustrasi pelecehan seksual. (Foto: Thinkstock/Rawpixel)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual. (Foto: Thinkstock/Rawpixel)
Pelecehan seksual baru dapat ditindak apabila Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disetujui Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU. RUU tersebut saat ini masih berada di Badan Legislasi DPR.
Dalam RUU tersebut, dicantumkan 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, dari yang sederhana hingga kompleks, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Azriana menegaskan, pelecehan seksual tidak pada tempatnya dan tidak bisa dipandang lagi dengan kacamata patriarki --mengutamakan lelaki ketimbang perempuan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurutmu, perlu atau tidak Indonesia memiliki aturan hukum untuk pelaku pelecehan seksual?
Ilustrasi penolakan perempuan terhadap catcall (Foto: JackF / Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penolakan perempuan terhadap catcall (Foto: JackF / Getty Images)
Simak selanjutnya