Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Nasib Perempuan Indonesia
8 Maret 2017 17:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Data Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, dalam rentang tahun 2012-2015, rata-rata 3.000 sampai 6.500 kasus kekerasan seksual terjadi setiap tahun, baik di ranah personal, rumah tangga, maupun komunitas.
ADVERTISEMENT
Adapun sepanjang tahun 2016, Komnas Perempuan mencatat terdapat 3.945 kasus kekerasan seksual. Data tersebut berasal dari 358 Pengadilan Agama dan 23 lembaga mitra Komnas Perempuan yang terdapat di 34 provinsi di Indonesia.
Mengingat status darurat kekerasan seksual di Indonesia, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) meminta Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk mengawal pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera menjadi Undang-Undang.
Pada 19 September 2016, Komnas Perempuan dan FPL menyerahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada KPPRI di kantor Dewan Perwakilan Rakyat RI. Sebelumnya, pada 6 Juni 2016, Komnas Perempuan bersama FPL juga telah menyerahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada pimpinan DPR, yang diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Bagaimana nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini?
ADVERTISEMENT
“Itu (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) sudah di Komisi. Komisi yang terkait (Komisi VIII DPR). Sudah diharmonisasi,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebayo kepada kumparan, Rabu (8/3), bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional yang jatuh hari ini.
Ada 5 tahapan dalam proses pembentukan Undang-Undang (UU), yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Proses harmonisasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah dilewati merupakan bagian dari tahap penyusunan. Sebelumnya, akhir bulan lalu, 26 Januari, RUU tersebut telah diusulkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2017.
Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan disahkan mejadi UU?
Menurut Firman, lama waktu yang dibutuhkan agar RUU tersebut bisa menjadi UU adalah tergantung dari lama bahasan di komisi yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
"Tergantung dari Panja (Panitia Kerja) masing-masing. Ini semua kan macetnya di Panja Komisi," ujar Firman.
"Kamu cek saja di Panja Komisi VIII," imbuh Firman.
Komisi VIII DPR memiliki lingkup kerja bidang agama dan sosial, dengan mitra kerja antara lain Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sementara Ketua Komnas Perempuan Azriana RM mengatakan kepada kumparan melalui pesan singkat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual baru saja melewati proses harmonisasi Sekretariat Baleg DPR RI.
"(Sekarang) sedang menunggu Sidang Paripurna DPR RI untuk penetapan RUU ini sebagai inisiatif DPR RI. Jadi belum masuk pembahasan Komisi," kata Azriana.
Mengambil angka tertinggi dari hasil pemantauan selama lima tahun terakhir oleh Komnas Perempuan, 6.500 kasus kekerasan seksual terjadi dalam setahun.Itu menunjukkan, dalam sehari ada sekitar 18 kekerasan seksual yang terjadi. Dengan kata lain, 3 kasus kekerasan seksual dalam empat jam.
ADVERTISEMENT
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan bisa segera disahkan menjadi UU merupakan ketentuan khusus (lex specialist) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam KUHP.
Apa saja perbedaannya? Mari kita simak.
Beberapa isi pasal dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya.
(2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pelecehan seksual
b. Kontrol seksual
c. Perkosaan
d. Eksploitasi seksual
e. Penyiksaan seksual
f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
(3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian.
Pasal 6
(1) Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang.
(2) Bentuk-bentuk tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Pelecehan fisik;
b. Pelecehan lisan;
c. Pelecehan isyarat;
d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan
e. Pelecehan psikologis atau emosional
Pasal 7
(1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
ADVERTISEMENT
(2) Kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu;
b. Pemaksaan kehamilan;
c. Pemaksaan aborsi;
d. Pemaksaan sterilisasi; dan
e. Pemaksaan perkawinan.
Pasal 8
(1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Pasal 9
(1) Tindak pidana eksploitasi seksual adalah pemanfaatan tubuh dan/atau seksualitas korban tanpa persetujuan korban yang meliputi pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan untuk mendapatkan keuntungan seksual, ekonomi, sosial dan/atau politik, baik secara materil dan/atau immateril, dengan cara:
a. menggunakan kekuasaan, ancaman dan/atau penyalahgunaan kepercayaan untuk menjadikan seseorang sebagai pekerja seks untuk orang lain, dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain;
b. melakukan perbudakan seksual dengan menguasai kepemilikan atas tubuh korban dan menghilangkan kemerdekaan korban;
c. merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, dengan dan/atau penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya untuk tujuan eksploitasi seksual, termasuk perbudakan dan/atau pelacuran, untuk memperoleh keuntungan materil dan/atau immateriil bagi dirinya atau untuk orang ketiga, dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain;
ADVERTISEMENT
(2) Dianggap juga tindak pidana eksploitasi seksual, apabila pelaku melakukan hubungan seksual terhadap korban dengan cara:
a. memberikan iming-iming, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat dan/atau janji kawin kepada korban;
b. mengkondisikan korban berada dalam posisi subordinat dari pelaku, sehingga korban menjadi tergantung kepada pelaku untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan korban;
(3) Persetujuan korban eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana eksploitasi seksual.
Pasal 10
Tindak pidana penyiksaan seksual sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 ayat (2) huruf e adalah tindakan yang sengaja dimaksudkan untuk menghina, merendahkan martabat, dan/atau menyerang tubuh dan/atau seksualitas dengan sepengetahuan, persetujuan, persetujuan diam-diam atau pembiaran oleh pejabat yang bertujuan untuk:
ADVERTISEMENT
a. memperoleh pengakuan atau keterangan saksi dan/atau korban atau dari orang ketiga;
b. menghukum atas suatu perbuatan saksi dan/atau korban yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga;
c. mengancam atau memaksa sanksi dan.atau korban atau orang ketiga; atau
d. suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi.
Pasal 11
Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) huruf f adalah tindakan menyakiti, membuat rasa takut, dan/atau membuat rasa malu terkait dengan tubuh, organ reproduksi, dan/atau seksualitas.
Nasib perlindungan terhadap perempuan Indonesia yang selama ini tak punya payung hukum sempurna via KUHP, jelas bergantung pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Apakah DPR berkomitmen untuk serius membahasnya, atau tidak?
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Perempuan Internasional! Simak di sini rangkaian kisahnya