Feminisme Bukan Cuma Punya Perempuan

8 Maret 2017 8:09 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Gerakan perempuan di tahun 1911. (Foto: The U.S. National Archives)
8 Maret, 160 tahun lalu, saat gelombang industrialisasi melanda Eropa dan Amerika. Buruh perempuan di sebuah pabrik tekstil di New York menggelar demonstrasi. Mereka memprotes kondisi kerja buruk dan gaji rendah.
ADVERTISEMENT
Aksi protes itu dibubarkan oleh polisi setelah sebelumnya peserta demo diserang. Dua tahun kemudian, 1859, pada bulan yang sama, para perempuan buruh garmen tersebut membentuk serikat buruh.
Sekitar separuh abad kemudian, Maret 1911, lagi-lagi di New York, kebakaran terjadi di pabrik tekstil Triangle Shirtwaist dan menewaskan 146 buruh garmen --mayoritas perempuan, menjadikannya kecelakaan industri paling mematikan dalam sejarah kota itu.
Yang paling mengenaskan, para perempuan itu mati karena tidak dapat melarikan diri dari bangunan saat api berkobar. Pintu keluar dan pintu menuju tangga darurat dikunci manajer pabrik untuk mencegah buruh pulang lebih cepat.
Ketika truk pemadam datang, tangga truk hanya bisa mencapai tingkat keenam bangunan pabrik, sementara buruh juga terjebak di lantai 8, 9, dan 10. Alhasil, para buruh tak punya banyak pilihan. Tetap di tempat, dan mati. Atau lompat, dan juga mati.
ADVERTISEMENT
Itulah yang terjadi. Mereka loncat dari ketinggian, dan tewas.
Pintu masuk Science Building. (Foto: Wikimedia Commons)
Tragedi Triangle Shirtwaist tersebut memicu terbentuknya Serikat Buruh Garmen Perempuan Internasional yang memperjuangkan kondisi kerja aman dan layak.
Gerakan perempuan di abad 20. (Foto: Wikimedia Commons)
Gerakan perempuan timbul-tenggelam, namun tak pernah redup. Kebangkitan feminisme tahun 1960-an akhirnya berujung pada dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hari Perempuan Internasional yang diperingati rutin tiap tahun pada 8 Maret, hari ini.
Feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin femina (perempuan), dan secara harfiah memiliki arti: gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Ini gerakan yang mengakar sejak abad 17, bermula dari perjuangan agar perempuan yang saat itu kerap diposisikan sebagai masyarakat kelas dua, dapat memperoleh keadilan.
Feminisme salah satunya digencarkan oleh Wilhelmina Drucker, penulis sekaligus politisi Belanda. Ia berhasil membuat perempuan memiliki hak suara politik di negerinya.
ADVERTISEMENT
Namun perjuangan feminis tak berhenti di sana. Hingga kini feminisme terus bergerak, mengambil berbagai format perjuangan untuk menggaungkan suara perempuan yang masih terbungkam di berbagai wilayah dan kasus.
Laki-laki dalam gerakan perempuan. (Foto: Peter/Flickr)
Apakah feminisme cuma punya perempuan?
Pertanyaan itu muncul karena sebagian orang menganggap feminisme sebagai gerakan anti laki-laki.
Jawabannya: bukan sama sekali. Feminisme ialah perjuangan untuk perempuan yang bisa datang dari siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.
Tak jarang, mereka yang mengklaim sebagai feminis juga ialah lelaki. Jadi, salah kaprah apabila feminisme dianggap bentuk perlawanan terhadap lelaki.
Feminisme bukan cuma tentang perjuangan menempatkan perempuan pada posisi setara dengan pria, tapi juga agar perempuan punya kebebasan untuk memilih dan menentukan sesuatu bagi dirinya, dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang menjadi dorongan awal bagi Syaldi Sahude, pendiri dan penggerak Aliansi Laki-laki Baru (ALB) --wadah edukasi mengenai isu perempuan yang digalakkan oleh lelaki.
Diksi “baru” pada Aliansi Laki-laki Baru merujuk pada komitmen lelaki yang mau menanggalkan “karakter” lamanya yang opresif terhadap perempuan, dan berubah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri dengan memperjuangkan kesetaraan gender.
“Kenapa penting melibatkan laki-laki? Sebab kalau perubahan hanya melibatkan perempuan, ya tidak akan banyak bergerak. Makanya, harus ada laki-laki yang dilibatkan untuk sama-sama menyelesaikan masalah,” ujar Syaldi yang akrab disebut dengan Mas Botak.
Semangat perubahan yang didengungkan Syaldi kian kuat setelah ia dan kawan-kawannya menemukan fakta mencengangkan terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga: bahwa sebagian besar perempuan korban kekerasan akan kembali lagi ke pasangan yang menyiksa mereka.
ADVERTISEMENT
“Kami tergerak karena melihat beberapa kawan kami di ALB bekerja di women crisis centre. 80 persen perempuan korban KDRT kembali kepada pasangan yang melakukan kekerasan terhadapnya. Jadi ini akhirnya akan kembali lagi lingkaran kekerasannya. Kalau dibiarkan, akan terus berputar seperti itu,” kata Syaldi.
Berbekal fakta tersebut, Mas Botak dan kawan-kawannya berupaya membantu perempuan dengan cara melakukan edukasi pada lelaki muda.
Salah satu keterlibatan Aliansi Laki-laki Baru dalam gerakan perempuan adalah menjadi bagian dari Women’s March pada 4 Maret kemarin. Mereka aktif sebagai pengurus Women’s March dan bergerak berdampingan dengan para aktivis perempuan.
Semangat dan gebrakan para lelaki pejuang kesetaraan gender dapat dilihat dari banyaknya laki-laki yang turun ke jalan dan ikut dalam rombongan Women’s March.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan laki-laki dalam gerakan perempuan menjadi sebuah dorongan tersendiri dalam sejarah perjuangan perempuan.
Jalan menuju keadilan gender memang masih panjang, namun tak mustahil tercapai lewat perjuangan yang persisten dan konsisten.
Pasangan bergandengan tangan (Foto: Getty Images)
Ikuti rangkaian kisah gerakan perempuan di sini