Melihat Misi Tempur Women’s March Internasional & Indonesia

8 Maret 2017 13:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Women's March di Berlin, Jerman. (Foto: Hannibal Hanschke/Reuters)
Women’s March, protes massa untuk mengawal legislasi dan kebijakan dalam berbagai isu penting menyangkut masyarakat, melebarkan sayap dari tempatnya bermula di Amerika Serikat ke seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Misi besar Women’s March Internasional dibagi dalam 8 poin utama, yakni menghentikan kekerasan terhadap perempuan, kebebasan dan hak reproduksi bagi perempuan, memberikan hak kelompok LGBTQIA (lesbian, gay, biseksual, transseksual, queer, interseks, aseksual), memberikan hak bagi perempuan sebagai warga negara dan pekerja, memberikan hak kelompok penyandang disabilitas, serta keadilan lingkungan dan tata ruang.
Butir-butir perjuangan tersebut menjadi tuntutan yang terus ditekankan dalam setiap pelaksanaan Women’s March di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Tak lupa, tiap poin tuntutan disesuaikan dengan relevansi situasi dan kasus yang terjadi di masing-masing negara.
Kendati demikian, masih banyak perdebatan berpusar, meragukan kontekstualitas tuntutan yang ada di Indonesia dan belahan dunia lainnya.
Sebagian berpendapat tuntutan Wowen’s March Internasional tidak sesuai dengan konteks Indonesia, sebagian lagi bahkan menganggap Women’s March Indonesia hanya “meniru” Barat tanpa memahami esensi yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Benarkah begitu?
Women's March di Washington. (Foto: Lucy Nicholson/Reuters)
Women’s March lahir dari kegundahan yang diamini oleh perempuan di seluruh dunia, hanya saja dibedakan oleh momentum yang menjadi titik awal gerakan.
Women’s March Internasional pertama kali “dilahirkan” karena momen kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS. Ucapan Trump yang kerap seksis membuat banyak perempuan Amerika bangkit dan bersatu dalam gerakan yang dimotori Teresa Shook.
Trump pernah berucap “Grab them by the pussy” yang diarahkan kapada para model perempuan yang bekerja di yayasan miliknya. Pernyataan itu sudah pasti memicu kecaman dari para aktivis perempuan.
Tak cuma itu, Trump dikecam terkait ucapannya yang menyebut Alicia Machado, Miss Universe dari Venezuela, Miss Piggy dan Miss Housekeeping karena penampilannya yang menurut Trump tak lagi menarik lantaran berat badannya naik secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Ejekan itu dengan santai dilemparkan Trump, sembari menyatakan seharusnya seorang mantan putri dunia tetap memiliki tubuh yang indah, ideal, dan tak kelebihan lemak.
Karakter Trump yang seksis menimbulkan kekhawatiran begitu besar bagi aktivis perempuan Amerika. Fakta bahwa Trump akan memimpin AS 4 tahun ke depan, membuat sedikitnya 500 ribu aktivis perempuan AS turun ke jalan dan menyatakan perlawanan terhadap Trump.
Women's March di Paris, Perancis. (Foto: Jacky Naegelen/Reuters)
Women’s March yang semula berlangsung di AS lantas dibawa para aktivis perempuan internasional ke London, Jerman, Prancis, Sydney, Melbourne, hingga India. Sister march lantas digelar di berbagai negara.
Resonansi Women’s March sampai pula di Indonesia, negara yang menempati urutan 110 dari 180 negara dalam indeks ketidakadilan jender (GII) yang dikeluarkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) Human Development Reports.
ADVERTISEMENT
Tuntutan yang dikemukakan dalam Women’s March Internasional pun memiliki relevansi dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia.
Misalnya soal tuntutan penyelesaian masalah kekerasan seksual. Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2016, angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai 245.548 kasus. Angka itu adalah hasil rekapitulasi dari kasus yang tercatat dan terlapor. Bisa jadi, kasus sesungguhnya melebihi angka tersebut.
Selain tentang kekerasan seksual, kebijakan publik yang sensitif gender juga relevan dengan situasi di Indonesia. Indonesia dengan indeks kesetaraan gender yang rendah, memiliki sistem hukum yang masih cenderung mengabaikan kasus pelecehan seksual.
Salah satu contoh kasus teranyar pelecehan seksual di Indonesia ialah colek paha terhadap mahasiswi di bus TransJakarta yang dua hari belakangan ramai dibahas. Pada kasus tersebut, Kepolisian melepas pelaku dan menyebut insiden itu tak mengandung unsur pidana sehingga pelaporan korban tak dapat diproses.
ADVERTISEMENT
Nyata terlihat, perjuangan perempuan di Indonesia belum lagi usai. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur perlindungan lebih detail terhadap perempuan pun belum disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Selamat Hari Perempuan Internasional! Simak rangkaian kisahnya di sini