Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Hal tak mengenakkan baru-baru ini menimpa aktris Inggris, Emma Watson. Ia diterpa cacian, salah satunya dari Julia Hartley-Brewer, jurnalis radio dan presenter televisi senegaranya.
ADVERTISEMENT
Hartley-Brewer menganggap foto diri Emma yang menunjukkan sebagian payudaranya pada sampul majalah Vanity Vair tak sesuai dengan idealisme yang diusung oleh gerakan feminisme. Dan Watson ialah Duta Perserikatan PBB untuk kesetaraan gender.
Watson lantas dituding sebagai feminis munafik.
“Feminisme, feminisme, ketimpangan gender, ...dan ini payudara saya!” seru Hartley-Brewer, menyindir Watson dalam cuitannya.
Watson merespons, menyebut feminisme ialah tentang pembebasan, kebebasan, dan kesetaraan. Termasuk tentang otoritas perempuan terhadap tubuh miliknya sendiri.
Tiap perempuan, ujar Watson, punya hak melakukan apapun atas tubuhnya tanpa intervensi pihak lain.
Kasus Watson lantas memunculkan pertanyaan yang mungkin sesungguhnya telah mengendap lama: kenapa perempuan justru saling serang? Memangnya “feminisme” seperti apa yang benar?
Feminisme, yang secara harfiah berarti “gerakan perempuan menuntut persamaan hak dengan lelaki” memang memiliki beberapa aliran, mulai radikal hingga posfeminisme.
ADVERTISEMENT
Tiap aliran feminisme memiliki titik tekan isu dan perspektif berbeda, dan karenanya sangat mungkin cara perjuangannya satu sama lain berbeda.
Contohnya, definisi “keberhasilan perjuangan” feminisme liberal berbeda dengan definisi yang diusung oleh feminisme marxist-sosialis.
Feminisme liberal ingin mencapai kesamaan hak perempuan dan laki-laki untuk mengenyam pendidikan tinggi dan berkarier. Sementara feminisme marxist-sosialis ingin mendobrak tatanan kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan.
“Kontradiksi” karena perbedaan aliran itulah yang muncul dalam gerakan feminisme.
Dalam kasus Emma Watson, konsep dan perjuangan feminisme dipahami dalam pemaknaan berbeda. Hal ini dapat dilihat dari ucapan Watson yang dengan tegas menegasikan pernyataan Hartley-Brewe mengenai feminisme.
Bila melihat rangkaian “perdebatan”, Hartley-Brewe memiliki pemahaman berbeda dengan Watson terkait feminisme. Dalam cuitan di akun pribadinya di Twitter, Hartley-Brewe secara blakblakan menyatakan Watson munafik dengan menyuarakan feminisme kepada khalayak, sementara membiarkan seksualitasnya dieksploitasi melalui serangkaian photo shoot untuk Vanity Fair.
ADVERTISEMENT
Hartley-Brewe berpendapat, tak seharusnya seorang feminis menunjukan payudaranya di majalah. Menurutnya, sikap itu salah satu bentuk eksploitasi terhadap seksualitas perempuan.
Sementara dalam pandangan Emma Watson, poin dari feminisme adalah tentang memberi ruang bagi perempuan untuk membuat pilihan. Bukan menjadi “tongkat” yang digunakan untuk menyerang perempuan lain.
Feminisme dimaknai Watson sebagai bentuk kebebasan dan pembebasan.
Sebagai sebuah gagasan, feminisme memang memiliki keragaman cara berpikir. Yang patut disayangkan, perbedaan ini lantas membuat sebagian perempuan terjebak dalam perlombaan untuk menunjukkan siapa yang paling feminis.
Padahal apalah itu artinya, sebab yang terpenting adalah memperjuangkan sesama kaumnya agar keluar dari kesulitan yang mendera mereka.
Dalam bukunya yang berjudul The Variety of Feminisms and Their Contribution to Gender Equality, Judith Lorber menyatakan keragaman aliran feminisme tak lantas menjadi alasan untuk menghancurkan semangat juang feminisme itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Masing-masing spektrum feminisme dapat menyuarakan beragam suara di dunia, dan semuanya dapat duduk bersama sejenak untuk memastikan tiap suara didengar dan dilibatkan dalam perjuangan bersama.
Feminisme pun, tentu saja, tak sekadar bicara dan bergosip soal payudara Emma Watson.
Ikuti rangkaian kisah gerakan perempuan di sini
ADVERTISEMENT