Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Aksi Women’s March di Indonesia, Seberapa Riuh?
8 Maret 2017 6:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Women’s March belum lama muncul. Namun dua kata itu belakangan kian menggema. Diusung gerakan perempuan dunia yang membentuk mata rantai sambung-menyambung di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Dari Amerika, Eropa, hingga Asia, Women’s March digelar sporadis, namun kian bergaung dengan konteks perjuangan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.
Hari ini, 8 Maret, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, mari kita lihat lagi seperti apa kemeriahan aksi Women’s March Indonesia di Jakarta akhir pekan lalu, Sabtu (4/3).
Simak foto-foto berikut.
Para penggerak aksi Women's March Indonesia berkumpul dan mendengarkan orasi.
"Sedikit" data untuk menggambarkan realita yang dihadapi perempuan dan kelompok minoritas lain.
Poster tuntutan soal kesehatan reproduksi dan kekerasan terhadap perempuan.
Para peserta aksi dan posternya yang "menampar".
Para pembela hak perempuan buruh migran dan petani yang sering kali luput dari perhatian.
Dari mana sesungguhnya keriuhan Woman’s March ini bermula?
ADVERTISEMENT
Jawabannya simpel: Donald Trump.
Ya, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat memicu semua ini. Masyarakat dunia, termasuk perempuan, kerap mengecam ucapan-ucapan Trump yang cenderung rasialis dan seksis.
“When you’re a star, they let you do it. You can do anything. Grab them by pussy,” kata Trump dengan kurang ajarnya pada satu kesempatan, menunjukkan ketiadaan penghormatannya kepada perempuan.
Maka banyak perempuan, baik di Amerika dan dunia, tak habis pikir dengan fakta yang mau-tak mau kini mesti mereka telan: kok bisa seorang rasis-diskriminatif seperti Trump bisa memimpin negara?
Terasa aneh tapi nyata, tapi demikianlah hidup tak selalu manis dicecap.
Kejayaan seorang Donald Trump menjelma menjadi “ancaman” yang kemudian menggugah perempuan dunia untuk bersatu.
ADVERTISEMENT
Muncullah Women’s March. Aksi ini pertama kali berlangsung 21 Januari, diinisiasi oleh Teresa Shook --perempuan Hawaii yang merasa Amerika telah salah memilih pemimpin.
Karena jarak Hawaii-Washington yang cukup jauh, terpisah Samudra Pasifik, Teresa lantas membuat undangan aksi via internet dengan mengunggahnya melalui akun Facebook pribadi.
Semula direspons 40 orang, undangan Teresa itu ternyata mendapat sambutan lebih luas. Ratusan ribu orang pada akhirnya menyatakan diri akan bergabung.
Bola membesar. Antusiasme warga membuat Women’s March menjadi salah satu gerakan terbesar di dunia tahun ini.
Dari Amerika, api gairah gerakan perempuan merembet lintas benua.
Women’s March di Indonesia merupakan rangkaian sister march dari Women’s March di AS Januari lalu itu. Jadi bagian dari gerakan perempuan skala global yang makin masif selama dua bulan terakhir.
ADVERTISEMENT
Aksi ini juga titik penting dalam perjuangan perempuan Indonesia. Ia jadi salah satu wadah bagi para perempuan untuk mengekpresikan kemarahan dan ketidakpuasan terhadap situasi negara yang cenderung represif.
Memang, perempuan Indonesia tidak sedang berhadapan dengan sosok Trump. Namun, sistem pemerintahan yang kurang sensitif gender --layaknya kecenderungan Trump di AS-- menjadi salah satu isu yang ditekankan dalam Women’s March di Indonesia.
Seratusan perempuan dan lelaki mengikuti Women’s March di Indonesia. Mereka berjuang berdampingan untuk hak perempuan Indonesia, juga kaum marginal lain.
Salah satu motor Women’s March Indonesia adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dukungan juga datang dari para musisi dan seniman.
Simak rangkaian kisah gerakan perempuan di sini
ADVERTISEMENT