Cover Lipsus, Waswas Dewan Pengawas KPK

Dewan Pengawas, Ramuan Pemanis Jokowi untuk KPK

23 Desember 2019 12:17 WIB
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewan Pengawas KPK. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dewan Pengawas KPK. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Tawa bergemuruh saat Tumpak Hatorangan berdiri terpaku di baris tamu kehormatan perkenalan pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi. Tumpak baru saja dilantik Presiden Jokowi sebagai salah satu Dewan Pengawas KPK, dan ia seharusnya melangkah menuju panggung utama di aula KPK.
Namun alih-alih berjalan ke panggung, lelaki 76 tahun itu malah berhenti untuk memeluk rekan sejawatnya kala memimpin KPK periode KPK 2003-2007, Taufiequrachman Ruki. Keduanya, setelah acara usai, kembali berangkulan diiringi tepuk tangan hadirin yang mayoritas merupakan pegawai KPK.
Ruki, purnawirawan Polri sejak 1997, tak terpilih sebagai Dewan Pengawas KPK. Ia merasa koleganya, Tumpak, memang lebih pas menduduki posisi itu. “Sudah paling tepat,” ujarnya.
Dewan Pengawas, berdasarkan UU KPK hasil revisi 2019, sesungguhnya tak sekadar menjalankan fungsi pengawasan. Ia bahkan menggenggam peran kunci dalam penegakan hukum. Sebab, kini, wewenang penyadapan dan penggeledahan yang selama ini menjadi andalan KPK dalam mengungkap kasus korupsi, bergeser ke lima tangan Dewan Pengawas.
Taufiequrachman Ruki. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sepekan sebelum nama-nama Dewan Pengawas resmi diumumkan, Tumpak dan Ruki santer disebut-sebut bakal mengisi bersama jabatan itu. Nama Ruki terang-terangan disebut Jokowi sebagai salah satu kandidat.
Jokowi juga ketika itu memberi sedikit petunjuk. “Nama-nama sudah masuk, tapi belum difinalkan karena kan hanya lima—ada dari hakim, jaksa, mantan KPK, ekonom, akademisi, ahli pidana,” kata Jokowi di Balikpapan, Rabu (18/12).
Pagi di hari pelantikan, Jumat (20/12), Ruki menerima banyak ucapan selamat yang masuk ke ponselnya, tak terkecuali dari pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan.
“Selamat ya masuk lagi,” kata Ruki menirukan ucapan orang Istana itu tanpa menyebut nama.
Namun, gelombang ucapan selamat tak disertai panggilan resmi dari Istana untuk menghadiri pelantikan pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang bakal digelar di Istana Merdeka siang harinya. Hingga sebelum salat Jumat, Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Pelantikan Dewan Pengawas KPK meluncur ke meja Jokowi. Tak ada nama Ruki di dalamnya.
Presiden Jokowi berjabat tangan dengan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan di Istana Negara. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Jokowi akhirnya memilih Tumpak sebagai Dewan Pengawas dari latar mantan pimpinan KPK. Empat nama lainnya adalah mantan hakim agung Artidjo Alkostar, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Nusa Tenggara Timur Albertina Ho, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang juga mantan wakil ketua MK Harjono, dan pakar politik LIPI Syamsuddin Haris.
Bisa dibilang, pemilihan Dewan Pengawas juga tergantung pada restu presiden. Pasal 69A UU KPK memberi kewenangan penuh kepada presiden untuk memilih Dewan Pengawas. Di dapur Istana, proses pemilihan itu menempuh jalan berliku.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno didapuk menjadi Ketua Tim Internal Seleksi Dewan Pengawas KPK. Proses seleksi dimulai 7 November, dan ditangani beberapa staf khusus presiden seperti Ari Dwipayana, Fadjroel Rachman, Sukardi Rinakit, Dini Purwono, dan Alexander Lay.
Tim seleksi berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mendapat masukan, dan menyaring 30 nama potensial dari berbagai latar belakang. Tim tidak menggelar uji kelayakan terbuka, namun bergerilya menjaring informasi secara tertutup.
Tim—yang juga melibatkan Sekretariat Negara—menggunakan berbagai metode seleksi. Tumpak, misalnya, diundang Menteri Sekretaris Negara Pratikno ke kantornya untuk bicara empat mata, tiga hari sebelum pelantikan.
Kepada Tumpak, Pratikno melontarkan sejumlah pertanyaan, dari bagaimana UU KPK baru bisa memperkuat pemberantasan korupsi hingga kontroversi yang sempat muncul karenanya.
“Kalaupun nanti ada kesulitan-kesulitan, pelan-pelan kita bisa perbaiki kembali,” kata Tumpak di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Anggota Dewan Pengawas KPK di Istana Negara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Daftar kandidat Dewan Pengawas KPK didominasi tokoh berlatar belakang hukum. Selain Artidjo, Tumpak, dan Albertina, yang berlatar belakang hakim, terdapat nama praktisi hukum lain seperti eks pejabat Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo.
Ekonom juga mewarnai lis tersebut, yakni Faisal Basri yang dosen Universitas Indonesia. Di awal pemerintahan Jokowi-JK, Faisal pernah ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas bentukan Kementerian ESDM. Kini mengawali periode keduanya, Jokowi ingin perkara korupsi di sektor migas dituntaskan.
Faisal yang dihubungi kumparan soal masuknya nama dia di daftar awal Dewan Pengawas KPK, tak merespons pesan singkat maupun panggilan telepon.
Sehari menjelang pelantikan, nama-nama Dewan Pengawas KPK belum sepenuhnya bulat kecuali Artidjo dan Albertina. Pratikno baru menghubungi nama-nama terpilih pada Kamis malam (19/12).
“Satu hari menjelang pelantikan, baru lengkap terkumpul lima nama,” kata Dini Purwono, Juru Bicara Presiden Bidang Hukum, kepada kumparan, Minggu (22/12).
Ketua DKPP Harjono dihubungi Pratikno pukul 22.00 WIB untuk membicarakan pinangan Presiden. “Ditelepon, ditanya sanggup nggak,” kata Harjono kepada kumparan.
Telepon larut malam dari Pratikno juga diterima oleh Tumpak dan Albertina. Esok paginya, Sekretariat Negara mengirim undangan pelantikan kepada nama-nama terpilih.
Dewan Pengawas KPK. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI dua periode, ditunjuk sebagai Dewan Pengawas KPK terkait kepakarannya. LIPI pernah bekerja sama dengan KPK dalam menyelenggarakan pelatihan integritas bagi kader partai politik.
“Perspektif soal demokrasi dan korupsi penting bagi Dewan Pengawas,” kata sumber kumparan soal pemilihan nama Syamsuddin.
Namun, beberapa akademisi lain menolak lamaran Tim Seleksi. Pasalnya, berdasarkan UU KPK, anggota Dewan Pengawas harus meninggalkan profesi dan jabatan yang saat ini mereka pegang. Syarat ini dianggap memberatkan, dan sejumlah akademisi tak mau meninggalkan kampus meski masuk kualifikasi sebagai Dewas.
Selain latar hukum dan politik, mereka yang berasal dari kepolisian juga masuk daftar. Kebanyakan nama yang muncul adalah purnawirawan polisi seperti Ruki. Sumber kumparan pun mengungkap satu nama lagi—kali ini perwira aktif yang menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius.
Suhardi yang dikonfirmasi kumparan hanya tersenyum dan menolak menjawab. Ia menyebut soal itu di luar wewenangnya.
Pada akhirnya, tidak ada tokoh berlatar belakang Polri dalam Dewan Pengawas KPK. Alasannya, karena ketua baru KPK, Komisaris Jenderal Firli Bahuri, sudah berasal dari Polri.
“Fungsi Dewas adalah untuk melengkapi atau memberikan perspektif lebih menyeluruh, sebagai masukan kepada pimpinan KPK. Jadi memang tidak boleh (berlatar) sama supaya ada keragaman perspektif, sehingga pendekatan yang diambil KPK bisa lebih komprehensif,” kata Dini Purwono.
Menanti Taji Dewan Pengawas KPK. Desainer: Nadia Wijaya/kumparan
Otoritas penuh yang dipegang Jokowi dalam memilih anggota Dewan Pengawas diklaim meminimalisasi masuknya kepentingan politik. Sumber kumparan di lingkaran Istana menyebut, kinerja tim aman dari intervensi partai.
“Di UU kan sudah menjadi kewenangan presiden. DPR juga sudah percaya. Kerja kami lancar-lancar aja,” kata sumber tersebut.
Meski demikian, nama Harjono dikabarkan dekat dengan PDIP. Harjono yang pernah mendaftar sebagai Komisioner Komisi Yudisial pada 2014, kala itu ditanya soal kedekatannya dengan partai banteng. Ia lalu mengatakan menolak tawaran menjadi caleg PDIP pada Pemilu 1999.
Sementara ketika duduk sebagai hakim konstitusi pada 2003-2014, Harjono terpilih dari elemen partai politik.
Harjono sendiri membantah keras peran parpol dalam proses seleksi Dewan Pengawas KPK. "Hanya Mensesneg yang telepon saya. PDIP nggak pernah komunikasi sama sekali,” katanya.
Senada, politikus PDIP Hendrawan Supratikno menampik dugaan adanya campur tangan partainya. “Itu sepenuhnya kewenangan presiden.”
“Tidak ada intervensi partai (dalam seleksi Dewan Pengawas KPK),” kata Dini Purwono.
Istana meyakini telah memilih nama yang tepat. Tiga anggota Dewan Pengawas yang berasal dari lingkup penegak hukum dikenal memiliki rekam jejak baik. Artidjo, misalnya, “hobi” memberatkan vonis kasus korupsi semasa menjabat Hakim Agung.
Palu Artidjo pernah memperberat vonis Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh dalam kasus Hambalang pada 2012. Artidjo juga memvonis pengacara OC Kaligis 10 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 5 tahun.
Albertina juga tak kalah garang dalam menangani kasus korupsi. Kasus penggelapan pajak mantan pegawai Dirjen Pajak Gayus Tambunan ia vonis 7 tahun penjara. Setali tiga uang. Tumpak Hatorangan punya julukan buldoser koruptor.
“Mereka orang-orang yang tegas, memegang prinsip, dan tidak kenal kompromi,” tegas Dini.
Meski demikian, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti berpendapat, integritas tokoh bukan satu-satunya nilai.
“Siapa pun yang ada di situ tidak akan bisa berbuat banyak untuk kelangsungan KPK. Tidak ada angin segar. Pak Jokowi seperti memberi ‘permen’ ke kita biar lumayan senang, padahal tidak ada artinya dengan KPK yang sudah dirombak total seperti sekarang,” kata Bivitri.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar berkata, “Persoalannya bukan pada orangnya (dalam Dewan Pengawas), namun sistemnya.”
Menurut dia, inti masalah ada pada “berakhirnya” KPK sebagai lembaga independen, sehingga berpotensi dapat “diatur” pemerintah.
Bvitri dan Ficar kompak menyampaikan pesan serupa: jangan terlena dengan Dewan Pengawas KPK.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten