Gerak Senyap Cholid Abu Bakar, Dalang Teror Surabaya

18 Mei 2018 9:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
22
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Cholid Abu Bakar raib begitu lima bom beruntun mengguncang Surabaya, Minggu hingga Senin pagi, 13-14 Mei 2018. Bom-bom jenis ‘mother of satan’ yang biasa digunakan kelompok ISIS di Suriah dan Irak itu dibawa oleh tiga keluarga--yang seluruhnya jemaah pengajian Cholid.
ADVERTISEMENT
Tiga keluarga itu nyaris semua tewas, menggemakan kengerian ke seluruh dunia. Indonesia jadi negara pertama tempat teroris melancarkan serangan secara berkeluarga (family suicide bombers).
Keluarga Dita Oepriarto yang meledakkan bom di tiga gereja, keluarga Tri Murtiono yang meledakkan bom di pintu masuk Markas Polrestabes Surabaya, dan keluarga Anton Ferdiantono yang terkena ledakan bom yang tengah ia rakit di rusunnya sendiri, sama-sama berguru pada Cholid Abu Bakar.
“Mereka pengajian rutin tiap minggu, (datang ke pengajian) yang sama, sering bertemu,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin, Selasa (15/5).
Pengajian biasanya digelar di rumah Dita--yang kemudian disebut polisi sebagai pemimpin JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Surabaya. Ini bukan pengajian khusus bapak-bapak atau ibu-ibu seperti yang jamak dijumpai, melainkan pengajian keluarga dengan membawa serta istri dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pengajian pun dilengkapi dengan pemutaran tayangan jihad. “Anak-anak menjadi korban doktrin (radikal). Bapak, ibu, anak, ‘lewat’ semuanya. (Sebagian) anak-anak itu tidak disekolahkan,” tutur Machfud.
Keluarga Dita, Anton, dan Tri bukannya baru kenal dengan Cholid. Dua tahun lalu, Januari 2016, mereka bersama-sama mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), di Lapas Kembangkuning, Nusakambangan.
“Dita dan (Cholid) Abu Bakar sama-sama mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir tahun 2016,” kata Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera.
Namun bukan cuma Dita dan Cholid yang menyambangi Ba’asyir. Ikut pula Tri, Anton, dan Budi Satrio. Nama mereka berlima tercatat dalam dokumen Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) bersama-sama bertemu Ba’asyir.
ADVERTISEMENT
Budi Satrio yang disebut terakhir kini telah tewas dalam penyergapan polisi di rumahnya, Sidoarjo, Senin (14/5). Ia, menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, merupakan tokoh nomor dua di JAD Surabaya setelah Dita. Budi disebut berperan sebagai penampung dana JAD Jawa Timur.
Masih pada bulan yang sama, Januari 2016, Dita, Tri, dan Anton--tanpa Budi dan Cholid--juga menjenguk Aman Abdurrahman, pemimpin JAD, di penjara.
“Masa kalau nggak kenal bisa berkunjung bersama,” kata Adhe Bhakti, pakar terorisme dan Direktur Eksekutif PAKAR, kepada kumparan, Kamis (17/5).
Kunjungan tamu bagi narapidana teroris, menurut Ali Fauzi--eks anggota JI yang juga adik Amrozi teroris Bom Bali--memang kerap menyambung komunikasi yang tersekat dinding penjara.
“Meski pemimpin ditangkap, jaringan second line masih aktif. Membesuk mereka yang ada di dalam bui itu bagian dari membangun komunikasi,” ujarnya.
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP/JEWEL SAMAD)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dalang teror. (Foto: AFP/JEWEL SAMAD)
Cholid, guru mengaji para bomber Surabaya, sesungguhnya bukan orang baru meski jarang terdengar. Ia sosok senior, dan perannya bukannya tak penting meski namanya tak muncul dalam struktur apa pun di JAD.
ADVERTISEMENT
Seperti Aman Abdurrahman, Cholid Abu Bakar adalah ideolog. Otak dari ideologi radikal yang menyusup dan mengental di kepala keluarga Dita, Anton, dan Tri. Ia amat mungkin mastermind di balik teror Surabaya.
“Dia dulu simpatisan JI, lalu beberapa tahun terakhir ‘mengeras’ menjadi pro-ISIS, dan berangkat ke Suriah. Berhasil masuk Suriah selama 1,5 tahun, baru pulang ke Indonesia tahun 2017. Masih segar,” kata Ridwan Habib, pengamat terorisme UI dan Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute.
“Saya menduga, Cholid yang mengatur pembagian tugas (dalam teror Surabaya). ‘Lo bantu logistik’, ‘Lo bantu rakit’, ‘Lo cari dana’, dan seterusnya,” ujar Ridwan.
Nama mirip Cholid, Khalid Abu Bakar, tercantum dalam data deportan milik Civil Soceity Against Violent Extremism (C-Save).
ADVERTISEMENT
“Di data deportan tahun lalu, ada nama Khalid Abu Bakar. Dia kembali ke Indonesia Januari 2017. Kami belum bisa memastikan itu (Cholid Abu Bakar), tapi perkiraan kami itu orang yang sama,” kata Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-Save kepada kumparan, Rabu (16/5).
Cholid yang telah tinggal 1,5 tahun di Suriah sesungguhnya juga returnee, yakni orang yang kembali dari Suriah dan sudah berperang atau setidaknya menerima pelatihan di sana. Ia bukan deportan biasa yang umumnya tertangkap di Turki atau perbatasan Suriah, lantas dideportasi ke Indonesia.
Sepulang dari Suriah tahun 2017, Cholid diam-diam terus mengembangkan dakwah versinya. “Termasuk menjadi motor kelompok Dita di Surabaya,” ujar Ridwan.
Operasi senyap Cholid makin berbahaya karena ia bergerak luwes lintas faksi pro-ISIS. Ia diterima di JAD, JAK, sampai faksi Abu Husna (Katibah al-Iman).
ADVERTISEMENT
“Cholid tidak eksklusif, dan itulah kehebatan dia. Komunikasinya dengan jejaring-jejaring kelompok klandestin lama masih berjalan,” kata Ridwan.
Hingga sekitar 30 terduga teroris dibekuk Kepolisian sampai Jumat (18/5), Cholid belum tertangkap.
“Masih dikejar,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin belum lama ini.
Komunikasi Cholid dengan ‘pemain-pemain’ lama menghasilkan ‘orkestra’ teror yang berbeda dengan pola umum serangan JAD.
Jika JAD umumnya menggunakan senjata atau bom sederhana, dengan teknik serangan cepat yang tak butuh rencana lama; teror Surabaya sangat terencana--simultan terhadap tiga sasaran (Gereja Santa Maria, GKI Diponegoro, GPPS Arjuno), disusul serangan lanjutan di Polrestabes.
Bahan-bahan bom yang digunakan pun bukan karakteristik JAD. “Biasanya ledakan (bom JAD) tidak semasif dan sebesar itu,” ucap Ridwan.
ADVERTISEMENT
Ia menduga, JAD tak bergerak sendiri dalam teror Surabaya. “JAD dibantu oleh faksi-faksi lain yang cukup kuat, yaitu faksi eks JI pro-ISIS yang punya pengalaman andal merakit bom di masa lalu.”
Jemaah Islamiyah yang dulu dikendalikan Abu Bakar Ba’asyir, dikenal dengan serangan bom berdaya ledak tinggi. JI, misalnya, disebut berada di balik tragedi Bom Bali dan Bom JW Marriott. Namun seiring melemahnya jaringan Al-Qaeda pasca-Osama bin Laden tewas, JI mengalami perpecahan, digantikan kini oleh era JAD di bawah Aman Abdurrahman.
Evolusi Kelompok Teror di Indonesia (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Evolusi Kelompok Teror di Indonesia (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Bermula Mako Brimob
Teror Surabaya tak lepas dari huru-hara yang pecah di Mako Brimob, Selasa (8/5). Kala itu rutan dikuasai para narapidana teroris selama 36 jam, dan Aman Abdurrahman sang pemimpin spiritual ‘diturunkan’ polisi--lewat rekaman suaranya yang diputar--untuk menenangkan narapidana teroris yang mengamuk dan menyandera anggota Densus.
Mako Brimob dijaga ketat usai kerusuhan napi. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mako Brimob dijaga ketat usai kerusuhan napi. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
“Kerusuhan Mako Brimob membangunkan sel-sel tidur sehingga mereka tergerak untuk menyerang, sekaligus mengakselerasi beberapa kelompok pro-ISIS yang akan melakukan amaliah,” kata Adhe Bhakti.
ADVERTISEMENT
Mereka yang ‘bangun tidur’ kemudian mengambil peralatan seadanya untuk menyerang, termasuk pisau dan gunting. Sementara kelompok yang memang sedang mempersiapkan serangan, mempercepat jadwal aksi dari rencana semula.
“Mereka mengambil momen, dan berhasil. Masyarakat panik dan polisi keteteran.”
Dalam kondisi ‘terpicu’ seperti itu, Adhe sepakat dengan Ridwan: kelompok penyerang bukan hanya JAD. Ia bisa dari faksi pro-ISIS yang mana saja.
Gayung saling bersambut. Ledakan dan aksi teror terus-menerus berbunyi seperti pesan berantai. Kini sel-sel pro-ISIS di Indonesia sedang aktif menyerang.
“Tahun 2015 saja pendukung ISIS ada di 16 provinsi, sampai Papua Barat. Paling banyak di Jawa dan Sumatera,” ucap Adhe.
Di antara kelompok pro-ISIS di Indonesia, JAD di bawah Aman Abdurrahman punya struktur paling mapan dan terorganisasi. Ia memiliki amir (pemimpin) pusat dan amir-amir wilayah.
ADVERTISEMENT
“Kalau dirunut, simpul jejaring tetap di Aman. JAD sangat cair, seperti franchise. Mereka bisa menggelar aksi, berbaiat, mengangkat pimpinan wilayah, lalu bilang ‘Kami cabangnya Aman’ tanpa sepengetahuan Aman. Asal sama-sama pro-ISIS dan menaati tata tertib bersama,” ujar Ridwan.
Dalam konteks itu, apakah terlibat teror secara langsung atau tidak, Aman--meminjam istilah Kurnia Widodo, eks teroris yang pernah jadi muridnya--ibarat Ayatullah (pemimpin spiritual tertinggi) bagi JAD.
“Yang menerjemahkan buku-buku induk ISIS pertama kali (di Indonesia) itu ya Aman,” kata Navhat Nuraniyah, peneliti Institute of Policy Analysis of Conflict.
“Kalau bicara JAD, ideolognya adalah Aman Abdurrahman. Dia orang yang kata-katanya didengar oleh jemaah. Sama seperti Cholid, dia tidak ada di struktur JAD. Mereka penggerak, pendorong,” kata Adhe.
ADVERTISEMENT
Kharis Hadirin, eks ekstremis dan peneliti terorisme, berpendapat teror Surabaya tak lepas dari lampu hijau yang diberikan Aman ketika Mako Brimob rusuh.
Lampu hijau itu, menurutnya, terselip dalam rekaman suara Aman yang diputar untuk menenangkan narapidana teroris saat kekacauan berdarah terjadi.
“Ada potongan kalimat Aman yang begini, ‘… untuk urusan dunia, tidak pantas terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kecuali masalah prinsipiel yang tidak bisa ditolerir. [...] Untuk malam ini agar meredam dulu [...] tidak ada manfaat juga bikin keributan di kandang singa.’ Ucapan itu, menurut saya, merupakan bentuk teguran,” ujar Kharis.
Peneliti yang bekerja sama dengan pakar terorisme Noor Huda Ismail di Yayasan Prasati Perdamaian itu melanjutkan, perkataan Aman tersebut bisa diartikan, “Kerusuhan di Mako Brimob itu urusan dunia, tapi kalau terkait akidah--masalah prinsipiel--tidak apa-apa ambil sikap.”
ADVERTISEMENT
Namun Navhat menilai Aman bukan sutradara teror Surabaya. “Saya pikir dia sudah tidak terlibat secara operasional. (Pada serangan) yang sekarang ini, dia lebih seperti inspirator.”
Ali Fauzi sependapat. “Kalau memimpin (serangan), tidak. Saya rasa serangan di Surabaya bukan order dia (Aman), tapi inisiatif anak buah di lapangan melihat kondisi pasca-rusuh di Mako Brimob.”
Rumah keluarga Dita, teroris Surabaya. (Foto: Phaksy Sukowati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah keluarga Dita, teroris Surabaya. (Foto: Phaksy Sukowati/kumparan)
Kemungkinan Cholid Abu Bakar sebagai dalang teror membuat Ali Fauzi heran. Seingatnya, Cholid terbiasa hidup sendiri dan tak terikat organisasi mana pun.
Ridwan mengiyakan. Menurutnya, Cholid memang tak bekerja secara terikat dengan siapa pun, dan karenanya mampu bekerja dengan banyak pihak sekaligus.
Kini lima hari berlalu sejak rangkaian bom meledak di Surabaya, dan keberadaan Cholid masih misterius.
ADVERTISEMENT
Kenapa Surabaya yang diserang teroris? Simak jawabannya di sini: Surabaya, Poros Evolusi Jejaring Radikal Indonesia
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Dalang Teror di Liputan Khusus kumparan.