Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Indonesia tak pernah surplus gula . Ini yang membuat penetapan Tom Lembong sebagai tersangka menuai banyak komentar publik. Bukti dan kekuatan pasal yang dikenakan oleh Kejaksaan dipertanyakan.
***
Setelah berjam-jam diperiksa sebagai saksi, Tom Lembong kaget ketika seorang penyidik Kejaksaan Agung tiba-tiba mengatakan akan memeriksanya sebagai tersangka. Malam itu, 29 Oktober 2024, Tom tak sempat meminta datang kuasa hukumnya ketika di-BAP sebagai tersangka. Kejagung-lah yang menyiapkan seorang pengacara untuknya.
Lelaki bernama lengkap Thomas Trikasih Lembong itu dijerat kasus dugaan korupsi impor gula saat menjabat Menteri Perdagangan periode 2015–2016. Perkara tersebut tengah disidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Alhasil, Tom yang siang datang dengan setelan kasual berkemeja hitam, malamnya keluar dengan rompi tersangka dan tangan diborgol.
“Menyerahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar Tom saat digiring ke mobil tahanan di Gedung Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tom menjadi tersangka dalam pemeriksaan keempatnya. Mantan Co-Captain Timnas Anies-Muhaimin (AMIN) itu dituding melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri karena memberi izin impor gula pada 2015 saat pasokan gula dalam negeri sedang surplus atau berlebih.
Izin impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton yang diberikan Tom Lembong kepada perusahaan swasta PT Angel Products (PT AP) dianggap tak melalui koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait. Padahal, ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar, rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015 menyebut bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
“Akan tetapi pada tahun 2015, Menteri Perdagangan, Tersangka TTL (Tom Lembong), memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk mengolah gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal putih (GKP),” kata Qohar, Selasa (29/10).
Keputusan Tom Lembong memberi izin impor itu disebut melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 yang pada pokoknya mengatur bahwa yang diperbolehkan mengimpor GKP adalah BUMN. Dalam hal ini, PT AP bukan BUMN, dan ia mengimpor gula mentah.
Tom Lembong juga dianggap mendapatkan keuntungan dari impor gula pada Januari 2016. Tom disebut menandatangani surat penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI)—yang merupakan BUMN—untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula.
Impor gula oleh PPI dilakukan melalui kerja sama dengan delapan perusahaan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300 ribu ton.
Kebutuhan akan stabilisasi gula sudah melalui Rakor Bidang Perekonomian pada 28 Desember 2015. Rakor itu menyebut bahwa pada 2016 Indonesia akan kekurangan GKP sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula.
Argumen pemberian izin impor untuk awal 2016 itu tak dipersoalkan dan dianggap sudah sesuai kebutuhan dalam negeri. Tapi yang dipermasalahkan dan dianggap melanggar hukum adalah pemberian izin dan proses impor oleh PPI dan delapan perusahaan lain.
Seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung. Tapi PPI malah mengimpor gula kristal mentah dan bekerja sama dengan 8 perusahaan swasta untuk mengolah GKM itu menjadi GKP. Padahal perusahaan-perusahaan swasta itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi.
Impor GKM oleh PPI itu dianggap memengaruhi harga gula di pasaran, sebab setelah kedelapan perusahaan swasta yang bekerja sama dengannya mengolah GKM itu menjadi GKP, PPI seolah-olah membelinya. Padahal gula tersebut dijual ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16 ribu per kilo.
“Lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp 13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar,” kata Qohar.
Dalam kasus ini, Tom Lembong dijerat bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI Charles Sitorus. Charles diduga berperan membuat perjanjian dengan 8 perusahaan swasta plus satu perusahaan lagi, PT KTM, untuk mengimpor GKM padahal yang dibutuhkan saat itu adalah GKP.
Tindakan Charles membuat perjanjian dengan perusahaan-perusahaan swasta itu diduga diketahui Tom Lembong. “Atas sepengetahuan dan persetujuan Tersangka TTL [Tom Lembong], persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta,” ujar Qohar.
Aktivitas tersebut dianggap memperkaya korporasi dan merugikan keuangan negara. PT PPI diduga mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105 per kilogram.
Dalam hal ini, meski Tom Lembong tak menerima aliran uang, Kejagung tetap menjeratnya dengan Pasal Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Charles juga dijerat pasal serupa.
Tom dituduh melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, dengan merugikan keuangan negara hingga Rp 400 miliar. Jumlah itu berdasarkan nilai keuntungan yang diperoleh 8 perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara (BUMN), dalam hal ini PT PPI.
Sederhananya, Tom Lembong dan Charles disebut memperkaya delapan perusahaan swasta melalui kebijakan impor yang dibuat Tom selaku Mendag.
Tuduhan Kejaksaan itu dibantah kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf. Ia mengatakan tak ada surplus gula tahun 2015 sebagaimana didalilkan Kejagung. Menurutnya, kebijakan impor tahun itu sudah sesuai kebutuhan dan stok gula nasional.
Ari juga membantah kliennya memperkaya 8 perusahaan swasta sebab memberikan izin impor kepada perusahaan non-BUMN dan mengimpor gula tak sesuai peruntukan stabilitas harga nasional.
Ia mengatakan, impor dan pengolahan GKM menjadi GKP untuk Januari 2016 adalah wewenang PPI yang mendapatkan penugasan khusus. Penunjukan 8 perusahaan—yang diduga diperkaya Tom Lembong—adalah ranah PPI. Perusahaan pelat merah itu yang membuat keputusan bekerja sama dengan 8 perusahaan swasta terkait.
“PPI ini, karena sudah diberi kewenangan, dialah melakukan prosesnya. Dia yang meminta izin ke Menteri Perdagangan,” ujar Ari.
Ia melanjutkan, ketika itu Kemendag mendapat laporan dari PPI bahwa perusahaan BUMN itu tidak mampu memenuhi persediaan gula nasional seorang diri. PPI merasa perlu melibatkan swasta.
“Untuk mengolah [gula] kan butuh investasi. Nah, yang punya kemampuan itu pihak swasta. Pak Tom menyetujui di sana,” imbuh Ari.
Mengecek Validitas Data Surplus Gula
Titik berangkat Kejagung memperkarakan Tom Lembong yang terkait surplus gula menjadi sorotan. Terlebih, data National Sugar Summit Indonesia menunjukkan produksi gula di dalam negeri jauh lebih rendah dari kebutuhan nasional. Artinya, tak pernah ada surplus.
Data National Sugar Summit Indonesia yang berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS) itu kemudian diolah kumparan dan hasilnya memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi gula nasional selalu lebih tinggi dari produksi. Gula nasional nyatanya tak pernah surplus.
Pada 2015, misalnya, Indonesia cuma bisa memproduksi 2,49 juta ton gula. Padahal konsumsi nasional ada di angka 2,86 juta ton.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai Kejagung tidak detail menjelaskan data surplus. Tidak ada penjelasan terkait data surplus dimaksud, apakah surplus Mei 2015 atau bulan berikutnya, atau apakah itu hitungan surplus dalam jangka waktu satu tahun.
“Bukan hanya gula untuk industri (gula mentah yang diolah menjadi gula rafinasi) yang sepenuhnya bahan bakunya impor, tapi juga gula konsumsi. Itu sudah puluhan tahun kita impor,” kata Khudori, Jumat (8/11).
Di sisi lain, Khudori menduga asumsi surplus gula oleh Kejagung didasarkan pada stok akhir 2014 untuk konsumsi awal 2015, yakni 1,18 juta–1,29 juta ton. Ketersediaan itu hanya cukup untuk 5 bulan, sampai Mei 2015 (konsumsi per bulan 238 ribu ton). Lalu bulan berikutnya, Juni, biasanya sudah masuk musim giling sehingga produksi dalam negeri tersedia.
“Sehingga bisa jadi tidak butuh impor,” kata Khudori.
Adapun soal impor gula tahun 2016, Khudori menjelaskan hal itu terkait dengan stok akhir 2015 untuk konsumsi awal 2016. Saat itu yang tersedia 816 ribu ton. Stok tersebut hanya cukup untuk 3,5 bulan, hingga pertengahan April. Artinya, stok menipis sehingga perlu impor gula kristal putih, tapi yang diimpor justru gula kristal mentah. Dan pabrik gula rafinasi (GKR) diminta mengolah GKM menjadi GKP padahal hal tersebut tidak sesuai aturan.
Pabrik GKR diduga dimintai bantuan karena pabrik gula BUMN belum masuk jadwal giling pada Juni. Imbas pengolahan GKP oleh pabrik rafinasi adalah perlunya mengurus SNI lebih dulu—yang baru selesai akhir Mei atau Juni. Akibatnya, harga gula di pasar naik dari Rp 13.100 per kg pada Januari 2016 menjadi Rp 16.300 per kg pada Juli.
“Mestinya otoritas yang memberi penugasan bisa melihat situasi. Kalau situasi pasar butuh GKP, impor butuh waktu, mengolah [GKM ke GKP] butuh waktu, kenapa tidak impor gula jadi (GKP) saja?” ujar Khudori.
Selain data-data di atas, surplus gula yang disebut Kejagung berdasarkan rakor antarkementerian 12 Mei 2015 juga dipertanyakan. Sebab, dalam dokumen audit Badan Keuangan Negara (BPK) tentang tata niaga impor pada Kemendag tahun 2015 sampai semester I tahun 2017 disebutkan bahwa notulen rapat terkait penentuan alokasi jumlah impor gula tahun 2015 tidak diperoleh.
BPK juga tak mencantumkan adanya data surplus gula. BPK menunjukkan bahwa tahun 2015 terdapat kebutuhan GKP 2,8 juta ton lebih dan produksi nasional hanya mampu menutupi 2,7 juta ton lebih. Masih ada kurang stok sekitar 25 ribu ton.
Data BPK tersebut memperlihatkan tak ada surplus. Hanya saja, temuan BPK memang menunjukkan ada impor gula yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Saat itu kurangnya 25 ribu ton tapi alokasi impor berdasarkan Persetujuan Impor (PI) mencapai 105 ribu ton.
Kondisi tersebut kemudian dinilai BPK tak sesuai dengan Pasal 3 Permendag No. 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula yang menyatakan bahwa jumlah gula yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian.
Sebagaimana temuan BPK, perbedaan kebutuhan dan jumlah izin impor tersebut terjadi karena Kemendag tidak memiliki sistem informasi yang terintegrasi untuk pengambilan keputusan soal kebutuhan impor dan stabilisasi harga.
Portal Inatrade milik Ditjen Perdagangan Luar Negeri belum terintegrasi dengan data ketersediaan dan kebutuhan bahan pangan, data rekomendasi dari kementerian teknis, dan data pendukung yang disepakati dalam rapat koordinasi, sehingga BPK merekomendasikan Mendag agar memerintahkan Dirjen Daglu mengembangkan portal Inatrade yang dapat menyajikan data jumlah kebutuhan gula, produksi gula, serta data niaga impor lainnya.
Yang menarik dari izin impor 105 ton gula tahun 2015 kepada PT AP adalah adanya permintaan dari Induk Koperasi (Inkop) Kartika.
“Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa dasar pemberian pemberian izin impor tersebut adalah Surat Ketua Umum Induk Koperasi (Inkop) Kartika Nomor B/239/IX/2015 tanggal 18 September 2015,” begitu isi audit BPK yang diterima kumparan.
Surat itu memuat perihal kompensasi atas produk gula konsumsi yang menyatakan bahwa Inkop Kartika telah menjalankan penugasan Kemendag untuk operasi gula konsumsi yang mengalami gejolak harga dan hambatan distribusi di wilayah luar Pulau Jawa.
“Ketua Umum Inkop Kartika meminta agar PT Angel Product dapat diberikan izin impor GKM sebanyak 105.000 ton sebagai pengganti dari GKM yang telah digunakan dalam operasi pasar, namun izin impor yang diterbitkan oleh Kemendag adalah sebanyak 100.000 ton,” demikian tertulis dalam lembar audit.
BPK juga membeberkan izin impor gula tahun 2016 yang dikeluarkan Kemendag. Ini juga terkait yang didalilkan Kejagung untuk menjerat Tom Lembong.
Dalam temuan BPK, Kemendag disebut mengeluarkan 12 izin impor GKM kepada delapan perusahaan gula rafinasi dan satu perusahaan gula. Perusahaan-perusahaan ini disebut terkait dengan Inkoppol, Inkop Kartika, SKPP TNI, dan Puskoppol.
Delapan perusahaan gula rafinasi itu tidak secara langsung memperoleh penugasan dari Menteri Perdagangan. “Namun penugasan tersebut terkait dengan permintaan pihak koperasi yaitu Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian, Inkop Kartika, dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Prajurit TNI-Polri (SKKP TNI-Polri)” begitu ditulis audit BPK.
Aktivitas pemberian izin impor tahun 2016 yang diberikan kepada delapan perusahaan swasta itu tidak sesuai dengan UU No. 18/2012 tentang Pangan, Pasal 36 dan Pasal 3, 4, 6, dan 28 Permendag No. 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula.
Dalam temuannya, BPK menilai Mendag dan Direktur Impor lalai dan tak memiliki informasi terintegrasi soal impor gula. Penerapan diskresi Mendag juga disebut tidak dilengkapi hasil rapat koordinasi dengan instansi terkait.
"Itu [kesalahan] fatal kalau tidak ada rekomendasi. Permendag 117/2015 dibuat oleh Pak Tom Lembong sendiri. Dia yang bikin regulasinya, dia yang langgar," ujar Inas Nasrullah Zubir, Wakil Ketua Komisi VI DPR 2014-2019 yang membidangi perdagangan.
Pada konstruksi kasus yang dituduhkan Kejagung pada Tom Lembong, impor gula untuk stabilitas harga awal tahun 2016 ditugaskan kepada PPI. Dan ini yang dianggap sebagai kekacauan awal, sebab PPI bukan BUMN produsen gula, tapi perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang perdagangan sehingga untuk memproduksi gula mentah atau GKM yang diimpor, butuh kerja sama dengan perusahaan swasta.
Khudori menjelaskan, bila impor GKM adalah akhir menuju awal tahun, tak akan ada perusahaan BUMN yang bisa memproduksi. Mesin giling BUMN baru akan beroperasi Juni hingga November.
Masalah muncul karena PPI bekerja sama dengan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor GKM dan mengolahnya menjadi GKP. Terlebih, perusahaan swasta yang digandeng kebanyakan pabrik gula rafinasi yang berdasarkan aturan tidak boleh memproduksi gula kristal putih (GKP). Izin perusahaan-perusahaan itu hanya untuk gula kristal rafinasi.
“Sebetulnya pasar butuh gula konsumsi, [yaitu] gula yang langsung tersedia di pasar. Tapi yang diimpor adalah gula mentah yang perlu diolah,” kata Khudori.
Namun problem pelibatan pabrik GKR untuk mengolah GKP, kata Khudori, bukan cuma di era Tom Lembong, tapi juga pada periode Mendag setelahnya. Salah satunya pada 2020 di era Mendag Agus Suparmanto.
Bahkan ketika itu juga melibatkan koperasi & BUMN yang tidak memiliki pabrik gula. Parahnya, gula menjadi tidak termonitor karena perusahaan-perusahaan yang mendapat mandat penugasan tidak melaporkan perkembangan hasil pengolahan, penyaluran, dan stoknya.
“Akhirnya seperti di awal 2016, pada awal 2020 harga GKP naik tinggi lebih dari Rp 18 ribu/kg. Distributor dan pedagang yang menguasai stok 'memainkan' harga,” imbuh Khudori.
Audit BPK tersebut tak menyebutkan spesifik adanya tindakan memperkaya diri atau orang lain, atau korporasi, yang kemudian menimbulkan kerugian negara. BPK hanya membeberkan bahwa impor gula tahun 2015 sampai semester I 2017 terdapat ketidaksesuaian dengan sejumlah peraturan.
Penyidik Kejagung juga belum membeberkan aliran uang kepada Tom Lembong.
Jerat Hukum untuk Tom Lembong Kurang Kuat?
Pengajar Fakultas Hukum UGM Fatahillah Akbar berpendapat Kejaksaan Agung masih harus bekerja keras untuk membuktikan tuduhan korupsi terhadap Tom Lembong. Kejaksaan harus secara terang membuktikan unsur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang disangkakan.
Setidaknya ada tiga unsur krusial yang harus terpenuhi bila menggunakan Pasal 2 dan 3 untuk bisa disangka korupsi. Ketiganya adalah: melakukan perbuatan melawan hukum; memperkaya diri, orang lain, atau korporasi; dan menimbulkan kerugian negara.
Bila hanya perbuatan melawan hukum, kebijakan yang diambil tak sesuai aturan, tapi tak merugikan negara atau memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, maka tak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Ia hanya akan terkait dengan UU No.30/2014 tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
“Sebenarnya kebijakan itu memang adalah ranah dari tata usaha negara, sanksi-sanksinya bersifat sanksi administratif … Jadi kalau murni hanya kebijakan, enggak bisa [dijerat korupsi]” kata Fatahillah, Jumat (8/11).
Pelanggaran terhadap AAUPB juga tak ujug-ujug disebut atau dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang harus disertai unsur kesengajaan atau mens rea.
“Jadi diskresi atau pembentukan kebijakan, akibat kekosongan hukum, itu sangat tipis bedanya dengan penyalahgunaan wewenang,” jelas Fatahillah.
Unsur lain yang dianggap masih sumir dan perlu diterangkan Kejagung adalah dalil memperkaya diri, orang lain, atau korporasi yang kemudian dianggap merugikan negara. Kejagung hanya memperkirakan bahwa perbuatan atau izin impor yang diteken Tom Lembong memperkaya delapan perusahaan terkait sebesar Rp 400 miliar karena uang tersebut seharusnya diperoleh BUMN yang punya hak impor.
Perdebatan lalu muncul karena impor gula adalah kegiatan bisnis. Tentu pihak yang terlibat di dalamnya, yakni 8 perusahaan terkait, memperoleh keuntungan secara bisnis. Lalu apakah keuntungannya yang sekitar Rp 400 miliar itu bisa diklaim sebagai kerugian negara? Pertanyaan ini, kata Fatahillah, yang harus dijawab Kejaksaan.
“Berdasarkan berbagai putusan pengadilan, unsur memperkaya dan unsur merugikan itu tidak selalu sama,” kata Fatahillah.
Di lain pihak, Kejaksaan harus menjelaskan secara terang kerugian nyata negara atas kebijakan impor gula tersebut. Sebab kerugian negara Rp 400 miliar yang dikemukakan Kejaksaan masih membingungkan, apakah hal itu terhitung potensi kerugian atau sudah kerugian riil berdasarkan audit.
Potensi kerugian (potential loss) dan kerugian nyata (actual loss) memang disorot karena putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 telah menghapus unsur potential loss dalam Pasal 2 ayat q UU Tipikor. Jadi yang disebut merugikan negara adalah kerugian yang nyata dan berdasarkan perhitungan lembaga berwenang seperti BPK atau BPKP.
“Harus actual loss. Nah untuk mengatakan ini aktual atau potensial itu memang sudah matters of auditor, ya. Jadi sudah auditor aja yang bisa menilai itu aktual atau potensial,” jelas Fatahillah.
Penulis opini hukum “Bubarkan Fakultas Hukum” itu menilai masih banyak yang perlu dijelaskan dan direview lebih lanjut terkait penetapan tersangka Tom Lembong. “Ini pembuktiannya menurut saya sudah masuk perkara pokok. Memang nanti harus dinilai oleh hakim. Apakah dia murni adalah kebijakan atau tidak?” ujarnya.
Fatahillah terutama menyorot Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Dua pasal itu menurutnya perlu dievaluasi karena terlalu luas.
Alasan ini juga yang membuat beberapa pihak dalam hal ini Syahril Japarin, Nur Alam, dan Kukuh Kertasafari mengajukan uji materi atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ke MK. Dua pasal ini dianggap sangat luas tapi tak tepat sasaran.
Maqdir Ismail, pengacara Syahril dkk, mengatakan pendekatan yang berfokus pada kerugian negara ini kerap didorong oleh desakan untuk menunjukkan besarnya dampak ekonomi dari korupsi. Namun, pendekatan tersebut bisa mengaburkan esensi korupsi sebagai perbuatan curang untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain.
Permasalahan lain dalam pasal ini semakin kompleks ketika penegak hukum mulai memperluas definisi kerugian perekonomian dan keuangan negara untuk mencakup berbagai bentuk kerugian, termasuk kerugian BUMN.
“Pada beberapa kasus besar, acapkali terjadi sesat tafsir pada aparat penegak hukum sehingga kerugian BUMN akibat kebijakan bisnis dianggap tindak korupsi,” kata Maqdir.
“Di negara lain, misalnya Amerika Serikat, keputusan bisnis yang berujung pada kerugian perusahaan termasuk dalam ranah business judgment rule. Jadi, bukan pidana, selama keputusan tersebut diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tambah Maqdir.
Rumor Politik Korupsi Gula
Penetapan tersangka Tom Lembong diwarnai isu politik sehubungan dengan posisinya selaku sahabat Anies Baswedan. Ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh dalam desas-desus pembentukan partai atau ormas baru yang dikaitkan dengan Anies. Apalagi Tom punya jaringan internasional.
Tapi dugaan ini dibantah Ari Yusuf. Ia berkata, “Politik sudah selesai. Pemerintahan sudah ada, sudah berjalan.”
Reaksi publik yang seperti membela Tom Lembong, menurut Ari, adalah karena Kejagung tak transparan dan tak profesional dalam menindak kliennya. Kejaksaan secara kilat menetapkan Tom sebagai tersangka, tanpa menunjukkan dua bukti. Kejaksaan juga dianggap tak menjelaskan detail unsur-unsur pidana, mens rea, dan kesalahan yang diperbuat Tom.
“Cuma disebutkan bahwa Pak Tom melakukan impor gula dan menguntungkan pihak lain. Sebatas itu. Enggak menjelaskan [alat buktinya]. Pengacaranya [saat penetapan tersangka] juga dipanggil (disiapkan) Kejaksaan—tinggal datang dan tanda tangan aja,” kata Ari.
Penetapan dan penahanan Tom Lembong juga dilakukan secara kilat. Seharusnya, kata Fatahillah, ada pemberitahuan sebagai konteks sebelum Tom dipanggil sebagai saksi kemudian ditetapkan tersangka. Pada saat surat perintah penyidikan (sprindik) naik Oktober 2023, Tom Lembong terlapor mestinya sudah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Kejanggalan lain yang dipertanyakan Ari adalah mengapa hanya kliennya yang diperiksa. Padahal sprindik yang diterbitkan Oktober 2023 tertulis dugaan korupsi impor gula yang diusut adalah dari tahun 2015–2023. Sepanjang itu Mendag diisi oleh tiga menteri selain Tom Lembong. Mereka adalah Enggartiasto Lukita (2016-2019), Agus Suparmanto (2019-2020), Muhammad Lutfi (2020-2022), dan Zulkifli Hasan (2022-2024).
“Kita mengharapkan, Kejaksaan sesuai dengan sprindiknya ini mereka juga memeriksa yang lain, supaya jangan sampai muncul tentang dugaan-dugaan adanya tebang pilih,” ujar Ari.
Pemeriksaan mantan Mendag lain diharapkan bisa membuat terang permasalahan impor gula. Kata Ari, persoalan apakah para menteri lain juga terkait dalam dugaan korupsi impor atau tidak adalah kewenangan Kejaksaan. Yang terpenting: diperiksa saja dulu.
Namun Kejaksaan sudah membatasi kasus ini hanya tahun 2015–2016. Padahal, bila mengacu ke hasil audit BPK, impor gula mengalami sejumlah permasalahan setidaknya sampai semester I tahun 2017.
“Sesuai dengan niatnya Kejaksaan 2015-2023 semuanya harus diperiksa, karena dia [Kejagung] menduga tuh bahwa ada peristiwa korupsi di 2015-2023. Kenapa dia [Kejagung] mengambil daerah tengah, bukan dari kanan atau dari kiri. Harus dijelaskan itu,” ujar Ari mempertanyakan.
Sebagai upaya pembelaan, Tom Lembong melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia meminta status tersangkanya dinyatakan tidak sah karena tidak didasarkan pada minimal dua alat bukti.
“Kalau memang Pak Tom bersalah, dia siap menanggung risikonya. Tapi jika tidak bersalah, jangan dikriminalisasi. Sesuai dengan Sprindik, penyidikan 2015 hingga 2023, semua menteri dalam periode itu, termasuk 6 menteri lain, wajib diperiksa,” pungkas Ari Yusuf.