ICW: Publik Tak Bisa Dibodohi, Jelas Revisi UU Pilkada Untungkan Dinasti Jokowi

22 Agustus 2024 8:57 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar pembahasan revisi UU Pilkada di DPR RI segera dihentikan. Sebab, RUU Pilkada ini disebut untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
"Pembahasan revisi UU Pilkada yang diduga bermaksud menganulir putusan MK: Menguntungkan individu atau kelompok tertentu adalah bentuk korupsi kebijakan. Pembahasan di DPR harus segera dihentikan," kata Egi Primayogha selaku Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Kamis (22/8).
"Publik tidak bisa dibodoh-bodohi, sudah jelas bahwa revisi bertujuan untuk menguntungkan dinasti Jokowi dan kroninya. Publik layak marah terhadap Jokowi sebagai aktor utama revisi UU Pilkada di DPR," sambungnya.
Egi mengingatkan publik bahwa bukan kali ini saja kebijakan macam ini terjadi. "Publik jangan lupa daftar panjang keculasan Jokowi, mulai dari penghancuran KPK hingga kecurangan pemilu 2024," kata Egi.

Seputar RUU Pilkada

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan saat sidang tahunan DPR dan MPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Sebelumnya, Baleg menyepakati bahwa RUU Pilkada tetap mengacu pada putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok MA pada 29 Mei 2024. Putusan menyatakan bahwa syarat minimum kepala daerah dihitung ketika pelantikan.
ADVERTISEMENT
Aturan ini dikaitkan dengan pencalonan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju pilgub. Sebab umurnya akan cukup sebagai syarat maju pemilihan gubernur apabila 30 tahun ketika dilantik.
Padahal, ada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa syarat tersebut berlaku pada saat pencalonan. MK bahkan menegaskan bahwa pertimbangan itu mengikat. Namun Baleg DPR lebih memilih untuk merujuk pada putusan MA.
Sementara terkait ambang batas parpol mencalonkan kepala daerah, DPR kemudian kembali 'menghidupkan' pasal yang sudah diubah MK.
RUU Pilkada yang disepakati DPR diatur bahwa ketentuan parpol yang mempunyai kursi DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah adalah paling sedikit 20% dari kursi DPRD atau 25% dari suara sah pileg di daerah yang bersangkutan. Sementara bagi parpol yang tidak memiliki kursi DPRD mengacu berdasarkan suara sah di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Padahal, MK sudah menganulir soal ketentuan yang mengacu pada kursi DPRD. Sehingga yang diberlakukan oleh MK adalah berdasarkan suara sah di daerah terkait.